"MENGANGGAP BAHWA MENYELISISHI PEMERINTAH ADALAH SUATU KEUTAMAAN, SEDANGKAN TA'AT DAN TERIKAT DENGANNYA MERUPAKAN SUATU KEHINAAN"
بسم الله الر حمان الرحيم
Di dalam buku yang bertajuk “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, pengarang (Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi) menjelaskan 128 (seratus duapuluh delapan) perilaku / akhlak jahiliyah. Di antaranya (Masalah Ke-3); “Mereka menganggap bahwa menyelisihi Pemerintah adalah suatu keutamaan, sedangkan ta’at dan terikat dengannya merupakan suatu kehinaan.”
Orang-orang
jahiliyah menganggap bahwa menyelisihi Pemerintah, tidak patuh dan tidak mau
terikat kepadanya adalah suatu keutamaan.
Sedangkan mendengar dan ta’at kepada Pemerintah adalah suatu kerendahan
dan kehinaan. Lalu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam datang untuk menyelisihi (memberi petunjuk dan arahan,
pen.) kepada mereka. Beliau memerintahkan untuk mendengar dan
ta’at serta (tetap) memberi nasihat kepada Pemerintah. Beliau bersikap keras dalam
masalah ini dengan menampakkannya, dan mengulang-ulang perintah tersebut.
Ketiga permasalahan (di bawah ini) terkumpul di dalam sebuah riwayat (hadits)
yang shahih, bahwasanya Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
bersabda (artinya),
“Sesungguhnya
Allah ridha kepada kalian (atas) tiga perkara, yaitu hendaklah kalian menyembah-Nya
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, hendaklah kalian
berpegang teguh dengan tali Allah semuanya, dan janganlah kalian
berpecah-belah, dan hendaklah kalian saling menasihati kepada orang yang
Allah telah serahkan urusan kalian kepada mereka (Pemerintah, pent.).” (HR. Muslim no. 1715)
Tidaklah manusia akan terjatuh dalam perkara
Agama dan Dunia, kecuali disebabkan oleh hilang dan lepasnya tiga perkara
tersebut atau sebagiannya.
(Baca artikel, BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH)
(Baca artikel, BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH)
SYARAH (PENJELASAN)
Di antara
perkara jahiliyah adalah tidak mau tunduk kepada Pemerintah. Orang-orang jahiliyah memandang, bahwa ta’at
kepada Pemerintah adalah suatu kerendahan (kehinaan). Sedangkan menentang Pemerintah mereka anggap
sebagai suatu bentuk keutamaan dan kebebasan.
Dengan bangga dan terang-terangan mereka mengumbar 'aib Pemerintah di tengah-tengah khalayak ramai di berbagai forum, menghasut di sana-sini dan mengadu-domba masyarakat muslim. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikumpulkan di atas suatu
kepemimpinan disebabkan oleh sikap mereka yang tidak mau tunduk (kepada
Pemimpin) dan kesombongan yang ada dalam diri-diri mereka.
Kemudian datanglah Agama Islam untuk menyelisihi
mereka. Islam memerintahkan untuk mendengarkan
dan ta’at kepada Pemerintah yang muslim (berwenang), karena di dalamnya
terdapat kemashlahatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (artinya),
“Hai
orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul
serta Pemimpin di antara kalian.” (An-Nisaa’; 59)
Di dalam
ayat ini diperintahkan untuk mena’ati Pemerintah. Dan Rasulullah memerintahkan untuk ta’at
dalam perkara yang baik. Beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Tidak
ada keta’atan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. Ahmad), dan
“Sesungguhnya
keta’atan itu hanya di dalam perkara yang baik saja.”
(HR. Al-Bukhari no 7257, dengan
lafazh, “Tidak ada keta’atan di dalam maksiat.
Keta’atan itu hanyalah di dalam perkara yang baik.”, dan Muslim no
1840/39)
Wajib mena’ati
Pemerintah di selain perkara yang mengandung kemaksiatan kepada Allah. Jika Pemerintah memerintahkan untuk berbuat
maksiat, maka tidak perlu untuk dita’ati, akan tetapi tidak pula boleh menentangnya
dalam perkara-perkara yang lain. Jadi, ketidak ta’atan ini khusus untuk perkara yang di dalamnya mengandung
kemaksiatan saja. Dan tidaklah
bai’at kepada Pemerintah digugurkan dengan sebab itu. Maka janganlah menentang Pemerintah selama
ia seorang muslim. Sebab dengan
mena’ati Pemerintah (muslim), akan terjaga persatuan (kesatuan) dan darah (kaum
muslimin akan terjaga, ed.), serta menjadi sebab terciptanya keamanan dan ketenteraman.
Selain
itu juga, seorang yang dizhalimi bisa meminta keadilan (kepada Pemerintah)
terhadap orang yang menzaliminya, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan
meletakkan hukum di tengah manusia dengan penuh keadilan. Walaupun Pemerintah tersebut tidak lurus
agamanya, bahkan bila ia seorang yang fasik (pelaku dosa-dosa besar)
sekalipun! Dengan catatan, selama
kefasikannya itu tidak sampai pada tingkat Kekufuran (keluar dari Islam), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Mendengar
dan ta’atlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat
kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 7056, dan
Muslim no. 1709/42)
Selama
kemaksiatan yang dilakukan bukan kekufuran (keluar dari Islam / murtad), maka pemerintah berhak untuk
didengar dan dita’ati. Adapun kefasikannya, merupakan tanggung
jawabnya sendiri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan loyalitas dan keta’atan kepadanya
adalah untuk (demi) kebaikan kaum muslimin (secara keseluruhan).
Oleh karena
itu, ketika ditanyakan kepada sebagian Imam, “Sesungguhnya si Fulan fasik akan
tetapi dia seseorang yang mempunyai kekuatan.
Dan sesungguhnya si Alan itu seseorang yang shalih tetapi dia
lemah. Mana di antara keduanya yang
layak menjadi Penguasa?” Maka mereka
(para Imam) menjawab, “Seseorang yang fasik (pelaku dosa-dosa besar) lagi kuat
(lebih layak menjadi penguasa). Sebab kefasikannya
akan kembali pada dirinya sendiri, sedangkan kekuatannya akan
membawa (banyak) manfa’at bagi kaum muslimin. Adapun
seseorang yang shalih, sesungguhnya keshalihannya untuk dirinya sendiri, dan kelemahannya
akan membawa kejelekan bagi kaum muslimin (secara keseluruhan).”
Maka tetaplah mendengar dan menta’ati Pemimpin
itu, meskipun ia seorang yang fasik, bahkan walaupun dia berbuat zhalim! Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Ta’atilah
Penguasa (Pemerintah) itu, meskipun dia merampas hartamu, dan memukul punggungmu.” (HR. Muslim no. 1847)
Karena di
dalam mena’atinya, tersimpan manfa’at yang lebih banyak daripada kerusakannya. Dan kerusakan yang akan timbul dari sikap
penentangan kepada Pemerintah jauh lebih besar daripada kerusakan yang akan
timbul akibat ta’at kepadanya, walaupun dia (Penguasa tersebut) dalam keadaan
sedang berbuat maksiat. Dampak negatip
yang akan timbul dari sikap menentang Pemerintah adalah tertumpahnya darah,
hilangnya keamanan, dan tercerai-berainya persatuan-kesatuan bangsa.
Dan apa
akibat yang diperoleh oleh orang-orang
yang keluar dari keta’atan kepada Pemerintah, sebagaimana yang pernah
dikisahkan dalam sejarah? Apa akibat
yang diperoleh tatkala terjadi fitnah dari orang-orang yang menentang Utsman Radhiyallahu
‘Anhu (Khalifah ke-3), ketika mereka bangkit dan memberontak serta membunuh
Amirul Mukminin? Akibat yang mereka
peroleh adalah kerendahan dan kehinaan, disebabkan pemberontakan kepada
Amirul Mukminin dan membunuhnya. Dan
kaum muslimin pun (sampai sa’at ini) masih merasakan (ditimpa) berbagai
kerendahan, kehinaan, dan kerusakan.
Demikian
pula dengan sebagian hak Pemerintah (yang wajib kita tunaikan) adalah; Tetap
bersabar dalam mena’atinya, walaupun terdapat kerusakan yang sifatnya parsial
(sebagian), yang merupakan tindakan preventif (pencegahan) terhadap munculnya
kerusakan yang lebih besar. Dan
mengerjakan perkara yang lebih ringan di antara dua perkara yang berbahaya,
dalam rangka menolak bahaya yang lebih besar dari keduanya adalah perkara yang ma’ruf
(baik).
Inilah
perbedaan orang-orang jahiliyah dengan orang-orang Islam dalam bersikap terhadap Pemerintah. Orang-orang jahiliyah
berprinsip, tidak akan ta’at kepada Pemerintah.
Mereka menilai (memiliki sifat) mena’atinya adalah suatu kerendahan dan
kehinaan.
Sedangkan
ajaran Islam memerintahkan untuk mena’ati Pemerintah muslimin, meskipun pada
mereka terdapat kefasikan dan kezhaliman.
Islam memerintahkan agar kaum muslimin tetap bersabar dalam bersikap baik terhadap mereka, karena di dalamnya terdapat keselamatan bagi kaum muslimin.
Adapun
keluar dari keta’atan padanya, akan mendatangkan mudharat bagi kaum muslimin
itu sendiri. Bahkan kerusakannya lebih
besar daripada kerusakan yang ditimbulkan akibat tetap berada dalam keta’atan
pada mereka. Hal ini dengan catatan,
penyimpangan yang mereka lakukan tidak mengeluarkan mereka dari Islam. Hal ini merupakan kaidah yang Agung, yang
dibawa oleh Islam di dalam menyikapi perkara yang besar tersebut.
Adapun
orang-orang jahiliyah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu, tidak
berpandangan akan wajibnya ta’at dan patuh, serta terikat kepada
Pemerintah. Contohnya orang-orang kafir
yang menggembar-gemborkan kebebasan dan demokrasi, apa yang terjadi pada
masyarakat mereka sa’at ini? Di dalam
masyarakat mereka terjadi tindakan-tindakan biadab dan kebinatangan,
pembunuhan, perampokan, dekadensi moral, berbagai tindak kejahatan, dan
rawannya keamanan. Padahal mereka
telah dikategorikan Negara-Negara Besar (Adidaya), yang memiliki kekuatan di bidang senjata penghancur. Akan tetapi keadaan mereka seperti keadaan
binatang, wal ‘iyaadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari yang
demikian). Hal tersebut karena mereka
tetap (senantiasa) berpegang (“kekeuh”) pada apa-apa yang dipegang dan
dilakukan orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu, dengan dalih (alasan) “hak azazi manusia”. Padahal Islam lebih mengetahui (menjamin) hak-hak azazi manusia.
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan ummat Beliau agar mendengar dan ta’at
kepada Pemerintah. Beliau memerintahkan untuk
memberikan nasihat kepada mereka dengan cara rahasia (“empat mata”), yaitu
antara mereka dengan orang yang menasihati saja.
Adapun
membicarakan kejelekan (aib) mereka, mencaci-maki, dan membicarakan mereka
“dibelakang” mereka (ghibah / gunjing), maka hal tersebut merupakan
perbuatan khianat terhadap mereka. Karena
hal itu akan membangkitkan kebencian rakyat kepada mereka, dan membuat
senang orang-orang yang jahat (pengacau keamanan).
Inilah sikap penghianatan terhadap Pemerintah.
Adapun
mendo’akan kebaikan bagi mereka, tidak menyebutkan (mengumbar)
kejelekan-kejelekan mereka di majelis-majelis (khalayak), maka hal ini
merupakan nasihat bagi mereka.
Barangsiapa
memiliki keinginan untuk menasihati seorang Pemimpin, maka dia bisa
menyampaikannya secara pribadi, baik secara lisan atau tertulis. Atau dengan cara (melalui) orang yang
memiliki jalur (komunikasi, akses) dengan si Penguasa tersebut untuk disampaikan
padanya. Dan jika penyampaian nasihat
itu tidak memungkinkan, maka dia dalam hal ini ma’dzur (memiliki udzur).
Adapun
bila dia berada di majelis-majelis, atau di atas mimbar, atau di depan studio
rekaman / di hadapan para wartawan (media massa), lalu dia mencela dan
menjelek-jelekkan Pemerintah, maka itu bukanlah
nasihat. Akan tetapi itu adalah suatu
bentuk penghianatan terhadap Pemerintah.
Yang
dimaksud nasihat untuk mereka meliputi berdo’a untuk kebaikan mereka, menutupi
aib dan kekurangan mereka yang tampak, dan tidak mengumbarnya di depan umum.
Dan
termasuk nasihat untuk Pemerintah adalah menjalankan pekerjaan (amanah) yang
dibebankan Pemerintah kepada para pegawai dan para pekerja (Aparat
Pemerintah), dimana mereka berjanji dan bertekad untuk menjalankannya dengan
baik (dalam melayani masyarakat / rakyat).
Kemudian
Asy-Syaikh rahimahullah berkata,
“Ketiga
permasalahan ini telah terkumpul dalam sebuah riwayat yang shahih,
bahwasanya Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
‘Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian dalam 3 (tiga) perkara, yaitu hendaklah
kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun,
hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan janganlah
kalian berpecah-belah, dan hendaklah kalian saling menasihati kepada orang yang
telah Allah serahkan urusan kalian kepadanya (Pemerintah, pent.).” (HR. Muslim no. 1715)
Tidaklah manusia akan terjatuh di dalam urusan
Agama dan Dunia, kecuali disebabkan oleh hilang dan lepasnya tiga perkara ini
atau sebagiannya.”
Selesai
ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Adapun
ucapan Asy-Syaikh rahimahullah, “Ketiga permasalahan ini telah terkumpul
di dalam sebuah riwayat yang shahih,” (sebagaimana yang telah disebutkan
pada hadits di atas) adalah;
Pertama; Bahwasanya orang-orang jahiliyah itu menyembah
para wali dan orang-orang shalih. Mereka
mengatakan, sebagaimana firman Allah (artinya),
“Dan
mereka (orang-orang musyrik itu) berkata, ‘Mereka (para wali dan orang shalih)
itu adalah para pemberi syafa’at kepada kami nanti di sisi Allah.’” (Yunus;
18)
Kedua; Sesungguhnya orang-orang jahiliyah itu
berpecah-belah dalam urusan Agama dan Dunia
mereka.
Ketiga; Bahwasanya mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Pemerintah. Mereka menilai bahwa
ta’at kepada Pemerintah itu adalah sikap yang rendah dan hina.
Ketiga
perkara itu telah dikumpulkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dalam satu hadits.
Dan Beliau Shallallahui
‘Allaihi wa Sallam adalah seorang Rasul yang telah diberi Jawami’ul
Kalim (kemampuan untuk mengatakan suatu kalimat yang singkat,
tetapi mempunyai makna yang luas, pent.), dan mengungkapkan kata-kata yang
tegas di dalam satu kalimat.
Hal
tersebut tampak jelas di dalam sabda Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
(artinya),
“Sesungguhnya
Allah ridha kepada kalian (dalam) tiga perkara, yaitu hendaklah kalian
menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, hendaklah
kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan janganlah kalian
berpecah-belah, dan hendaklah kalian saling menasihati kepada orang yang Allah
telah menyerahkan urusan kalian kepada mereka (Pemerintah, pent.)” (HR. Muslim no. 1715)
Hadits ini
mengandung tiga perkara yaitu;
Pertama;
Agar kalian
menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa
pun. Dan termasuk kesyirikan adalah
menyembah para wali dan orang-orang shalih (karena mengikuti / mena’ati
perkataan para wali / ustadz, orang-orang shalih / yang "dianggap" 'ulama tersebut, padahal bertentangan dengan
perintah / larangan Allah Subahanhu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pen.)
(Baca artikel lainnya, PARA PENYEMBAH DA'I)
(Baca artikel lainnya, PARA PENYEMBAH DA'I)
Kedua; Agar kalian semuanya berpegang teguh dengan
tali Allah dan jangan berpecah-belah.
Hal ini bertolak belakang dengan hakikat (keyakinan) orang-orang
jahiliyah yang berpecah-belah dalam urusan Agama dan Dunianya.
Yang
dimaksud dengan “tali Allah” adalah Al-Qur’an.
“Berpegang
teguh” maksudnya
adalah, dengan cara mengamalkan apa-apa yang kalian diperintahkan dengannya,
dan menjauhi apa yang kalian dilarang darinya.
Karena
Al-Qur’an itu adalah manhaj Rabbani, yang akan menjamin
kemashlahatan setiap hamba dalam urusan Agama dan Dunianya. Maka berpegang teguh dengannya adalah suatu
rahmat, dan tidak berpegang dengannya merupakan adzab dan kesengsaraan.
Ketiga; Hendaklah kalian menasihati orang yang telah
diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi urusan kalian, yakni
Pemerintah. Hal ini merupakan kebalikan
dari orang-orang jahiliyah, dimana mereka tidak mau ta’at kepada Pemerintah.
Ta’at
kepada Pemerintah maksudnya terikat dengan mereka, menasihati mereka, dan
mena’ati mereka. Tidak menentang mereka,
tidak membicarakan kejelekan (aib) mereka, tidak menyebut-nyebut dan menyebarkan
aib-aib mereka di depan umum. Karena hal
itu adalah bentuk penghianatan kepada mereka.
Dan bukan merupakan nasihat. Meskipun
sebagian orang menganggap hal itu bagian dari nasihat.
Perbuatan
tersebut bukanlah nasihat, tetapi merupakan perbuatan yang menyebar-luaskan aib
dan kekurangan. Perbuatan tersebut
adalah salah satu bentuk kejahatan, yang akan “menggelorakan” semangat
permusuhan antara Pemerintah dengan rakyatnya.
Perbuatan semacam ini sama sekali tidak ada kemashlahatannya, bahkan
yang pasti adalah kemudharatan.
Kemudian
Beliau rahimahullah menerangkan, bahwa kekurangan yang terjadi di dalam
masalah Agama dan Dunia, penyebab utamanya tiada lain karena kekurangan yang
terdapat pada tiga perkara tersebut, atau sebagiannya. Yaitu menyekutukan Allah, Berpecah-belah,
dan Menentang Pemerintah.
Tambahan penulis Blog;
- Demikianlah ajaran “Wahabi” yang sering dicela oleh orang-orang awam (tidak mengerti) tentang Ajaran (Syari’at) Islam yang dibawa Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, ternyata ia jauh lebih Mulia dan Agung daripada yang mereka perkirakan (sangka).
Maka, ambillah pelajaran, wahai
orang-orang yang memiliki akal, dan pandangan.
oOo
(Disadur bebas dari kitab, “Perilaku
dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi,
Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Terj. Hanan Husain Bahanan & Rusydi Abu
Salamah, Pustaka Sumayyah, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar