Jumat, 08 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah Ke-3)



"MENGANGGAP BAHWA MENYELISISHI PEMERINTAH ADALAH SUATU KEUTAMAAN, SEDANGKAN TA'AT DAN TERIKAT DENGANNYA MERUPAKAN SUATU KEHINAAN"

بسم الله الر حمان الرحيم

Di dalam buku yang bertajuk “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, pengarang (Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi) menjelaskan 128 (seratus duapuluh delapan) perilaku / akhlak jahiliyah.  Di antaranya (Masalah Ke-3);  Mereka menganggap bahwa menyelisihi Pemerintah adalah suatu keutamaan, sedangkan ta’at dan terikat dengannya merupakan suatu kehinaan.”
Orang-orang jahiliyah menganggap bahwa menyelisihi Pemerintah, tidak patuh dan tidak mau terikat kepadanya adalah suatu keutamaan.  Sedangkan mendengar dan ta’at kepada Pemerintah adalah suatu kerendahan dan kehinaan.  Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang untuk menyelisihi (memberi petunjuk dan arahan, pen.)  kepada mereka.  Beliau memerintahkan untuk mendengar dan ta’at serta (tetap) memberi nasihat kepada Pemerintah.  Beliau bersikap keras dalam masalah ini dengan menampakkannya, dan mengulang-ulang perintah tersebut.  Ketiga permasalahan (di bawah ini) terkumpul di dalam sebuah riwayat (hadits) yang shahih, bahwasanya Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
“Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian (atas) tiga perkara, yaitu hendaklah kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya, dan janganlah kalian berpecah-belah, dan hendaklah kalian saling menasihati kepada orang yang Allah telah serahkan urusan kalian kepada mereka (Pemerintah, pent.).”  (HR.  Muslim no. 1715)
Tidaklah manusia akan terjatuh dalam perkara Agama dan Dunia, kecuali disebabkan oleh hilang dan lepasnya tiga perkara tersebut atau sebagiannya.
(Baca artikel, BELAJAR DARI TRAGEDI SURIAH)

SYARAH (PENJELASAN)
Di antara perkara jahiliyah adalah tidak mau tunduk kepada Pemerintah.  Orang-orang jahiliyah memandang, bahwa ta’at kepada Pemerintah adalah suatu kerendahan (kehinaan).  Sedangkan menentang Pemerintah mereka anggap sebagai suatu bentuk keutamaan dan kebebasan.
Dengan bangga dan terang-terangan mereka mengumbar 'aib Pemerintah di tengah-tengah khalayak ramai di berbagai forum, menghasut di sana-sini dan mengadu-domba masyarakat muslim.   Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikumpulkan di atas suatu kepemimpinan disebabkan oleh sikap mereka yang tidak mau tunduk (kepada Pemimpin) dan kesombongan yang ada dalam diri-diri mereka.
Kemudian datanglah Agama Islam untuk menyelisihi mereka.  Islam memerintahkan untuk mendengarkan dan ta’at kepada Pemerintah yang muslim (berwenang), karena di dalamnya terdapat kemashlahatan.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta Pemimpin di antara kalian.”  (An-Nisaa’;  59)
Di dalam ayat ini diperintahkan untuk mena’ati Pemerintah.  Dan Rasulullah memerintahkan untuk ta’at dalam perkara yang baik.  Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”  (HR.  Ahmad), dan
“Sesungguhnya keta’atan itu hanya di dalam perkara yang baik saja.”  (HR.  Al-Bukhari no 7257, dengan lafazh, “Tidak ada keta’atan di dalam maksiat.  Keta’atan itu hanyalah di dalam perkara yang baik.”, dan Muslim no 1840/39)
Wajib mena’ati Pemerintah di selain perkara yang mengandung kemaksiatan kepada Allah.  Jika Pemerintah memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak perlu untuk dita’ati, akan tetapi tidak pula boleh menentangnya dalam perkara-perkara yang lain.  Jadi, ketidak ta’atan ini khusus untuk perkara yang di dalamnya mengandung kemaksiatan saja.  Dan tidaklah bai’at kepada Pemerintah digugurkan dengan sebab itu.  Maka janganlah menentang Pemerintah selama ia seorang muslim.  Sebab dengan mena’ati Pemerintah (muslim), akan terjaga persatuan (kesatuan) dan darah (kaum muslimin akan terjaga, ed.), serta menjadi sebab terciptanya keamanan dan ketenteraman.
Selain itu juga, seorang yang dizhalimi bisa meminta keadilan (kepada Pemerintah) terhadap orang yang menzaliminya, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan meletakkan hukum di tengah manusia dengan penuh keadilan.  Walaupun Pemerintah tersebut tidak lurus agamanya, bahkan bila ia seorang yang fasik (pelaku dosa-dosa besar) sekalipun!  Dengan catatan, selama kefasikannya itu tidak sampai pada tingkat Kekufuran (keluar dari Islam), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Mendengar dan ta’atlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.”  (HR.  Al-Bukhari no. 7056, dan Muslim no. 1709/42)
Selama kemaksiatan yang dilakukan bukan kekufuran (keluar dari Islam / murtad), maka pemerintah berhak untuk didengar dan dita’ati.  Adapun kefasikannya, merupakan tanggung jawabnya sendiri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).  Sedangkan loyalitas dan keta’atan kepadanya adalah untuk (demi) kebaikan kaum muslimin (secara keseluruhan).
Oleh karena itu, ketika ditanyakan kepada sebagian Imam, “Sesungguhnya si Fulan fasik akan tetapi dia seseorang yang mempunyai kekuatan.  Dan sesungguhnya si Alan itu seseorang yang shalih tetapi dia lemah.  Mana di antara keduanya yang layak menjadi Penguasa?”  Maka mereka (para Imam) menjawab, “Seseorang yang fasik (pelaku dosa-dosa besar) lagi kuat (lebih layak menjadi penguasa).  Sebab kefasikannya akan kembali pada dirinya sendiri, sedangkan kekuatannya akan membawa (banyak) manfa’at bagi kaum muslimin.  Adapun seseorang yang shalih, sesungguhnya keshalihannya untuk dirinya sendiri, dan kelemahannya akan membawa kejelekan bagi kaum muslimin (secara keseluruhan).”
Maka tetaplah mendengar dan menta’ati Pemimpin itu, meskipun ia seorang yang fasik, bahkan walaupun dia berbuat zhalim!  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
Ta’atilah Penguasa (Pemerintah) itu, meskipun dia merampas hartamu, dan memukul punggungmu.”  (HR.  Muslim no. 1847)
Karena di dalam mena’atinya, tersimpan manfa’at yang lebih banyak daripada kerusakannya.  Dan kerusakan yang akan timbul dari sikap penentangan kepada Pemerintah jauh lebih besar daripada kerusakan yang akan timbul akibat ta’at kepadanya, walaupun dia (Penguasa tersebut) dalam keadaan sedang berbuat maksiat.  Dampak negatip yang akan timbul dari sikap menentang Pemerintah adalah tertumpahnya darah, hilangnya keamanan, dan tercerai-berainya persatuan-kesatuan bangsa.
Dan apa akibat yang diperoleh oleh orang-orang  yang keluar dari keta’atan kepada Pemerintah, sebagaimana yang pernah dikisahkan dalam sejarah?  Apa akibat yang diperoleh tatkala terjadi fitnah dari orang-orang yang menentang Utsman Radhiyallahu ‘Anhu (Khalifah ke-3), ketika mereka bangkit dan memberontak serta membunuh Amirul Mukminin?  Akibat yang mereka peroleh adalah kerendahan dan kehinaan, disebabkan pemberontakan kepada Amirul Mukminin dan membunuhnya.  Dan kaum muslimin pun (sampai sa’at ini) masih merasakan (ditimpa) berbagai kerendahan, kehinaan, dan kerusakan.
Demikian pula dengan sebagian hak Pemerintah (yang wajib kita tunaikan) adalah;  Tetap bersabar dalam mena’atinya, walaupun terdapat kerusakan yang sifatnya parsial (sebagian), yang merupakan tindakan preventif (pencegahan) terhadap munculnya kerusakan yang lebih besar.  Dan mengerjakan perkara yang lebih ringan di antara dua perkara yang berbahaya, dalam rangka menolak bahaya yang lebih besar dari keduanya adalah perkara yang ma’ruf (baik).
Inilah perbedaan orang-orang jahiliyah dengan orang-orang Islam dalam bersikap terhadap Pemerintah.  Orang-orang jahiliyah berprinsip, tidak akan ta’at kepada Pemerintah.  Mereka menilai (memiliki sifat) mena’atinya adalah suatu kerendahan dan kehinaan.
Sedangkan ajaran Islam memerintahkan untuk mena’ati Pemerintah muslimin, meskipun pada mereka terdapat kefasikan dan kezhaliman.  Islam memerintahkan agar kaum muslimin tetap bersabar dalam bersikap baik terhadap mereka, karena di dalamnya terdapat keselamatan bagi kaum muslimin.
Adapun keluar dari keta’atan padanya, akan mendatangkan mudharat bagi kaum muslimin itu sendiri.  Bahkan kerusakannya lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan akibat tetap berada dalam keta’atan pada mereka.  Hal ini dengan catatan, penyimpangan yang mereka lakukan tidak mengeluarkan mereka dari Islam.  Hal ini merupakan kaidah yang Agung, yang dibawa oleh Islam di dalam menyikapi perkara yang besar tersebut.
Adapun orang-orang jahiliyah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu, tidak berpandangan akan wajibnya ta’at dan patuh, serta terikat kepada Pemerintah.  Contohnya orang-orang kafir yang menggembar-gemborkan kebebasan dan demokrasi, apa yang terjadi pada masyarakat mereka sa’at ini?  Di dalam masyarakat mereka terjadi tindakan-tindakan biadab dan kebinatangan, pembunuhan, perampokan, dekadensi moral, berbagai tindak kejahatan, dan rawannya keamanan.  Padahal mereka telah dikategorikan Negara-Negara Besar (Adidaya), yang memiliki kekuatan di bidang senjata penghancur.  Akan tetapi keadaan mereka seperti keadaan binatang, wal ‘iyaadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian).  Hal tersebut karena mereka tetap (senantiasa) berpegang (“kekeuh”) pada apa-apa yang dipegang dan dilakukan orang-orang jahiliyah pada zaman dahulu, dengan dalih (alasan) “hak azazi manusia”.  Padahal Islam lebih mengetahui (menjamin) hak-hak azazi manusia.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan ummat Beliau agar mendengar dan ta’at kepada Pemerintah.  Beliau memerintahkan untuk memberikan nasihat kepada mereka dengan cara rahasia (“empat mata”), yaitu antara mereka dengan orang yang menasihati saja.
Adapun membicarakan kejelekan (aib) mereka, mencaci-maki, dan membicarakan mereka “dibelakang” mereka (ghibah / gunjing), maka hal tersebut merupakan perbuatan khianat terhadap mereka.  Karena hal itu akan membangkitkan kebencian rakyat kepada mereka, dan membuat senang orang-orang yang jahat (pengacau keamanan).  Inilah sikap penghianatan terhadap Pemerintah.
Adapun mendo’akan kebaikan bagi mereka, tidak menyebutkan (mengumbar) kejelekan-kejelekan mereka di majelis-majelis (khalayak), maka hal ini merupakan nasihat bagi mereka.
Barangsiapa memiliki keinginan untuk menasihati seorang Pemimpin, maka dia bisa menyampaikannya secara pribadi, baik secara lisan atau tertulis.  Atau dengan cara (melalui) orang yang memiliki jalur (komunikasi, akses) dengan si Penguasa tersebut untuk disampaikan padanya.  Dan jika penyampaian nasihat itu tidak memungkinkan, maka dia dalam hal ini ma’dzur (memiliki udzur).
Adapun bila dia berada di majelis-majelis, atau di atas mimbar, atau di depan studio rekaman / di hadapan para wartawan (media massa), lalu dia mencela dan menjelek-jelekkan Pemerintah, maka itu bukanlah nasihat.  Akan tetapi itu adalah suatu bentuk penghianatan terhadap Pemerintah.
Yang dimaksud nasihat untuk mereka meliputi berdo’a untuk kebaikan mereka, menutupi aib dan kekurangan mereka yang tampak, dan tidak mengumbarnya di depan umum.
Dan termasuk nasihat untuk Pemerintah adalah menjalankan pekerjaan (amanah) yang dibebankan Pemerintah kepada para pegawai dan para pekerja (Aparat Pemerintah), dimana mereka berjanji dan bertekad untuk menjalankannya dengan baik (dalam melayani masyarakat / rakyat).
Kemudian Asy-Syaikh rahimahullah berkata,
“Ketiga permasalahan ini telah terkumpul dalam sebuah riwayat yang shahih, bahwasanya Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya), ‘Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian dalam 3 (tiga) perkara, yaitu hendaklah kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan janganlah kalian berpecah-belah, dan hendaklah kalian saling menasihati kepada orang yang telah Allah serahkan urusan kalian kepadanya (Pemerintah, pent.).”  (HR.  Muslim no. 1715)
Tidaklah manusia akan terjatuh di dalam urusan Agama dan Dunia, kecuali disebabkan oleh hilang dan lepasnya tiga perkara ini atau sebagiannya.
Selesai ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Adapun ucapan Asy-Syaikh rahimahullah, “Ketiga permasalahan ini telah terkumpul di dalam sebuah riwayat yang shahih,” (sebagaimana yang telah disebutkan pada hadits di atas) adalah;
Pertama;  Bahwasanya orang-orang jahiliyah itu menyembah para wali dan orang-orang shalih.  Mereka mengatakan, sebagaimana firman Allah (artinya),
“Dan mereka (orang-orang musyrik itu) berkata, ‘Mereka (para wali dan orang shalih) itu adalah para pemberi syafa’at kepada kami nanti di sisi Allah.’”  (Yunus;  18)
Kedua;  Sesungguhnya orang-orang jahiliyah itu berpecah-belah dalam urusan Agama dan Dunia  mereka.
Ketiga;  Bahwasanya mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Pemerintah.  Mereka menilai bahwa ta’at kepada Pemerintah itu adalah sikap yang rendah dan hina.
Ketiga perkara itu telah dikumpulkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam satu hadits.
Dan Beliau Shallallahui ‘Allaihi wa Sallam adalah seorang Rasul yang telah diberi Jawami’ul Kalim (kemampuan untuk mengatakan suatu kalimat yang singkat, tetapi mempunyai makna yang luas, pent.), dan mengungkapkan kata-kata yang tegas di dalam satu kalimat.
Hal tersebut tampak jelas di dalam sabda Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Sesungguhnya Allah ridha kepada kalian (dalam) tiga perkara, yaitu hendaklah kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, hendaklah kalian berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan janganlah kalian berpecah-belah, dan hendaklah kalian saling menasihati kepada orang yang Allah telah menyerahkan urusan kalian kepada mereka (Pemerintah, pent.)”  (HR.  Muslim no. 1715)
Hadits ini mengandung tiga perkara yaitu;
Pertama; Agar kalian menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.  Dan termasuk kesyirikan adalah menyembah para wali dan orang-orang shalih (karena mengikuti / mena’ati perkataan para wali / ustadz, orang-orang shalih / yang "dianggap" 'ulama tersebut, padahal bertentangan dengan perintah / larangan Allah Subahanhu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pen.)
(Baca artikel lainnya, PARA PENYEMBAH DA'I)
Kedua;  Agar kalian semuanya berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan berpecah-belah.  Hal ini bertolak belakang dengan hakikat (keyakinan) orang-orang jahiliyah yang berpecah-belah dalam urusan Agama dan Dunianya.
Yang dimaksud dengan “tali Allah” adalah Al-Qur’an.
“Berpegang teguh” maksudnya adalah, dengan cara mengamalkan apa-apa yang kalian diperintahkan dengannya, dan menjauhi apa yang kalian dilarang darinya.
Karena Al-Qur’an itu adalah manhaj Rabbani, yang akan menjamin kemashlahatan setiap hamba dalam urusan Agama dan Dunianya.  Maka berpegang teguh dengannya adalah suatu rahmat, dan tidak berpegang dengannya merupakan adzab dan kesengsaraan.
Ketiga;  Hendaklah kalian menasihati orang yang telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi urusan kalian, yakni Pemerintah.  Hal ini merupakan kebalikan dari orang-orang jahiliyah, dimana mereka tidak mau ta’at kepada Pemerintah.
Ta’at kepada Pemerintah maksudnya terikat dengan mereka, menasihati mereka, dan mena’ati mereka.  Tidak menentang mereka, tidak membicarakan kejelekan (aib) mereka, tidak menyebut-nyebut dan menyebarkan aib-aib mereka di depan umum.  Karena hal itu adalah bentuk penghianatan kepada mereka.  Dan bukan merupakan nasihat.  Meskipun sebagian orang menganggap hal itu bagian dari nasihat.
Perbuatan tersebut bukanlah nasihat, tetapi merupakan perbuatan yang menyebar-luaskan aib dan kekurangan.  Perbuatan tersebut adalah salah satu bentuk kejahatan, yang akan “menggelorakan” semangat permusuhan antara Pemerintah dengan rakyatnya.  Perbuatan semacam ini sama sekali tidak ada kemashlahatannya, bahkan yang pasti adalah kemudharatan.
Kemudian Beliau rahimahullah menerangkan, bahwa kekurangan yang terjadi di dalam masalah Agama dan Dunia, penyebab utamanya tiada lain karena kekurangan yang terdapat pada tiga perkara tersebut, atau sebagiannya.  Yaitu menyekutukan Allah, Berpecah-belah, dan Menentang Pemerintah.

Tambahan penulis Blog;
  • Demikianlah ajaran “Wahabi” yang sering dicela oleh orang-orang awam (tidak mengerti) tentang Ajaran (Syari’at) Islam yang dibawa Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, ternyata ia jauh lebih Mulia dan Agung daripada yang mereka perkirakan (sangka).
Maka, ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki akal, dan pandangan.

oOo

(Disadur bebas dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan.  Terj. Hanan Husain Bahanan & Rusydi Abu Salamah, Pustaka Sumayyah, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar