Selasa, 26 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-37)



بسم الله الر حمان الر حيم

"MENJADIKAN ULAMA DAN AHLI IBADAH SEBAGAI SESEMBAHAN SELAIN ALLAH"

Di dalam beribadah, mereka menjadikan ahli ibadah dan para ulama mereka sebagai sesembahan selain Alah ‘Azza wa Jalla.

SYARAH (PENJELASAN)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اتخذوا احبا رهم ورهبانهم اربابا من د ون الله والمسيح ابن مر يم وما امروا الا ليعبد وا الها وا حدا
“Ittakhadzuu ahbaarahum wa ruhbaanahum arbaaban min duunillah wal masiihabnamaryama wamaa umiruu illa liya’buduu ilahau waahida” 
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putera Maryam.  Padahal mereka hanya disuruh menyembah TuhanYang Maha Esa.”  (At-Taubah; 31)
Al-Ahbaar adalah para ulama, sedangkan Ar-Ruhbaan adalah para ahli ibadah.  Orang-orang Yahudi dan Nasrani di dalam beribadah kepada Allah, mereka mengikuti ulama dan ahli ibadah  dalam memaksiati Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Yakni ketika ulama dan ahli ibadah mereka mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan, dan menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan, lalu mereka mentaatinya dan menganggapnya sebagai suatu ibadah, serta mereka mengatakan, “Taat kepada ulama itu wajib.”
Maka kita katakan kepada mereka, “Taat kepada mereka itu wajib bila mereka mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Adapun bagi orang-orang yang menyelisihi ketaatan kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepadanya.”
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Al-Khaliq (Allah).”  (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Meskipun mereka itu ulama atau ahli ibadah dari manusia yang paling zuhud sekalipun, selama mereka tidak berada di atas kebenaran, maka tidak dihalalkan bagi kita untuk mengikuti mereka.  Dan barangsiapa yang mengikuti mereka dan mengetahui bahwa mereka itu telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sesembahan selain Allah. Yakni menjadikan mereka sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala (perbuatan Syirik).
Karena penghalalan dan pengharaman itu adalah (mutlak) hak Allah Jallaa Jalaluhu.  Tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk menghalalkan, mengharamkan, dan mensyariatkan sesuatu kecuali dengan dalil dari Al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Perhatikan makna firman Allah Subahanahu wa Ta’ala,
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.  Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.  (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih.”  (An-Nahl;  116-117)
Sehingga dengan demikian, kita tidak diperbolehkan untuk menaati ulama secara mutlak dalam keadaan mereka benar atau salah.  Akan tetapi, kita mengikuti mereka jika mereka benar, dan kita menjauhi kesalahan mereka jika mereka terjatuh dalam kesalahan.  Dengan demikian kita menaati orang-orang yang menaati Allah, dan kita memaksiati orang-orang yang telah memaksiati Allah.  Dan kita juga menyelisihi kesalahan orang-orang yang terjerumus ke dalam kesalahan.  Inilah Agama yang benar.
Adapun jika engkau tidak mengetahui bahwa ulama tersebut telah terjatuh dalam kesalahan, maka engkau mempunyai udzur dalam hal ini.  Dan apabila ada orang yang mengatakan, “Apabila dia jatuh dalam kesalahan, maka kesalahannya itu kembali kepadanya.”  Maka kita katakan, “Tidak boleh dikatakan demikian.  Dan hal ini tidak akan memberimu manfaat pada Hari Kiamat.  Mereka menanggung dosanya sendiri, dan engkau pun juga demikian.”
Dan sebuah fatwa, tidak dapat dipegangi kecuali jika dibangun di atas dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Maka barangsiapa mengetahui bahwa fatwa tersebut tidak di atas (berdasarkan) dalil, sesungguhnya diharamkan baginya untuk mengambil fatwa tersebut.  Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka orang ini ma’dzur (diberi udzur).  Akan tetapi wajib baginya berhati-hati dan tatsabut (mencari kejelasan terlebih dahulu sebelum mengambil fatwa tersebut, apakah fatwa tersebut dibangun di atas dalil atau tidak).

Catatan Penulis Blog;
Pada hari ini, kita menyaksikan dan mendengar langsung banyak orang-orang yang "mengaku ulama"  mengajak kaum muslimin untuk bersatu - melakukan demonstrasi terhadap Pemerintah Muslim.  Maka, bagi orang-orang yang beriman dan yakin kepada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya tentu tidak akan mau menyambut seruan tersebut, karena bertentangan dengan Perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Sunnah Rasul-Nya (tidak berlandaskan kepada dalil yang shahih, baik dari Al-Qur'an maupun Hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam).
Hanya Allah-lah pemberi Taufiq.

oOo
(Disadur dari kitab, "Perilaku dan Akhlak Jahiliyah", Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar