Selasa, 26 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-43)

بسم الله الر حمان الر حيم

"PENENTANGAN MEREKA TERHADAP TAKDIR ALLAH"

(Temasuk perkara jahiliyah) adalah menentang takdir Allah (karena tidak sesuai dengan akal, selera, dan hawa nafsu mereka, pen blog.)

SYARAH (PENJELASAN)
Al-Qadar (takdir) adalah Ilmu Allah dan Ketentuan-Nya terhadap segala sesuatu sebelum terjadinya, yang telah tertulis di Lauhul Mahfuzh, kemudian Allah menciptakan (mewujudkannya) untuk-Nya.  Beriman kepada takdir merupakan salah satu dari Rukun Iman yang 6 (enam).  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Iman itu adalah, kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta kamu beriman kepada Takdir yang baik dan Takdir yang buruk.”  
(HR.  Al-Bukhari)
Dan Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,
انا كل شيء خلقناه بقد ر  / “innaa kullaa syaiin khalaqnaahu biqadarin” / “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdirnya).”  (Al-Qamar;  49)
Takdir itu merupakan PERBUATAN Allah Subahanahu wa Ta’ala.  Tidak ada sesuatu pun yang terjadi - kecuali perkara itu telah ditakdirkan, dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Yang demikian itu karena Allah telah mengetahui apa-apa yang telah, dan akan terjadi dengan Ilmu-Nya yang Azali yang tersifati dengan-Nya semenjak dahulu kala dan abadi.  Kemudian Allah menulis hal tersebut di Lauhul Mahfuzh.  Sebagaimana makna firman-Nya,
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  
(QS. Al-Hadid;  22)
ان نبر اها  / ”An nabra-ahaa” maksudnya, “Kamilah yang menciptakannya.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda (artinya),
“Dan ketahuilah (Ilmui-lah), bahwa apa saja yang menimpamu tidak akan luput (meleset) darimu, dan apa saja yang luput (meleset) darimu tidak akan menimpamu.”  
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah), dan makna sabda Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam lainnya,
“Pena telah diangkat, dan lembaran telah kering.”  (HR. Ahmad)[1]
Tidaklah sesuatu akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Dan tidak pula sesuatu itu akan ada, kecuali Allah-lah sebagai Penciptanya.  Seperti makna firman-Nya,
“Allah Pencipta segala sesuatu.”  
(QS. Az-Zumar;  62)
Allah-lah Yang telah menciptakan kebaikan dan keburukan (kejahatan), dan Dia pula Yang telah menentukan (kadar, dan macam-ragam, pen.) kebaikan dan keburukan (kejahatan) tersebut.
Adapun beriman kepada takdir Allah maksudnya adalah;
1.       1. Beriman bahwasanya Allah adalah Dzat Yang telah Mengetahui segala sesuatu.
2.       2. Bahwa Allah telah Menulis segala sesuatu di dalam Lauhul Mahfuzh.
3.       3. Beriman bahwa Allah telah Menghendaki segala sesuatu yang terjadi di Alam Semesta ini.  Tidaklah terjadi sesuatu melainkan atas Kehendak-Nya.
4.       4. Beriman bahwa Allah adalah Pencipta dan  Pemelihara segala sesuatu tersebut.
Demikianlah penjelasan beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-orang jahiliyah dahulu mengingkari takdir, dan dalil mengenai hal tersebut terdapat pada 3 (tiga) ayat di dalam Al-Qur’an (artinya),
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan-Nya, dan tidak pula kami akan mengharamkan barang sesuatu pun.’”  
(QS. Al-An’am;  148), dan
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami akan mengharamkan sesuatu apa pun tanpa (idzin)-Nya.’”  (QS. An-Nahl;  35), dan
“Dan mereka berkata, ‘Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (Malaikat)’”  
(QS. Az-Zukhruf;  20)
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat-ayat di atas;
Pendapat pertama;
Adapun maksud ucapan mereka,  لوشء الله / “Lau syaa Allahu” / “Jika Allah menghendaki”   (Al-An’am;  148), adalah untuk menafikan (menolak) keberadaan takdir.  Mereka berkata, “Kalau memang Allah berkehendak, pasti Dia tidak akan membiarkan kami melakukan perbuatan-perbuatan (syirik) tersebut.”
Tujuan mereka mengucapkan perkataan tersebut adalah untuk meniadakan (menepis) takdir.  Padahal mereka sendirilah yang melakukan perbuatan (amalan syirik) tersebut, tanpa ada kaitannya dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Mereka telah meniadakan takdir, dan menyandarkan perbuatan itu kepada diri dan kebebasan mereka untuk berbuat.  Maka, jadilah pemikiran ini sejalan dengan pemikiran madzhab Mu’tazilah dengan sempurna.  Sebab mereka telah mengatakan, “Allah tidak menghendaki - baik dalam hal kekufuran, keimanan, kebaikan, dan kejahatan. Ini semua hanyalah perbuatan hamba (murni, pen.).”  Oleh karena itu, perkataan dan pemikiran Mu’tazilah sama seperti perkataan orang-orang jahiliyah dalam hal itu.

Pendapat kedua;
Bahwa yang dimaukan oleh ucapan mereka,  لوشاء الله ما اشر كنا  /  “Lausyaa Allahu maa asyraknaa”  /  “Jika Allah menghendaki niscaya kami tidak akan mempersekutukan-Nya”  (Al-An’am;  148) adalah, “Sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu meridhai perbuatan kami ini.  Seandainya Dia tidak meridhainya, niscaya Dia tidak akan membiarkan kami mengamalkan perbuatan (syirik) tersebut.
“Dengan pernyataan ini, maka mereka (merasa, pen.) telah mengimani takdir.  Akan tetapi mereka berhujjah dengannya untuk “melegalkan” kekufuran mereka.  Bahkan yang lebih parah lagi, mereka sampai mengatakan, “Sesungguhnya (perbuatan kami) tersebut dalam rangka taat kepada Allah.  Karena Allah telah menghendaki (hal itu terjadi), sehingga kami menaati kehendak-Nya dan takdir-Nya.”
Berkaitan dengan pendapat yang kedua ini – yaitu berhujjah dengan takdir untuk melegitimasi perbuatan yang jelek, dan Allah telah menghendaki perbuatan tersebut, maka ini adalah pemahaman Jabariyah.  Yaitu ketika mereka menetapkan takdir, dan berhujjah dengannya untuk menganggap baik perbuatan mereka yang jelek, dan mereka mengatakan, “Bahwa seseorang itu dipaksa (oleh Allah, pen.) melakukan perbuatannya,” maka mereka adalah pewaris (perilaku) orang-orang jahiliyah dalam perkara tersebut.
Dengan demikian ayat tersebut menunjuk kepada salah satu dari dua makna ini, baik meniadakan takdir maupun menetapkan takdir, dan menjadikannya sebagai hujjah terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Allah kemudian membantah pemahaman kelompok pertama dengan firman-Nya,
قل هل عند كم من علم فتخرجوه لنا  / “Qul hal ‘indakum min ‘ilmin fatukhrijuuhulanaa” / “Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat mengemukakannya kepada Kami?”  (Al-An’am;  148)
Maksudnya;  “Apa hujjah atas ucapan ini, bahwa Allah tidak menghendaki kekufuran tersebut?”
 Adapun bila berdasarkan tafsir yang kedua (maka kita katakan), “Apa hujjahnya bahwa Allah meridhai kekafiran, kesyirikan, dan kekejian kalian ini?  Apa dalil kalian bahwa Allah meridhainya?  Mana dalilnya?  Padahal Allah berfirman (artinya),
“Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?  Kamu tidak mengikuti kecuali prasangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.’  Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;  Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya.’”  (QS. Al-An’am;  148-149)
Allah Jallaa Jalaluhu memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki, berdasarkan hikmah-Nya.  Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkan hidayah, dan juga Maha mengetahui siapa yang tidak berhak mendapatkan hidayah.  Dan tidaklah Dia meletakkan hidayah kecuali pada tempat yang benar lagi layak.
Bantahan lainnya terhadap mereka adalah, jika Allah meridhai perbuatan mereka, mengapa Allah mengutus para Rasul untuk mengingkari kesyirikan dan memerintahkan kepada Tauhid.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.”  
(QS. An-Nahl;  36)
Seandainya Allah meridhai peribadatan kepada thaghut, dan meridhai kekufuran serta kesyirikan (menurut sangkaan mereka), mengapa Allah mengutus para Rasul dan melarang dari perbuatan tersebut.  Maka hal ini (Pengutusan para Rasul) menunjukkan bukti, bahwa Allah tidak meridhai kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan, serta berbagai macam penyimpangan (kesesatan), bahkan Allah membenci dan mengingkarinya.
Demikian pula dalam surat Az-Zukhruf Allah membantah mereka,
ما لهم بذا لك من علم ان هم الا يخرصون  /  “Maa lahum bidzaalika min ‘ilmin inhum illaa yakhrushuuna”  / “Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.”  (QS. Az-Zukhruf;  20)
Dan makna dari firman Allah,
“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami?”  (QS. Al-An’am;  148)
Mereka membuat kebohongan atas Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada perkara yang mereka tidak mengetahuinya.  Perkara-perkara ini tidak dibenarkan membicarakannya kecuali dengan dalil dari Allah, dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyandarkannya kepada akal, pemikiran dan pendapat (manusia).

oOo

(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan  bin Abdullah Al-Fauzan)

[1]  Bagian dari hadits yang berisi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kaliamat...”  Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/293), dishahihkan Asy-Syaikh Ahmad Syakir (no. 2669), dan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no.  7957).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar