Rabu, 13 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-5)


"BERHUJJAH DENGAN KUANTITAS TANPA MEMPERHATIKAN SANDARANNYA (DALIL)"

بسم الله الر حمان الر حيم

Termasuk kaidah orang-orang Jahiliyah yang paling besar – padahal kaidah tersebut menipu mereka (salah) – yakni berdalil dengan kuantitas (jumlah), dan berhujjah dengannya untuk membenarkan suatu perkara, serta menjadikannya sebagai tolok ukur.  Maksudnya, jika sesuatu itu asing dan sedikit (jumlah) orang yang mengikutinya – maka sesuatu itu adalah kebathilan (sesat).  Lalu Allah mendatangkan kepada mereka hal (dalil) yang membantah pemahaman mereka, dan menjelaskannya di banyak tempat dalam Al-Qur’an.

SYARAH (PENJELASAN)
Termasuk perkara kejahiliyahan adalah berdalil dengan banyaknya pengikut untuk mengukur suatu kebenaran, dan berdalil dengan sedikitnya pengikut untuk mengukur suatu kebathilan.  Menurut mereka, apa yang banyak pengikutnya itulah yang benar, dan apa yang sedikit pengikutnya itulah yang bathil.  Inilah timbangan mereka dalam mengenal kebenaran dan kebathilan.  Padahal ini adalah timbangan yang salah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.  Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”  
(QS. Al-An’am;  116), dan
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”  
(QS. Al-‘Araf;  187), dan
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji.  Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.”  
(QS. Al-‘Araf;  102)
Dan ayat-ayat lainnya.
Jadi yang dijadikan timbangan itu bukanlah banyak dan sedikitnya pengikut, akan tetapi yang menjadi timbangan adalah kebenaran.  Maka barangsiapa berada di atas kebenaran – meskipun sendirian – dialah yang benar.  Dialah yang berhak untuk diikuti.  Dan jika mayoritas orang berada di atas kebathilan, maka kewajiban yang ada adalah meninggalkannya dan tidak tertipu olehnya.  Sehingga ukuran segala sesuatu itu adalah kebenaran.
Oleh karena itu para ‘ulama mengatakan, “Kebenaran itu tidak dikenal dengan orang-orangnya, akan tetapi orang-orang itu dikenal dengan kebenaran.  Maka barangsiapa berada di atas kebenaran, wajib untuk di ambil darinya.”
Dan Allah Jalla Jalaaluhu ketika mengisahkan tentang umat-umat terdahulu, mengabarkan bahwa yang minoritas terkadang mereka berada di atas kebenaran.  Sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.”  
(QS. Hud;  40)
Disebutkan di dalam sebuah hadits,
“Ketika ditampakkan umat-umat terdahulu kapada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau melihat ada seorang Nabi bersama beberapa orang  (kurang dari sepuluh orang pent.), seorang Nabi bersama satu dan dua orang pengikut, seorang Nabi bersama dua orang, dan seorang Nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali.”  
(H.R.  Al-Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas, ed.)
Sehingga timbangannya bukan pada banyaknya pengikut suatu madzhab atau pendapat, akan tetapi timbangannya adalah keberadaannya itu benar atau bathil.  Maka sesuatu dianggap sebagai suatu kebenaran – meskipun sedikit pengikutnya atau tidak ada pengikutnya sama sekali, selama itu adalah kebenaran – wajib untuk dijadikan pegangan, karena itu adalah jalan keselamatan.  Sedangkan kebathilan, tidak akan dikuatkan  atau didukung oleh kuantitas pengikutnya selama-selamanya.  Inilah timbangan yang wajib dijadikan pegangan oleh setiap individu muslim.  Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya),
“Islam pada mulanya dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya.”  
(H.R. Muslim)
Yang demikian itu terjadi ketika banyaknya kejelekan, fitnah, dan kesesatan.  Sehingga tidak tersisa orang yang berada di atas kebenaran, kecuali orang-orang tersebut dianggap asing di tengah-tengah masyarakat.  Dan ketika Rasulullah diutus, keadaan manusia berada di dalam gelombang kekafiran dan kesesatan.  Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru manusia (untuk mentauhidkan Allah).  Maka disambutlah dakwah Beliau oleh satu dan dua orang – hingga akhirnya menyebar luas dakwahnya.  Padahal saat itu Bangsa Quraisy, bahkan jazirah Arab secara umum dan juga alam semesta ini berada di atas kesesatan.  Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirian menyeru manusia, dan orang yang mengikuti Beliau sangatlah sedikit dibandingkan dengan mayoritas masyarakat waktu itu.
Maka sekali lagi (aku katakan), bahwa ukurannya bukanlah dengan kuantitas.  Akan tetapi yang menjadi ukuran hanyalah kebenaran dan relevansinya dengan kebenaran.  Dan seandainya yang mayoritas itu berada di atas kebenaran, maka itu adalah baik.  Akan tetapi sunnatullah Jalla Jalaaluhu menentukan bahwa mayoritas manusia itu berada di atas kebathilan (sesat).  Seperti yang difirmankan Allah (artinya),
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, meskipun kamu sangat menginginkannya.”  
(QS. Yusuf;  103)
Dan juga makna firman-Nya,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”  
(QS. Al-An’am;  116)

oOo

(Disalin dari kitab “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi , Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar