Sabtu, 26 Desember 2020

APAKAH TIDAK MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL INTOLERANSI?

 


بسم الله الرحمن الرحيم

Setiap menjelang tahun baru masehi dan bulan Desember, kaum muslimin selalu diributkan dengan toleransi, atau intoleransi terhadap nonmuslim. Pasalnya, ada saja pihak tertentu yang seolah-olah memaksa kaum muslimin untuk mengucapkan selamat hari Natal kepada kaum Nasrani.  Padahal perayaan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam, artinya bukan bagian dari Islam sama sekali. 


Lantas mengapa seolah-olah ucapan selamat Natal begitu dipaksakan? Bukankah urusan agama dan keyakinan, setiap kita meyakini keyakinannya sendiri-sendiri? Bukankah hal itu telah ditegaskan dalam ayat yang hampir setiap muslim menghafalnya?

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (Al-Kafirun: 6)


Tidak Mengucapkan Selamat Natal, Sikap Intoleran?

Bila seorang muslim berkeyakinan, bahwa dalam agamanya tidak boleh mengucapkan selamat Natal, tentu saja ini bukan bagian dari intoleransi. Sebab, undang-undang negara telah mengesahkan (baca; menjamin) setiap pemeluk agama untuk melaksanakan syariat agamanya (masing-masing).

Di sisi lain, tidak mengucapkan selamat Natal tidak lantas berkonsekuensi sikap intoleransi, radikal, atau teror. Sebab, Islam telah mengajarkan toleransi, tetapi dalam bidang lain.  Toleransi yang diajarkan Islam adalah dalam hal perilaku sosial, bukan dalam urusan aqidah yang mengorbankan keyakinan dan prinsip-prinsip Agama.

Oleh karena itu, seorang muslim dibolehkan menjenguk tetangga nonmuslim yang sakit, memberinya hadiah, menjawab salamnya bila mengucapkan salam secara Islam kepada kita, dan tidak boleh mengganggu serta menyakitinya. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Taa’la,

  لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”  (Al-Mumtahanah: 8)

Adapun mengikuti acara hari raya nonmuslim, mengucapkan selamat atas perayaan hari raya tersebut, memberikan kartu ucapan selamat atau hadiah dalam rangka perayaannya, ini bukan toleransi yang diajarkan oleh Islam Sebab, melakukan perbuatan-perbuatan tersebut berarti telah ikut serta dan larut dalam prosesi hari raya mereka, yang sangat erat dengan keyakinan dan aqidah yang mereka yakini. 

Anda muslim? Cobalah ingat kembali sejarah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam buku-buku sirah.  Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diajak bertoleransi oleh orang-orang kafir dalam keyakinan mereka.  Nabi kita diajak untuk beribadah kepada Tuhan mereka satu tahun, lalu pada tahun berikutnya mereka yang beribadah kepada Tuhan Nabi kita Muhammad.  Inilah ide orang-orang musyrik.

Apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran tersebut?

Tentu saja tidak. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menolak dengan keras. Meskipun demikian, pada saat yang sama Beliau berinteraksi sosial dengan baik dengan pihak-pihak yang tidak memusuhi Islam, seperti pamannya sendiri yang masih musyrik. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap menjaga amanat-amanat kaum musyrikin yang dititipkan kepada Beliau, demikian pula berbagai bentuk hubungan sosial lainnya.

Meskipun tidak sama persis dengan toleransi gaya kaum musyrikin, masalah mengucapkan selamat Natal mengandung beberapa hal yang mendekati kemiripan dengannya. Sebab, bila kita tinjau dari sisi ucapan 'Selamat Natal’ saja, terkandung suatu keridhaan terhadap parayaan Natal tersebut.  Tinjauan ini terlepas dari apa yang ada dalam keyakinan saat mengucapkan sesuatu, karena urusan keyakinan hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Akan tetapi, apakah Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk mengucapkan suatu perkataan yang tidak berasal dari hatinya? (hanya berpura-pura saja, basa-basi), atau sekedar "lipservice".   Ini sama saja dengan mendustai diri sendiri, atau membiasakan sifat kemunafikan bersemayam di hati seorang muslim (pen blog).

Yang jelas, pada dasarnya suatu ucapan atau amalan yang tidak benar (maksiat) - tidak akan menjadi benar meskipun dilakukan atau diucapkan dengan niat yang benar sekalipun.  Ia tetap saja salah, hanya saja berbeda tingkat kesalahannya. Ibarat orang yang mencuri untuk disedekahkan, dengan orang yang mencuri untuk berjudi, keduanya salah tetapi berbeda derajat kesalahannya. 


Makna Perayaan Natal dan Konsekuensinya:

Sesungguhnya perayaan Natal itu sendiri apa maknanya?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Natal adalah hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih (tanggal 25 Desember). 

Atas dasar itu, kita sebagai seorang muslim semestinya memandang Natal menurut keyakinan orang-orang Nasrani saat ini.  Bukankah Natal artinya “Hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Al-Masih, sebagai anak Tuhan, dan sebagai salah satu Tuhan?"

Jika demikian, apakah hal ini tidak bertentangan dengan keyakinan atau aqidah yang asasi dalam agama kita, Islam?  Sebab, seorang muslim pasti meyakini bahwa Isa adalah utusan Allah, salah seorang Nabi dan Rasul yang mulia, termasuk Ulul Azmi (yang paling utama) dari para Rasul.  Beliau bukan anak Tuhan, atau Tuhan. 

Nah, kalau begitu, apa makna ucapan seseorang yang mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada seorang Nasrani?

Kalau bermakna seperti yang mereka yakini bahwa Isa adalah anak Tuhan, berarti kita telah ridha dengan keyakinan itu.  Semoga Allah melindungi kita, dan segenap kaum muslimin dari keridhaan terhadap keyakinan tersebut. 

Jelas, ini menyangkut dan berpengaruh buruk kepada aqidah seorang muslim.  Salah besar bila dikatakan, “Ucapan selamat Natal tidak mempengaruhi aqidah.

Kemungkinan lain, orang yang mengucapkan “Selamat Natal” berkeyakinan seperti keyakinan muslimin bahwa Isa bukan anak Tuhan.  Dengan keyakinan ini, orang yang mengucapkan “Selamat Natal” kepada seorang Nasrani telah bersikap munafik terhadap mereka (karena di dalam hati mereka berkata, "kalian telah menempuh jalan yang sesat!").  Bukankah demikian?  Perhatikanlah dengan cermat masalah ini, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu.

Oleh karena itu, sangat tidak dapat dibenarkan bila ada (seorang Profesor yang dianggap sebagai "Ahli Tafsir" di Indonesia) beralasan ("berdalil"), bahwa yang mengucapkan selamat Natal itu adalah Nabi Isa sendiri, karena di dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi,

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

“Dan keselamatan dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Maryam: 33)

Ucapan selamat yang disebutkan pada ayat di atas, adalah keselamatan atas kelahiran Beliau sebagai hamba Allah dan Nabi-Nya, selamat dari gangguan Syaithan dan Iblis.

Tidak seorangpun 'ulama Ahli Tafsir yang menggunakan ayat ini sebagai dalil dibolehkannya (baca; dihalalkannya) mengucapkan Selamat Hari Natal (pen blog)

Bukankah dalam rangkaian ayat-ayat pada Surah Maryam itu disebutkan pula, bahwa Nabi Isa mengatakan,

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا

“Sesungguhnya aku adalah hamba Allah.  Allah telah memberiku kitab, dan menjadikan aku sebagai Nabi.” (Maryam: 30)

Dan, dalam Surah Maryam ayat 88 - 93, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecam orang-orang yang meyakini bahwa Isa adalah anak Allah.  Subhanallah.

Pembaca muslim….

Belum lagi kalau kita menengok kepada perbuatan apa saja yang mereka lakukan saat perayaan hari Natal tersebut. Tentu saja ada penyembahan terhadap salib, pemanjatan doa kepada selain Allah, dan lain-lain; yang dalam ajaran agama kita, Islam, hal-hal tersebut sangat tidak diperbolehkan.  Termasuk larangan terbesar (Syirik Akbar).  Apakah kita akan mengucapkan selamat atas semua perbuatan itu?!

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه. (أحکام أهل الذمة  1/44)

“Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat Natal, -pent.) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) 'ulama (jadi bukan masalah khilafiyah, seperti yang disebutkan sebagian orang, pen blog).  Contohnya adalah memberi ucapan selamat atas hari raya dan puasa mereka, seperti mengatakan, ‘Ied mubarak atasmu,’ atau dengan ucapan, ‘Selamat hari raya,’ dan semacamnya. Seandainya orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, minimal dia telah terjatuh pada perkara yang haram. Ucapan selamat hari raya kepada mereka seperti ini sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan kepada salib.  Bahkan, ucapan selamat hari raya tersebut lebih besar dosanya, dan lebih dibenci oleh Allah daripada seseorang memberi ucapan selamat kepada orang yang meminum minuman keras, membunuh jiwa (manusia), berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.  Banyak orang yang kurang menghargai agama Islam terjatuh pada hal tersebut.  Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.  Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat atas perbuatan maksiat, bid’ah, atau kekufuran; dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, 1/441)

Berpikirlah sejenak.  Jangan larut terbawa perasaan saja.  Tetaplah pada prinsip agama Anda sebagai seorang muslim.  Anda dijamin benar oleh Islam dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia.  Anda tidak jatuh dalam sikap INTOLERANSI hanya karena tidak mengucapkan “Selamat Natal”, dengan tetap menjaga hubungan sosial yang benar dan baik.  Jangan ikuti pendapat orang-orang yang bersandar kepada akal, perasaan, dan hawa nafsunya belaka dalam menjalankan Syari'at Islam.

Selanjutnya, sebagai sebuah renungan.  Perhatikanlah firman Allah ketika mensifati hamba-hamba-Nya yang disebut “Ibadur Rahman” berikut ini,

    وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

“Dan orang-orang yang tidak mempersaksikan kepalsuan....” (Al-Furqan: 72)

Para 'ulama ahli tafsir dari kalangan Tabi’in dan yang lain, seperti Abul ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirin, Adh-Dhahhak, dan Rabi’ bin Anas menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah menyaksikan hari-hari raya orang musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/341)

Sahabat yang mulia, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Jauhilah musuh Allah pada hari raya mereka.” (Sunan Al-Baihaqi, 9/234)

Sahabat yang mulia Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

“Siapa saja yang tinggal di negeri non-Arab, dan ikut serta dalam hari raya Nairuz dan Muhrajan mereka, dan menyerupai mereka sampai matinya, ia akan dikumpulkan di Padang Mahsyar kelak bersama mereka.” (Sunan Al-Baihaqi, 9/234)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayah taufik dan petunjuk-Nya kepada kita dalam beribadah dan bermuamalah dengan sesama manusia.  Amiiin.

oOo

Disadur dari tulisan;

Al-Ustadz Qomar Suaidi Lc hafizhahullah.

🌎 simpellink.com/salafyonline



Tidak ada komentar:

Posting Komentar