Kamis, 14 Februari 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-8)



"MEREKA BERDALIL BAHWA APA YANG DIAMALKAN OLEH KAUM DHU'AFA BUKAN MERUPAKAN SUATU KEBENARAN"

بسم الله الر حمان الر حيم

Dalil yang mereka gunakan untuk memfonis bathilnya sesuatu (padahal merupakan kebenaran), bahwasanya tidak ada yang mengikutinya (kebenaran tersebut) kecuali orang-orang dhu’afa (lemah).  Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang yang hina?”  (Asy-Syu’ara;  111), dan
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?”  (Al-An’am;  53)
Allah membantah (orang-orang jahiliyah) dengan firman-Nya (artinya),
“Bukankah Allah Yang lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepada-Nya?”  (Al-An’am;  53)

SYARAH (PENJELASAN)
Masalah ini merupakan kebalikan dari perilaku dan akhlak mereka yang lain, bahwa kebenaran itu bersama orang-orang yang kuat dan terpandang di antara mereka (pen.).  Sedangkan di dalam permasalahan ini, mereka berdalil dengan kelemahan.  Menurut mereka, orang-orang yang lemah itu tidak berada di atas kebenaran.  Kalaulah mereka itu benar, maka tidaklah mereka menjadi orang yang lemah.
Inilah timbangan orang-orang jahiliyah di dalam mengenali kebenaran dan kebathilan.  Mereka tidak mengetahui, bahwasanya kelemahan dan kekuatan itu berada di Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Terkadang orang yang lemah itu berada di atas kebenaran, padahal dia itu lemah.  Dan terkadang juga orang yang kuat berada di atas kebathilan.  Dan inilah ucapan kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam ketika mereka diseru untuk mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla (sebagaimana dalam makna ayat),
“Mereka berkata, ‘Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu adalah orang-orang yang hina?  (Asy-Syu’ara;  111)
الارذلون  /  “Al-Ardzaluun” (Orang-orang yang lemah di antara kami), maksudnya; “Seandainya engkau benar-benar berada di atas kebenaran, pastilah engkau akan diikuti oleh orang-orang yang kuat.”  Dan juga di dalam ayat yang lain (artinya),
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja.”  Maksudnya;  “Orang-orang yang tidak memiliki akal (pemikiran), merekalah yang mengikutimu, tanpa melihat dan berpikir sebelumnya.”
Demikian pula keadaan kaum musyrikin di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Mereka meremehkan orang-orang fuqara (lemah) dari kalangan orang yang telah beriman, seperti Bilal, Salman, Ammar bin Yasir, ayah dan ibunya, serta sahabat yang lain.  Sampai-sampai mereka mengatakan, “Kami tidak akan duduk bersamamu (ya Muhammad), selama mereka itu masih berada di sisimu.  Buatkanlah untuk kami sebuah majelis khusus bersamamu tanpa kehadiran mereka, sehingga kita bisa saling memahami.”
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didasari semangat agar mereka mendapatkan hidayah, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkeinginan untuk mengadakan majelis khusus buat mereka.
Kemudian Allah menegur Beliau dengan firman-Nya (artinya),
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di sore hari.  Sedang mereka mengehendaki keridhaan-Nya.  Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu – yang menyebabkan kamu berhak mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zhalim.  Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’”  (Al-An’am;  52-53)
Dari makna firman Allah, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’
Yang dimaksud “mereka” di sini adalah orang-orang fuqara dari kalangan Sahabat.
لوكان خيرا ما سبقونا اليه  /  “Laukaana khairan maa sabaquunaa ilaihi”,  “Kalau sekiranya dia (al-Qur’an) adalah sesuatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami  (beriman) kepadanya.”  (Al-Ahqaf;  11)
Yakni, orang-orang kafir Quraisy itu berkata, “Tidak mungkin mereka bisa mendahului kita dalam masalah kebaikan.”
Dan yang semisal dengan mereka saat ini ialah, orang-orang yang mengatakan, bahwa para ‘ulama (Ahlussunnah) itu tidak memiliki akal dan pemikiran, cara pandang mereka itu sempit, sikap mereka kaku dan keras, serta perkataan-perkataan lain yang mereka lontarkan.
Asy-Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) rahimahullah menulis perkara-perkara ini bukan hanya untuk menceritakan dari sisi sejarah saja, akan tetapi Beliau menulisnya dalam rangka mengingatkan manusia agar berhati-hati dan waspada.  Karena hal tersebut termasuk bagian dari perkara kejahiliyahan.

oOo
(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar