"BERHUJJAH
DENGAN KUANTITAS TANPA MEMPERHATIKAN SANDARANNYA (DALIL)"
بسم الله الر حمان الر حيم
Termasuk kaidah orang-orang Jahiliyah yang paling
besar – padahal kaidah tersebut menipu mereka (salah) – yakni berdalil dengan
kuantitas (jumlah), dan berhujjah dengannya untuk membenarkan suatu perkara,
serta menjadikannya sebagai tolok ukur.
Maksudnya, jika sesuatu itu asing dan sedikit (jumlah) orang yang
mengikutinya – maka sesuatu itu adalah kebathilan (sesat). Lalu Allah mendatangkan kepada mereka hal (dalil)
yang membantah pemahaman mereka, dan menjelaskannya di banyak tempat dalam
Al-Qur’an.
SYARAH
(PENJELASAN)
Termasuk
perkara kejahiliyahan adalah berdalil dengan banyaknya pengikut untuk mengukur
suatu kebenaran, dan berdalil dengan sedikitnya pengikut untuk mengukur suatu
kebathilan. Menurut mereka, apa yang
banyak pengikutnya itulah yang benar, dan apa yang sedikit pengikutnya itulah
yang bathil. Inilah
timbangan mereka dalam mengenal kebenaran dan kebathilan. Padahal ini adalah timbangan yang salah,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
"Dan
jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti prasangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(QS. Al-An’am; 116), dan
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. Al-‘Araf; 187), dan
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka
memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.”
(QS. Al-‘Araf;
102)
Dan ayat-ayat
lainnya.
Jadi yang
dijadikan timbangan itu bukanlah banyak dan sedikitnya pengikut, akan tetapi
yang menjadi timbangan adalah kebenaran.
Maka barangsiapa berada di atas kebenaran – meskipun sendirian – dialah yang
benar. Dialah yang berhak untuk
diikuti. Dan jika mayoritas orang berada
di atas kebathilan, maka kewajiban yang ada adalah meninggalkannya dan tidak
tertipu olehnya. Sehingga
ukuran segala sesuatu itu adalah kebenaran.
Oleh
karena itu para ‘ulama mengatakan, “Kebenaran itu tidak dikenal dengan orang-orangnya,
akan tetapi orang-orang itu dikenal dengan kebenaran. Maka barangsiapa berada di atas kebenaran, wajib
untuk di ambil darinya.”
Dan
Allah Jalla Jalaaluhu ketika mengisahkan tentang umat-umat terdahulu,
mengabarkan bahwa yang minoritas terkadang mereka berada di atas kebenaran. Sebagaimana makna firman-Nya,
“Dan
tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.”
(QS. Hud;
40)
Disebutkan
di dalam sebuah hadits,
“Ketika
ditampakkan umat-umat terdahulu kapada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka Beliau melihat ada seorang Nabi bersama beberapa orang (kurang dari sepuluh orang pent.), seorang
Nabi bersama satu dan dua orang pengikut, seorang Nabi bersama dua orang,
dan seorang Nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali.”
(H.R.
Al-Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas, ed.)
Sehingga
timbangannya bukan pada banyaknya pengikut suatu madzhab atau pendapat,
akan tetapi timbangannya adalah keberadaannya itu benar atau bathil. Maka sesuatu dianggap sebagai suatu
kebenaran – meskipun sedikit pengikutnya atau tidak ada pengikutnya sama sekali, selama itu adalah kebenaran – wajib untuk dijadikan pegangan, karena itu
adalah jalan keselamatan. Sedangkan
kebathilan, tidak akan dikuatkan atau didukung
oleh kuantitas pengikutnya selama-selamanya.
Inilah timbangan yang wajib dijadikan pegangan oleh setiap individu muslim. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(artinya),
“Islam
pada mulanya dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana
permulaannya.”
(H.R. Muslim)
Yang demikian itu terjadi ketika banyaknya
kejelekan, fitnah, dan kesesatan. Sehingga
tidak tersisa orang yang berada di atas kebenaran, kecuali orang-orang tersebut dianggap asing di tengah-tengah masyarakat. Dan
ketika Rasulullah diutus, keadaan manusia berada di dalam gelombang kekafiran
dan kesesatan. Lalu Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menyeru manusia (untuk mentauhidkan Allah). Maka disambutlah dakwah Beliau oleh satu dan
dua orang – hingga akhirnya menyebar luas dakwahnya.
Padahal saat itu Bangsa Quraisy, bahkan jazirah Arab secara umum dan
juga alam semesta ini berada di atas kesesatan.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirian menyeru manusia, dan orang yang
mengikuti Beliau sangatlah sedikit dibandingkan dengan mayoritas masyarakat
waktu itu.
Maka
sekali lagi (aku katakan), bahwa ukurannya bukanlah dengan kuantitas. Akan tetapi yang menjadi ukuran hanyalah
kebenaran dan relevansinya dengan kebenaran.
Dan seandainya yang mayoritas itu
berada di atas kebenaran, maka itu adalah baik.
Akan tetapi sunnatullah Jalla Jalaaluhu
menentukan bahwa mayoritas manusia itu berada di atas kebathilan (sesat).
Seperti yang difirmankan Allah (artinya),
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman,
meskipun kamu sangat menginginkannya.”
(QS. Yusuf; 103)
Dan juga
makna firman-Nya,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang
di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
(QS. Al-An’am;
116)
oOo
(Disalin
dari kitab “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahhab At-Tamimi , Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar