بسم الله الر حمان الر حيم
"PENENTANGAN
MEREKA TERHADAP TAKDIR ALLAH"
(Temasuk perkara jahiliyah) adalah menentang
takdir Allah (karena tidak sesuai dengan akal, selera, dan hawa nafsu mereka, pen blog.)
SYARAH (PENJELASAN)
Al-Qadar (takdir) adalah Ilmu Allah dan
Ketentuan-Nya terhadap segala sesuatu sebelum terjadinya, yang telah tertulis
di Lauhul Mahfuzh, kemudian Allah menciptakan (mewujudkannya) untuk-Nya. Beriman kepada takdir merupakan salah satu dari
Rukun Iman yang 6 (enam). Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Iman itu adalah, kamu beriman kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta kamu
beriman kepada Takdir yang baik dan Takdir yang buruk.”
(HR. Al-Bukhari)
Dan Allah Subahanahu
wa Ta’ala berfirman,
انا كل شيء خلقناه بقد ر / “innaa kullaa
syaiin khalaqnaahu biqadarin” / “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran (takdirnya).” (Al-Qamar; 49)
Takdir
itu merupakan PERBUATAN Allah Subahanahu wa Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi - kecuali
perkara itu telah ditakdirkan, dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang demikian itu karena Allah telah
mengetahui apa-apa yang telah, dan akan terjadi dengan Ilmu-Nya yang Azali yang
tersifati dengan-Nya semenjak dahulu kala dan abadi. Kemudian Allah menulis hal tersebut di Lauhul
Mahfuzh. Sebagaimana makna
firman-Nya,
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi,
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam Kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.”
(QS. Al-Hadid;
22)
ان نبر اها / ”An nabra-ahaa” maksudnya, “Kamilah
yang menciptakannya.”
Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda (artinya),
“Dan
ketahuilah (Ilmui-lah), bahwa apa saja yang menimpamu tidak akan luput
(meleset) darimu, dan apa saja yang luput (meleset) darimu tidak akan
menimpamu.”
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah), dan makna sabda Beliau shalallahu ‘alaihi
wa sallam lainnya,
“Pena
telah diangkat, dan lembaran telah kering.”
(HR. Ahmad)[1]
Tidaklah
sesuatu akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak pula sesuatu itu akan ada, kecuali
Allah-lah sebagai Penciptanya. Seperti
makna firman-Nya,
“Allah
Pencipta segala sesuatu.”
(QS. Az-Zumar; 62)
Allah-lah Yang telah menciptakan kebaikan dan
keburukan (kejahatan), dan Dia pula Yang telah menentukan (kadar, dan macam-ragam, pen.) kebaikan dan keburukan (kejahatan) tersebut.
Adapun
beriman kepada takdir Allah maksudnya adalah;
1. 1. Beriman
bahwasanya Allah adalah Dzat Yang telah Mengetahui segala sesuatu.
2. 2. Bahwa Allah
telah Menulis segala sesuatu di dalam Lauhul Mahfuzh.
3. 3. Beriman bahwa
Allah telah Menghendaki segala sesuatu yang terjadi di Alam Semesta
ini. Tidaklah terjadi sesuatu melainkan atas Kehendak-Nya.
4. 4. Beriman bahwa
Allah adalah Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu tersebut.
Demikianlah
penjelasan beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-orang
jahiliyah dahulu mengingkari takdir, dan dalil mengenai hal tersebut terdapat
pada 3 (tiga) ayat di dalam Al-Qur’an (artinya),
“Orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki,
niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan mempersekutukan-Nya, dan tidak
pula kami akan mengharamkan barang sesuatu pun.’”
(QS. Al-An’am; 148), dan
“Dan
berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami
tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak
kami, dan tidak pula kami akan mengharamkan sesuatu apa pun tanpa (idzin)-Nya.’” (QS. An-Nahl;
35), dan
“Dan
mereka berkata, ‘Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah
kami tidak menyembah mereka (Malaikat)’”
(QS. Az-Zukhruf; 20)
Ada dua
pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat-ayat di atas;
Pendapat
pertama;
Adapun
maksud ucapan mereka, لوشء الله / “Lau syaa Allahu” / “Jika
Allah menghendaki” (Al-An’am; 148), adalah untuk menafikan (menolak) keberadaan
takdir. Mereka berkata, “Kalau memang
Allah berkehendak, pasti Dia tidak akan membiarkan kami melakukan
perbuatan-perbuatan (syirik) tersebut.”
Tujuan
mereka mengucapkan perkataan tersebut adalah untuk meniadakan (menepis) takdir. Padahal mereka sendirilah yang melakukan
perbuatan (amalan syirik) tersebut, tanpa ada kaitannya dengan kehendak Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Mereka telah meniadakan
takdir, dan menyandarkan perbuatan itu kepada diri dan kebebasan mereka untuk
berbuat. Maka, jadilah pemikiran ini sejalan
dengan pemikiran madzhab Mu’tazilah dengan sempurna. Sebab mereka telah mengatakan, “Allah tidak
menghendaki - baik dalam hal kekufuran, keimanan, kebaikan, dan kejahatan. Ini
semua hanyalah perbuatan hamba (murni, pen.).” Oleh karena itu, perkataan dan pemikiran Mu’tazilah
sama seperti perkataan orang-orang jahiliyah dalam hal itu.
Pendapat
kedua;
Bahwa yang
dimaukan oleh ucapan mereka, لوشاء الله ما اشر كنا / “Lausyaa Allahu maa asyraknaa” / “Jika
Allah menghendaki niscaya kami tidak akan mempersekutukan-Nya” (Al-An’am;
148) adalah, “Sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu meridhai
perbuatan kami ini. Seandainya Dia
tidak meridhainya, niscaya Dia tidak akan membiarkan kami mengamalkan perbuatan
(syirik) tersebut.”
“Dengan
pernyataan ini, maka mereka (merasa, pen.) telah mengimani takdir. Akan tetapi mereka berhujjah dengannya
untuk “melegalkan” kekufuran mereka.
Bahkan yang lebih parah lagi, mereka sampai mengatakan, “Sesungguhnya (perbuatan
kami) tersebut dalam rangka taat kepada Allah.
Karena Allah telah menghendaki (hal itu terjadi), sehingga kami menaati
kehendak-Nya dan takdir-Nya.”
Berkaitan
dengan pendapat yang kedua ini – yaitu berhujjah dengan takdir untuk
melegitimasi perbuatan yang jelek, dan Allah telah menghendaki perbuatan
tersebut, maka ini adalah pemahaman Jabariyah. Yaitu ketika mereka menetapkan takdir, dan
berhujjah dengannya untuk menganggap baik perbuatan mereka yang jelek,
dan mereka mengatakan, “Bahwa seseorang itu dipaksa (oleh Allah, pen.)
melakukan perbuatannya,” maka mereka adalah pewaris (perilaku) orang-orang
jahiliyah dalam perkara tersebut.
Dengan
demikian ayat tersebut menunjuk kepada salah satu dari dua makna ini, baik
meniadakan takdir maupun menetapkan takdir, dan menjadikannya sebagai hujjah
terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah kemudian membantah pemahaman kelompok pertama dengan firman-Nya,
قل هل عند كم من علم فتخرجوه لنا
/ “Qul hal ‘indakum min ‘ilmin
fatukhrijuuhulanaa” / “Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai sesuatu
pengetahuan sehingga dapat mengemukakannya kepada Kami?” (Al-An’am;
148)
Maksudnya; “Apa hujjah atas ucapan ini, bahwa
Allah tidak menghendaki kekufuran tersebut?”
Adapun bila berdasarkan tafsir yang kedua (maka
kita katakan), “Apa hujjahnya bahwa Allah meridhai kekafiran,
kesyirikan, dan kekejian kalian ini? Apa
dalil kalian bahwa Allah meridhainya?
Mana dalilnya? Padahal Allah
berfirman (artinya),
“Katakanlah,
‘Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya
kepada Kami? Kamu tidak mengikuti
kecuali prasangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.’ Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang
jelas lagi kuat; Maka jika Dia
menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya.’” (QS. Al-An’am;
148-149)
Allah Jallaa
Jalaluhu memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki, dan menyesatkan
siapa yang dikehendaki, berdasarkan hikmah-Nya. Dia Maha Mengetahui siapa yang
berhak untuk mendapatkan hidayah, dan juga Maha mengetahui siapa yang tidak
berhak mendapatkan hidayah. Dan tidaklah
Dia meletakkan hidayah kecuali pada tempat yang benar lagi layak.
Bantahan
lainnya terhadap mereka adalah, jika Allah meridhai perbuatan mereka, mengapa Allah
mengutus para Rasul untuk mengingkari kesyirikan dan memerintahkan kepada
Tauhid.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
thaghut itu.”
(QS. An-Nahl; 36)
Seandainya
Allah meridhai peribadatan kepada thaghut, dan meridhai kekufuran serta
kesyirikan (menurut sangkaan mereka), mengapa Allah mengutus para Rasul dan
melarang dari perbuatan tersebut. Maka
hal ini (Pengutusan para Rasul) menunjukkan bukti, bahwa Allah tidak
meridhai kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan, serta berbagai macam penyimpangan (kesesatan),
bahkan Allah membenci dan mengingkarinya.
Demikian
pula dalam surat Az-Zukhruf Allah membantah mereka,
ما لهم بذا لك من علم ان هم الا يخرصون / “Maa
lahum bidzaalika min ‘ilmin inhum illaa yakhrushuuna” / “Mereka tidak mempunyai pengetahuan
sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.” (QS. Az-Zukhruf; 20)
Dan makna dari
firman Allah,
“Adakah
kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada
Kami?” (QS. Al-An’am;
148)
Mereka membuat kebohongan atas Nama Allah Subhanahu
wa Ta’ala pada
perkara yang mereka tidak mengetahuinya.
Perkara-perkara ini tidak dibenarkan membicarakannya kecuali dengan
dalil dari Allah, dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tidak menyandarkannya kepada akal, pemikiran dan pendapat (manusia).
oOo
(Disalin
dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
[1] Bagian dari hadits yang berisi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kaliamat...” Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/293), dishahihkan Asy-Syaikh Ahmad Syakir (no. 2669), dan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 7957).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar