"MEREKA BERDALIL BAHWA APA YANG DIAMALKAN OLEH
KAUM DHU'AFA BUKAN MERUPAKAN SUATU KEBENARAN"
بسم الله الر حمان الر حيم
Dalil
yang mereka gunakan untuk memfonis bathilnya sesuatu (padahal merupakan
kebenaran), bahwasanya tidak ada yang mengikutinya (kebenaran tersebut) kecuali
orang-orang dhu’afa (lemah).
Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman
kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang yang hina?” (Asy-Syu’ara;
111), dan
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang
diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?”
(Al-An’am; 53)
Allah
membantah (orang-orang jahiliyah) dengan firman-Nya (artinya),
“Bukankah Allah Yang lebih mengetahui orang-orang
yang bersyukur kepada-Nya?” (Al-An’am; 53)
SYARAH
(PENJELASAN)
Masalah
ini merupakan kebalikan dari perilaku dan akhlak mereka yang lain, bahwa
kebenaran itu bersama orang-orang yang kuat dan terpandang di antara mereka
(pen.). Sedangkan di dalam permasalahan
ini, mereka berdalil dengan kelemahan.
Menurut mereka, orang-orang yang lemah itu tidak berada di atas
kebenaran. Kalaulah mereka itu benar,
maka tidaklah mereka menjadi orang yang lemah.
Inilah
timbangan orang-orang jahiliyah di dalam mengenali kebenaran dan
kebathilan. Mereka tidak mengetahui,
bahwasanya kelemahan dan kekuatan itu berada di Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkadang orang yang lemah itu berada di atas
kebenaran, padahal dia itu lemah. Dan
terkadang juga orang yang kuat berada di atas kebathilan. Dan inilah ucapan kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam
ketika mereka diseru untuk mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla
(sebagaimana dalam makna ayat),
“Mereka
berkata, ‘Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah
orang-orang yang hina? (Asy-Syu’ara; 111)
الارذلون / “Al-Ardzaluun” (Orang-orang yang lemah
di antara kami), maksudnya; “Seandainya engkau benar-benar berada di atas
kebenaran, pastilah engkau akan diikuti oleh orang-orang yang kuat.” Dan juga di dalam ayat yang lain (artinya),
“Dan
kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang
hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja.” Maksudnya;
“Orang-orang yang tidak memiliki akal (pemikiran), merekalah yang
mengikutimu, tanpa melihat dan berpikir sebelumnya.”
Demikian
pula keadaan kaum musyrikin di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka meremehkan orang-orang fuqara (lemah)
dari kalangan orang yang telah beriman, seperti Bilal, Salman, Ammar bin Yasir,
ayah dan ibunya, serta sahabat yang lain.
Sampai-sampai mereka mengatakan, “Kami tidak akan duduk bersamamu (ya
Muhammad), selama mereka itu masih berada di sisimu. Buatkanlah untuk kami sebuah majelis khusus
bersamamu tanpa kehadiran mereka, sehingga kita bisa saling memahami.”
Maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam didasari semangat agar mereka mendapatkan hidayah, Beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkeinginan untuk mengadakan majelis
khusus buat mereka.
Kemudian
Allah menegur Beliau dengan firman-Nya (artinya),
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi hari dan di sore hari. Sedang mereka mengehendaki
keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak
memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu – yang menyebabkan kamu
berhak mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zhalim. Dan demikianlah telah Kami uji sebagian
mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya
(orang-orang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara
kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’” (Al-An’am;
52-53)
Dari makna firman
Allah, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh
Allah kepada mereka?’
Yang
dimaksud “mereka” di sini adalah orang-orang fuqara dari kalangan
Sahabat.
لوكان خيرا ما سبقونا اليه
/ “Laukaana
khairan maa sabaquunaa ilaihi”, “Kalau
sekiranya dia (al-Qur’an) adalah sesuatu yang baik, tentulah mereka tidak
mendahului kami (beriman) kepadanya.” (Al-Ahqaf;
11)
Yakni,
orang-orang kafir Quraisy itu berkata, “Tidak mungkin mereka bisa mendahului
kita dalam masalah kebaikan.”
Dan yang
semisal dengan mereka saat ini ialah, orang-orang yang mengatakan, bahwa para ‘ulama
(Ahlussunnah) itu tidak memiliki akal dan pemikiran, cara pandang mereka itu
sempit, sikap mereka kaku dan keras, serta perkataan-perkataan lain yang mereka
lontarkan.
Asy-Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah
menulis perkara-perkara ini bukan hanya untuk menceritakan dari sisi
sejarah saja, akan tetapi Beliau menulisnya dalam rangka mengingatkan manusia
agar berhati-hati dan waspada. Karena
hal tersebut termasuk bagian dari perkara kejahiliyahan.
oOo
(Disalin
dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar