Sabtu, 30 Maret 2019

PERTOLONGAN DAN PENELANTARAN ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم

Pertolongan dan Penelantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan kunci keberhasilan atau kegagalan setiap insan (manusia) dalam melarungkan bahtera kehidupan mereka.

Firman Allah Ta’ala,
ان ينصر كم الله فلا غالب لكم وان يخذ لكم فمن ذا الذي ينصركم من بعده  / “In yanshurkumu Allahu falaa ghaalibalakum wa in yakhdzulkum faman dzaa alladzii yanshurukum min ba’dihi”
“jika Allah menolong kalian, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kalian.  Jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu?”  (Ali-Imran;  160)
Asal makna dari kata  خذلان  / "Khadzlaan" adalah meninggalkan dan melepaskan.  Sebutan untuk sapi atau domba yang dilepas bersama anaknya di tempat penggembalaan dan dipisahkan dari kawanan yang lain adalah  خذول  / "Khadzuul".
Muhammad bin Ishaq berkata tentang ayat ini, “Jika Allah menolongmu, maka tak seorang manusia pun yang dapat mengalahkanmu, dan orang yang biasa menelantarkanmu tidak akan mampu menimpakan mudharat.  Tetapi jika Allah menelantarkanmu, maka tak seorang manusia pun yang bisa menolongmu.” Dengan perkataan lain, jangan serahkan urusan-Ku kepada manusia dan tolaklah manusia demi urusan-Ku.
Khadzlaan (penelantaran) terjadi karena Allah menyerahkan hamba tersebut kepada dirinya sendiri.  Kebalikannya adalah taufiq, yaitu jika Allah tidak mambiarkan dirinya serta tidak menyerahkan kepada dirinya sendiri, tetapi Dia berbuat sesuatu terhadapnya, menyayanginya, menolongnya, membela dan melindungi sebagaimana seorang ibu penyayang yang melindungi anaknya yang lemah.  Siapa yang dibiarkan Allah, maka ia akan binasa dengan segenap kebinasaan.  Karena itu, di antara do'a Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah,
يا حي يا قيوم يا بديع السموات والارض يا ذاالجلا ل والاكرام  لااله الا انت برحمتك استغيث اصلح لي شاءني كله ولاتكلني الى نفسى طرفة عين ولا الى احد من خلقك
“Yaa hayyu yaa qayyumu yaa badii’u assamawaati wa al ardhi yaa dzaljalaali wa al ikraami laa ilaaha illa anta birahmatika astaghiitsu aslihliy syaknii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsiy tharfata ainin wa laa ilaa ahadin min khalqika”
Artinya;
“Wahai Dzat yang Mahahidup, dan Yang terus-menerus mengurusi (makhluk), wahai Pencipta langit dan bumi, wahai Yang memiliki Kebesaran dan Kemuliaan, tiada Ilah melainkan Engkau, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah bagiku urusanku semuanya, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walau sekejap mata, dan tidak pula kepada seseorang pun dari makhluk-Mu.”
Seorang hamba diletakkan antara Allah dan musuhnya, Iblis.  Jika Allah menolongnya, maka musuhnya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dirinya.  Jika Dia (Allah) menelantarkannya dan berpaling darinya, maka syaithan akan segera menyambarnya sebagaimana serigala yang menyambar domba.
Jika ada yang bertanya, “Lalu, apa dosa yang dilakukan domba tersebut jika pengembala berada di antara serigala dan domba itu?  Mungkinkah ia kuat menghadapi serigala dan bisa selamat darinya?”
Jawabannya;  Demi Allah, sesungguhnya syaithan itu adalah serigalanya manusia seperti yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Tetapi Allah tidak memberikan kekuasaan begitu saja kepada serigala yang terkutuk ini sehingga ia (dengan mudah) bisa melahap domba yang lemah.  Jika domba menyodorkan tangannya ke arah serigala, dan mengajaknya bersalaman, atau jika serigala itu mengundangnya dan domba mengiyakan (menyambut) ajakannya, menurut (manut) kepadanya dan tidak menghindar darinya, menghampirinya serta tunduk dan patuh, meninggalkan tempat pengembalaan yang sudah terlindung dan tidak bisa dimasuki serigala, lalu dia berpindah ke sarang serigala, yang siapa pun jika masuk ke sana tentu akan menjadi santapannya, maka bukankah serigala tetap saja seekor serigala dan bukannya domba?  Bagaimana mungkin penggembala bisa mengingatkan dan menakut-nakutinya?  Banyak didapatkan domba yang menjadi mangsa serigala, karena domba itu melepaskan diri dari kawalan penggembala dan berpindah ke kawasan (tempat) serigala.
Ahmad bin Marwan Al-Maliky berkata dalam kitab Al-Mujalasah, “Aku mendengar Ibnu Abid-Dunya berkata, ‘Sesungguhnya Allah memiliki Ilmu yang tak terbatas, dan tak terhitung.  Dia memberi setiap orang sebagian dari ilmu-Nya, yang tidak diberikan kepada orang lain.  Kami pernah diberitahu Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Sa’id Al-Qathan, kami diberitahu Ubaidillah bin Bakar As-Sahmy, dari ayahnya, bahwa ada sekumpulan orang yang sedang dalam perjalanan jauh.  Salah seorang di antara mereka melewati sekumpulan burung, lalu dia bertanya kepada teman-temannya, ‘Tahukah kalian apa yang diperbincangkan burung-burung itu?’
‘Tidak tahu,’ jawab mereka
Orang itu berkata, ‘Dia (burung itu) mengatakan begini dan begitu.’
Ada sesuatu yang membingungkan kami, dan kami tidak tahu apakah orang itu (berkata) jujur atau berdusta.  Suatu ketika mereka melewati tempat remang-remang yang di sana ada seekor domba bersama anaknya yang sebelumnya lepas dari induknya.  Induk domba itu pun mendekatkan lehernya kepada anaknya - lalu mengembik.
‘Tahukah kalian apa yang dikatakan induk domba itu (kepada anaknya)?’  Tanya orang tersebut.
‘Tidak tahu,’ jawab mereka. 
Orang itu berkata, Induk kambing tersebut berkata kepada anaknya, ‘Kemarilah, agar kamu tidak dimakan oleh serigala, seperti yang menimpa saudaramu awal tahun kemarin di tempat ini.’
Akhirnya kami bertemu dengan pengembala kambing itu, dan kami bertanya kepadanya, ‘Apakah domba ini melahirkan anak pada tahun kemarin?’  Pengembala menjawab, ‘Benar ia melahirkan awal tahun, lalu anaknya dimakan serigala di tempat ini.’
Kemudian kami berpapasan dengan sekumpulan orang-orang yang di tengah-tengah mereka ada sekedup di atas punggung onta.  Onta itu mengeluarkan suara dan melengkungkan lehernya ke arah wanita yang berada di dalam sekedup.
‘Tahukah kalian apa yang dikatakan onta itu?’  Tanya orang tadi.
‘Tidak tahu,’ jawab kami.
Dia berkata, ‘Dia (onta) mengutuk wanita penunggangnya, yang menurutnya wanita itu pernah mengikatnya dengan tali, dan tali itu ada yang menusuk ke punuknya.’
Kami pun menemui orang-orang itu dan berkata, ‘Sesungguhnya rekan kami ini berkata bahwa, onta itu mengutuk wanita penunggangnya, dan ia mengatakan bahwa dia (wanita itu) pernah mengikatnya dengan tali, dan sebagian tali itu tertinggal di dalam punuknya.’
Maka mereka menderumkan onta dan memeriksanya.  Ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-benar terjadi.’”
Itulah domba yang memperingatkan anaknya dari sergapan serigala sekali saja, dan anak domba itu pun menuruti (perkataan induknya). Sementara Allah memperingatkan anak Adam dari sergapan serigalanya hingga beberapa kali.  Namun anak Adam itu tidak menggubrisnya, justru mereka memenuhi ajakan serigala yang berdampingan dengannya.  Firman Allah (artinya),
“Dan berkatalah syaithan tatkala perkara hisab telah diselesaikan, ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku menyalahi (mengingkari)nya.  Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadap kalian (sedikitpun), melainkan (sekedar) menyeru kalian – lalu kalian mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kalian mencerca aku, akan tetapi cercalah diri kalian sendiri.  Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian dan kalian pun serkali-kali tidak dapat menolongku.  Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.’  Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih.”  (Ibrahim;  22)[1]

oOo
(Disadur dari kitab, “Tafsir Ibnu Qayyim, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan”, Syaikh Muhammad Uwais An-Nadwy)
[1]  Sifaa’ Al-Aliil, hal.  100-101

Selasa, 26 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHAK JAHILIYAH (Masalah ke-122)



“BERLOYALITAS KEPADA ORANG-ORANG KAFIR”
بسم الله الر حمان الر حيم

Mereka mencintai kekufuran dan orang-orang kafir.

SYARAH (PENJELASAN)
Termasuk perbuatan jahiliyah adalah, mencintai kekufuran dan orang-orang kafir.  Sebagaimana disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang bani Israil, bahwasanya mereka menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung,
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik).”  
(QS. Al-Maidah;  80)
Dan Allah telah mengharamkan perbuatan berkasih sayang dengan orang-orang kafir.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain.  Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”  
(QS. Al-Maidah;  51)
Allah Jalla Jalaaluhu melarang kaum muslimin untuk berbuat seperti apa yang diperbuat oleh kaum Yahudi, yaitu berkasih sayang dan mencintai orang-orang kafir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.  Barangsiapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”  (Ali Imran;  28)
Perkara ini jelas sekali, bahwasanya yang diwajibkan adalah memusuhi orang-orang kafir dan berlepas diri dari mereka dan agamanya.  Al-Wala’ (loyalitas / kasih sayang) dan Al-Bara’ (benci / berlepas diri) merupakan kewajiban yang paling agung di dalam Islam.

Catatan Penulis Blog;
Meskipun orang-orang yang beriman membenci kekufuraan, baik (kekufuran) yang besar maupun yang kecil, namun pelakunya tetap harus diperlakukan secara adil (tidak boleh dizhalimi), dengan tetap memberikan dan menghormati apa yang menjadi hak-hak mereka.

oOo
(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah;  Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-119)



“BERDEBAT TANPA ILMU”
بسم الله الر حمان الر حيم

Mereka berdebat dalam suatu perkara yang mana mereka tidak memiliki ilmu tentangnya.

SYARAH (PENJELASAN)
Sesungguhnya orang-orang jahiliyah berdebat dan saling bertikai dalam suatu permasalahan yang mereka tidak memiliki ilmu (agama, pen) di dalamnya.  Padahal yang diwajibkan adalah, seseorang tidak diperbolehkan berdebat kecuali dengan ilmu.  Adapun perkara yang tidak dia ketahui, semestinya dia diam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.” (QS. Yunus;  39)
Maksudnya; Mereka pada hakikatnya mentakwilkannya (menyimpangkan makna dari yang sebenarnya).
Di dalam ayat di atas terkandung dua faidah, yaitu;
Pertama;
Seseorang tidak boleh masuk ke dalam suatu perkara (permasalahan) yang belum dia ketahui, dan tidak (pula) boleh mengingkari perkara yang dia belum mengetahuinya.  Bahkan hendaknya dia mengatakan, “Wallahu a’lam” (hanya Allah yang Maha mengetahui).  Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahui ‘alaihi wa sallam,
 وقل رب زد ني علما . . ./ Wa qul rabbi zidnii ‘ilma”/  “Dan katakanlah, ‘Wahai Rabbku, tambahkanlah bagiku ilmu pengetahuan.”   
(QS. Thaha;  114)
Seseorang tidak boleh menganggap bahwa dirinya itu menguasai semua ilmu.  Akan tetapi, hendaknya dia menganggap dirinya selalu kurang dan mengetahui kadar kemampuan (ilmu)nya.  Meskipun dia telah menguasai banyak bidang keilmuan, namun yang tidak diketahuinya jauh lebih banyak.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وفوق كل ذي علم عليم . . . / “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliimun” /  “Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”  
(QS. Yunus;  76)
Sehingga akhir (muara) keilmuan itu hanya tertuju pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua;
Janganlah seseorang (terburu-buru) mengingkari suatu perkara yang diketahui oleh orang lain (tetapi dia tidak mengetahui).  Seandainya ilmu itu ada pada orang lain, dan tersembunyi pengetahuan tersebut dari dirinya, maka janganlah dia (buru-buru) mengingkarinya.  Tidak ada seorang manusia pun yang diberi ilmu secara keseluruhan.  Oleh karena itu para ‘ulama sering mengatakan – dan ungkapan ini selalu diulang-ulang, “Barangsiapa yang menghafal sesuatu hujjah, maka ia akan mengalahkan orang yang tidak menghafalnya.”
Ad-dahriyun (kaum atheis), kaum musyrikin, para penolak sifat-sifat Allah, dan orang-orang yang sesat, mereka mengingkari setiap perkara yang mereka ingkari (belum mereka ketahui), yang didasari kebodohan terhadap perkara tersebut dan dangkalnya kemampuan (daya pikir / akal) mereka.  Hal ini dikarenakan mereka tidak mau beriman kepada perkara yang ghaib, dan membangun madzhab mereka di atas qiyas (analogi) yang fasid (rusak), lalu mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.

oOo
(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Senin, 25 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-115)



“BERBICARA TENTANG ALLAH TANPA DASAR ILMU”
بسم الله الر حمان الر حيم

Kaidah (mereka) yang sesat ialah berbicara tentang Allah tanpa ilmu.

SYARAH (PENJELASAN)
Kaidah (mereka) yang sesat – yang merupakan pokok dasar kesesatan Alam semesta dan sumbernya, adalah berkata tentang Allah tanpa Ilmu.  Dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu dosanya lebih besar daripada dosa syirik.  Oleh karena itu Allah berfirman (artinya),
“Katakanlah, ‘Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengatakan tentang Allah apa yang kamu tidak ketahui ilmunya.”   (Al-A’raf;  33)
Berbicara tentang Allah tanpa ilmu (dosanya) berada di atas dosa perbuatan syirik kepada Allah ‘Azza wa Jalla.  Oleh karena itu, tidak diperbolehkan berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu.  Seperti mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan ini, atau membolehkan (menghalalkan) itu, atau Allah telah mensyariatkan yang itu.  Padahal hal itu tidak disyariatkan-Nya.  Ini adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu, wal ‘iyyaadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian).  Atau juga berfatwa tentang sesuatu yang dia tidak mengerti tentang apa yang difatwakan (berfatwa tanpa ilmu, pent.), atau bahkan dia mereka-reka.  Ini merupakan perkara yang sangat berbahaya sekali, dan ini adalah suatu kedustaan terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?  Bukankah di Neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir?”  
(QS. Az-Zumar;  32)
Maka tidak diperbolehkan berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ditanya tentang suatu perkara yang belum turun wahyu di dalamnya, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda jawabannya hingga turun wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Maka, bagaimana dengan orang-orang yang selain Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam?  Bagi seorang ulama, tentu banyak perkara yang belum diketahuinya.  Jika belum ada kejelasan di dalam suatu masalah dan dia (tidak mengetahui) dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, maka katakanlah, “Aku tidak tahu.”  Karena hal itu tidak akan mengurangi eksistensi keilmuannya dan kedudukannya, akan tetapi perkara ini (sebaliknya) akan menambah kedudukannya di sisi Allah.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang 40 permasalahan (agama), lalu Beliau menjawab sebagiannya.  Kebanyakan jawaban yang Beliau lontarkan adalah, “Aku tidak tahu.”  Maka si penanya berkata kepadanya, “Aku datang kepadamu dari negeri yang jauh, aku melakukan perjalanan, dan engkau mengatakan, ‘Aku tidak tahu’”  Maka Al-Imam Malik rahimahullah berkata kepadanya, “Naiklah ke tungganganmu, dan kembalilah ke negeri asalmu, dan katakan kepada orang-orang, ‘Aku bertanya kepada Malik (tentang perkara-perkara agama), tetapi dia hanya berkata, ‘Aku tidak tahu’.  Demikianlah sikap seorang ahli ilmu dan orang-orang yang takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan demikian juga dalam hal tulisan maupun karangan.  Seseorang tidaklah boleh menyusun suatu karya ilmiah, sedangkan ia tidak memiliki keahlian dalam karya tulis.  Dan semoga kita selamat dari berbagai karangan dan tulisan.  Dan tidaklah kita akan selamat, kecuali (membaca) kitab-kitab yang shahih yang mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah.  Dan yang menjadi masalah adalah, bahwa kitab dan tulisan itu tetap keberadaannya, dan akan menyesatkan generasi setelahnya.  Sehingga penulisnya harus bertanggung jawab atas tulisan / kitab tersebut.  Oleh karena itu, seseorang harus bertakwa kepada Allah di dalam fatwanya, tulisannya, ucapannya, beritanya, maupun ceramahnya.  Janganlah mengatakan kecuali apa yang menurut dominasi sangkaannya bahwa itu benar, serta mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah.

oOo
(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Sabtu, 23 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AHKLAK JAHILIYAH (Masalah ke-114)



“MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN PADAHAL MENGETAHUINYA”
بسم الله الر حمان الر حيم

Menyembunyikan kebenaran padahal mengetahuinya.

SYARAH (PENJELASAN)
Termasuk perilaku dan akhlak jahiliyah dari orang-orang Yahudi, Nasrani, para penyembah berhala, dan dari kalangan orang-orang Islam yang menyerupai mereka adalah, menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui kebenaran tersebut.  Perilaku ini tampak sekali pada ahli kitab dari kalangan Yahudi dan mayoritas Nasrani.  Mereka mengetahui kebenaran akan tetapi mereka menyembunyikan kebenaran tersebut dan tidak menjelaskan kepada manusia, demi tendensi duniawi atau mencari keridhaan manusia.
Sebesar-besar perkara yang mereka sembunyikan adalah, mereka mengetahui tentang sifat dan ciri Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam kitab Taurat dan Injil, mengetahui kerbenaran Risalah Beliau, dan apa yang telah datang kepada Beliau (Al-Qur’an, ed.).  Namun justru mereka menutup-nutupinya, bahkan mereka mengingkari Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an (artinya),
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anaknya sendiri.  Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.  Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”  
(QS. Al-Baqarah; 146-147)
Dan ayat ini pada konteksnya (menyebutkan) tentang pengalihan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah yang mulia.  Mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadikan Ka’bah sebagai Kiblatnya, yang merupakan Kiblatnya Ibrahim ‘alaihissalam.  Mereka mengetahui hal ini di dalam kitab-kitab mereka, namun bersamaan dengan itu mereka mengingkari pengalihan arah Kiblat tersebut.  Mereka menyembunyikan pengetahuan tentang hal itu.
Demikian pula bagi semua orang yang menyembunyikan kebenaran, sedangkan dia mengetahuinya, dari selain orang-orang Yahudi dan Nasrani, maupun dari kalangan kaum muslimin sendiri.  Barangsiapa yang menyembunyikan kebenaran dan tidak mau menjelaskannya kepada manusia, maka sungguh ia telah berada di atas jalannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.  Sebagaiman makna firman Allah Subahanhu wa Ta’ala,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab(yaitu), ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya.’  Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka, dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit.”  
(QS. Ali-Imran;  187), dan
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua makhluk yang dapat melaknat, kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku terima taubatnya dan Akulah Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”  
(QS. Al-Baqarah;  159-160)
(Di dalam ayat di atas menerangkan tentang) syarat diterimanya taubat mereka, yaitu menjelaskan (meralat) apa yang telah mereka sembunyikan.  Dan tidak cukup taubat secara global (seperti mengucapkan istigfar saja, pen.), akan tetapi harus menjelaskannya.  Maka wajib bagi orang yang telah mengetahui kebenaran untuk menjelaskannya kepada manusia.  Tidak membeli maupun menjual kebenaran tersebut dengan harga yang murah, lalu disembunyikan untuk kepentingan mendapatkan keuntungan duniawi atau untuk mendapatkan keridhaan manusia.  Padahal hanya Alah-lah Yang paling berhak untuk ditakuti dan dicari (dimohon) keridhaan-Nya.  Sehingga tidak diperkenankan menyembunyikan kebenaran bagi orang yang mampu menerangkan kebenaran tersebut.
Adapun bagi orang-orang yang tidak mampu atau khawatir dengan penjelasan yang dia sampaikan akan menyebabkan muculnya fitnah yang lebih besar, maka orang yang demikian ini ma’dzur (memiliki udzur (alasan) untuk tidak menerangkan, pent.).  Akan tetapi orang yang tidak memiliki halangan dan rintangan dalam menerangkan kebenaran, hanya saja dia menyembunyikan kebenaran untuk kepentingan dan kemashlahatan pribadinya, maka orang yang seperti ini akan dilaknat oleh Allah dan orang-orang yang dapat melaknat.
Perilaku ini merupakan perilaku bangsa Yahudi.  Dan sifat ini akan mencocoki dan mengenai (menulari) siapa saja yang menyembunyikan kebenaran, dalam rangka mengikuti hawa nafsu dan tidak mau menjelaskannya kepada manusia.  Apabila ditanya tentang hukum suatu permasalahan maka dia menjawabnya dengan jawaban yang tidak benar, padahal dia mengetahui jawaban yang benar untuk pertanyaan tersebut.  Seperti itulah perbuatan menyembunyikan kebenaran.  Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengatakan perkataan yang benar walaupun terhadap dirinya sendiri.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
. . . كونوا قوامين بلقسط شهداء لله ولو على انفسكم اولوالد ين والاقربين . . . / “Quunuu qawwamiina bilqisthi syuhadaa’a lillahi walau ‘alaa anfusikum awilwaalidaini wal aqrabiina”
“Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.”  
(QS. An-Nisa’;  135)
Maka wajib menerangkan kebenaran di dalam persaksian-persaksian dan yang lainnya.  Menyembunyikan persaksian yang paling jahat ialah menyembunyikan ilmu.  Yang mana ilmu itu merupakan (hakikat) kehidupan manusia dan petunjuk mereka kepada jalan yang lurus.  Oleh karena itu, maka yang wajib adalah menerangkan kebenaran, dan tidak terlalu banyak berbasa-basi.  Contohnya, apabila ia melihat manusia terjerumus kedalam kebathilan, khurafat, atau kesyirikan, maka janganlah dia mendiamkannya.  Bahkan yang wajib baginya ialah menjelaskan (kesesatan tersebut).
Janganlah dia membiarkan manusia terjatuh dalam perbuatan penyembahan terhadap kuburan, perbuatan bid’ah yang menyesatkan.  Janganlah dia diam saja dan berkata, “Aku tidak punya kepentingan dengan orang lain.”  Atau bila ia menjumpai seseorang bermu’amalah dengan cara yang haram, maka dia mendiamkannya.  Perbuatan itu termasuk menyembunyikan ilmu dan berkhianat terhadap nasihat.
Allah Subahanhu wa Ta’ala tidak bermaksud memberimu ilmu dengan tujuan kamu diam terhadap apa yang kamu jumpai dari kebathilan dan kemaksiatan.  Tidaklah Allah memberi ilmu kepadamu, kecuali agar kamu menerangkannya kepada manusia, dan agar kamu menyeru kepada (agama) Allah di atas ilmu, serta berusaha mengeluarkan manusia dari kegelapan kebathilan kepada cahaya kebenaran.
Tidak diperkenankan bagi ulama untuk bersikap diam, sedangkan mereka mampu untuk menerangkan.  Terutama bila mereka menjumpai manusia terjatuh ke dalam kesesatan, kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.  Tidak ada peluang bagi mereka untuk berdiam diri.  Jika mereka diam, sungguh ini adalah sikap menyembunyikan ilmu, yang Allah telah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani karenanya.
Maka bagaimana dengan seseorang yang mengatakan sesuatu perkara, sedangkan perkara itu bertentangan dengan kebenaran dan dia mengetahuinya?  Atau bagaimana bila ia berfatwa yang menyelisihi kebenaran dengan sengaja, dalam rangka mencari keridhaan manusia, atau demi lancarnya segala urusan, atau untuk memobilisasi manusia atas apa yang mereka berada di atasnya?!  Maka, yang benar itu adalah yang paling berhak untuk diikuti.  Yang wajib kamu (cari adalah) keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dan bukan keridhaan manusia, karena mereka berada di atas kebathilan.  Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits (artinya),
“Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan resiko dimurkai manusia, niscaya Allah akan meridhainya dan manusia pun akan meridhainya.  Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan resiko dimurkai Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya dan manusia pun juga memurkainya.”  
(HR. At-Tirmidzi  4/609-610, no.2419.  Al-Imam Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Al-Jami’ (no.6097)

oOo

(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Jumat, 22 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-113)



“MENCAMPUR ANTARA KEBENARAN DENGAN KEBATHILAN AGAR KEBATHILAN ITU DITERIMA”
بسم الله الر حمان الر حيم

Al-Labsu (mengaburkan) kebenaran dengan kebathilan.

SYARAH (PENJELASAN)
Merupakan adat dan tradisi orang-orang kafir dan jahiliyah dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan dari kalangan orang-orang Islam yang menyerupai mereka adalah, mengaburkan kebenaran dengan kebathilan.
Al-Labtsu adalah Al-Kalthu, yakni mencampur adukkan.  Maksudnya, mereka mencampur adukkan antara kebenaran dengan kebathilan, dalam rangka (untuk) menyebarkan kebathilan tersebut.  Karena kalau kebathilan semata (yang disebarkan), pastilah tidak akan ada seorang pun yang mau menerimanya.  Akan tetapi apabila dikaburkan (dicampur) dengan kebenaran, maka orang-orang yang mudah tertipu dari kalangan orang yang beriman, dan kalangan orang yang dangkal pandangannya akan mudah menerimanya, dan mereka akan mengatakan, “Di dalamnya ada (terselip) kebenaran.”  Lalu mereka pun menerima semuanya.
Adapun seandainya mereka menerima kebenaran saja darinya dan menolak yang bathil, niscaya akan baiklah tindakan itu.  Akan tetapi jika mereka menerima secara keseluruhan (tanpa mau memilah-milah), maka ini adalah suatu kesalahan.  Maka yang wajib bagi orang-orang berilmu dan berakal sehat, hendaknya jangan menerima segala sesuatu yang sesuai (cocok) dengan perasaannya saja.  Akan tetapi hendaklah diteliti dan diperiksa terlebih dahulu.  Lalu diterima jika di dalamnya terdapat kebenaran, dan ditolak atau dikembalikan jika di dalamnya ada kebathilan.
Terkadang orang-orang kafir menyampaikan kebenaran bukan dalam rangka semangat, atau menyukai kebenaran tersebut, akan tetapi mereka menyampaikannya untuk menyebarkan (“menyelipkan”) kebathilan padanya.  Maka, wajiblah kita waspada terhadap perbuatan mereka.  Ini merupakan tindakan preventif dan tidak tergesa-gesa dalam menerima perkara tersebut.
Ketika telah tampak pada perkara tersebut cahaya kebenaran, yang sebelumnya telah diuji dan diperiksa, maka kebenaran yang ada di dalamnya kita ambil, dan kebathilan yang ada di dalamnya kita tolak.  Dan (masalah) yang seperti ini hanya diketahui oleh ahli ilmu (‘ulama) dan ahli bashirah.
Adapun kalangan awam dan orang yang jahil (bodoh), yang sempit cara pandangnya, akan tertipu dan terkelabui dengan perkara-perkara semacam ini.  Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban bagi mereka adalah bertanya kepada ahli ilmu (orang yang lebih mengetahui), dan meminta bimbingan para ‘ulama sebelum menerimanya, sehingga mereka bisa selamat dari berbagai kerancuan.

oOo

(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Selasa, 19 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-99)



“MEMANDANG DUNIA DENGAN PENUH KEKAGUMAN”
بسم الله الر حمان الر حيم

Di dalam hati mereka (memandang) bahwa dunia itu sangatlah besar dan agung, sebagaimana ucapan mereka sendiri  (di dalam makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala),
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar dari salah satu dua negeri ini?'  
(QS. Az-Zukhruf;  31)

SYARAH (PENJELASAN)
Termasuk dari perkara jahiliyah adalah mengagungkan dunia dalam jiwa-jiwa mereka.  Orang-orang yang memiliki harta benda menurut mereka adalah orang-orang yang mulia, dan orang yang tidak memiliki harta benda adalah orang yang rendah dan hina.
Sampai-sampai di dalam masalah wahyu – dimana hal tersebut merupakan hak (prerogatif) Allah Subahanahu wa Ta’ala di dalam menentukan kepada siapa wahyu akan diturunkan (mereka kritisi).  Mereka berpandangan bahwa, wahyu itu wajib diturunkan kepada orang-orang kaya (terpandang), dan tidak diperkenankan untuk diturunkan kepada kaum fakir miskin.
Mereka berkata, “Allah tidak mendapati seseorang, kecuali seorang anak yatim (asuhan) Abu Thalib untuk diutus-Nya.”  Yang mereka maksudkan adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang pembesar dari salah satu dua negeri ini?’”  
(QS. Az-Zukhruf;  31)
Dua negeri yang mereka maksudkan adalah Mekkah dan Thaif.  Dan orang yang dimaukan (mereka maksudkan) adalah Al-Walid bin Al-Mughirah dari Mekkah, atau Habib bin ‘Amr Ats-Tsaqafi dari Thaif, dan ada (juga) yang mengatakan Urwah bin Mas’ud dari Thaif.
Mereka mengatakan, “Andai wahyu itu diturunkan kepada salah seorang tersebut, pastilah ini lebih pantas.”  Akan tetapi wahyu itu diturunkan kepada seorang anak yatim lagi fakir, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini tidak pantas menurut mereka.  Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman,
. . .اهم يقسمون رحمة ربك   / “Ahum yaqsimuuna rahmata rabbika”  / “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabb-mu?”  
(QS. Az-Zukhruf;  32)
Maknanya;  Mereka ikut campur tangan di dalam perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla.  Mereka berkeinginan untuk membagi rahmat Allah (sesuai keinginan mereka), dan tidak mau percaya dengan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lakukan. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
. . .  الله اعلم حيث يجعل رسالته . . . /  “Allahu a’lamu haitsu yaj’alu risaalatahu” / “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.”  
(QS. Al-An’am;  124)
(Baca dan renungkan syair, Inilah DUNIA)

oOo
(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah;  Dr.  Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-97)



“BERBANGGA DENGAN KETURUNAN PARA NABI TETAPI MENYELISIHI (AJARAN) MEREKA”
بسم الله الر حمان الر حيم

Bangga dengan keadaan mereka sebagai anak keturunan para Nabi.  Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu membantah mereka dengan firman-Nya (artinya),
“Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya.” 
(QS. Al-Baqarah;  134)

SYARAH (PENJELASAN)
Di antara perilaku bani Israil, dan orang-orang Islam yang menyerupai mereka, adalah merasa bangga dengan keadaan mereka sebagai anak cucu Nabi.  Namun anehnya, mereka tidak mau mengikuti kebenaran yang dibawa para Nabi tersebut, terutama kebenaran yang dibawa oleh penutup para Nabi (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).  Padahal yang menjadi kewajiban bagi mereka adalah mengikuti (ajaran) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Adapun perkataan mereka, “Kami adalah anak cucu para Nabi”,  hanya mencukupkan diri dengan ini tanpa mengikuti (ajaran) mereka, yang demikian itu telah dibantah oleh Allah dengan firman-Nya, “Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya.”  (Al-Baqarah;  134)
Manusia itu akan diperhitungkan dengan amalannya sendiri, bukan dengan amalan orang lain.  Adapun Para Nabi – semoga shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada mereka – merupakan seutama-utama makhluk.  Tetapi amalannya tidak akan mencukupi untuk anak keturunan mereka, apabila anak cucu tersebut tidak mau mengikuti (ajaran) mereka.  Amalan para Nabi itu untuk mereka sendiri, dan amalan keturunan mereka juga untuk diri mereka.  Demikian pula orang-orang yang berbangga diri dengan amalan nenek moyang mereka.  (Mereka menyatakan), bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang shalih dan para ‘ulama, dan mengira bahwa hal ini akan mencukupkannya dari beramal.  Sebagaimana orang-orang yang menisbatkan diri kepada Ahlul Bait.  Mereka menyangka, bahwa penyandaran diri kepada Ahlul Bait akan mencukupkan mereka tanpa mau mengerjakan amalan shalih untuk diri mereka sendiri.
Termasuk dalam hal ini adalah orang-orang yang bertawasul dengan amalan Nabi, kedudukan Nabi, atau dengan amalan para wali, atau orang-orang shalih.  Apa kaitan mereka dengan amalan orang-orang selain mereka?  Amalan mereka itu khusus untuk mereka, dan amalan kalian khusus untuk kalian.  Amalan mereka tidak akan bermanfaat bagi kalian.  Pada Hari Kiamat kelak tidak ada seorang pun yang akan memberi manfaat kepada siapapun juga.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت  / “Lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa makhtasabat” / “Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”  
(QS. Al-Baqarah;  286)
Tidak akan bermanfaat untukmu pada Hari Kiamat kelak kecuali amalanmu sendiri.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya), Baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagimu apa yang telah kamu usahakan.  Dan kamu tidak akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.”  
(QS. Al-Baqarah;  134)
Di dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang suka bertawasul dengan para wali dan orang-orang shalih, atau kedudukan orang-orang tersebut.  Atau juga dengan mencukupkan intishab  ("menyandarkan diri") kepada orang-orang shalih, para Nabi, atau karib kerabat mereka, tanpa mau beramal untuk diri mereka sendiri.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Wahai kaum quraisy, selamatkanlah diri-diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat memberi manfaat sedikitpun pada kalian di hadapan Allah.  Wahai Abbas paman Rasulullah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, sungguh aku tidak dapat memberi manfaat sedikitpun pada kalian di hadapan Allah kelak.  Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku dari sebagian hartaku sesuai dengan keinginanmu (karena) aku tidak dapat memberimu manfaat sedikit pun di hadapan Allah kelak.”  
(HR.  Al-Bukhari no. 2753, 3527, 4771, dan Muslim no. 206)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada manusia yang paling terdekat dengan Beliau (hubungan kerabatnya), “Sungguh aku tidak dapat memberimu manfaat sedikitpun di hadapan Allah.”  Sehingga dengan demikian, orang-orang yang menyandarkan diri kepada Rasulullah, atau mengaku memiliki hubungan kekerabatan dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memiliki hubungan kekerabatan dengan para wali dan orang-orang shalih, atau bertawasul dengan kedudukan mereka, semua itu tidak akan memberi manfaat sedikit pun buat mereka.  Dan pada Hari Kiamat kelak.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain.  Dan segala urusan pada waktu itu dalam kekuasaan Allah.”  
(QS. Al-Infithar;  19), dan
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya.  Setiap orang pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.”  
(QS. ‘Abasa;  34-37)
Setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, sampai-sampai Nabi Isa ‘alaihissalam menyatakan, “Wahai Tuhanku, aku tidak meminta kepada-Mu untuk Maryam yang telah melahirkanku, urusannya sendiri-sendiri.”

oOo

(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-93)



“FANATIK BUTA”
بسم الله الر حمان الر حيم

Fanatiknya seseorang terhadap golongannya semata, (tak peduli) apakah itu di atas kebenaran atau kebathilan.  Hal ini merupakan perkara yang menjadi keharusan menurut orang-orang jahiliyah.  Dan Allah telah menyebutkan tentang perkara ini (di dalam kitab-Nya).

SYARAH (PENJELASAN)
Fanatisme yang tercela adalah, bila seseorang terus menerus berada di atas kebathilan, dalam keadaan dia mengetahui kebathilan tersebut.  Baik karena kesombongan, menentang (kebenaran), membela individu atau kabilah (kelompok) tertentu.
Perbuatan ini merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah.  Salah seorang penyair berkata,
Aku tidak lain hanyalah seorang prajurit
Jika mereka tersesat, aku pun tersesat
jika mereka mendapatkan petunjuk
aku pun akan mendapatkan petunjuk
Allah ‘Azza wa Jalla kemudian menurunkan (wahyu) berkenaan dengan hal ini, sebagaimana dalam makna firman-Nya,
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”  
(QS. Al-Maidah;  8)
Maksudnya; Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menjadikan kalian tidak berbuat adil di dalam hak-hak mereka, meskipun mereka itu musuh kalian.”
Keadilan itu dituntut, baik kepada teman maupun kepada lawan (musuh).  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun dia adalah kerabat(mu).”  
(QS. Al-An’am;  152), dan
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang (yang) benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.  Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlatannya.  Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.  Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata), atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”  
(QS. An-Nisa’;  135)
Yang wajib dilakukan setiap orang adalah berbuat adil terhadap dirinya, kerabatnya, temannya, dan terhadap musuhnya sekalipun.  Janganlah permusuhanmu kepada seseorang menyeretmu untuk berbuat zhalim, atau bertindak sewenang-wenang terhadapnya.  Demikianlah seorang muslim seharusnya bersikap dan berperilaku.
Adapun orang-orang jahiliyah, sesungguhnya mereka fanatik terhadap kaumnya (kelompoknya), meskipun kaumnya tersebut berada di atas kezhaliman.  Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka.  Hendaknya kita mengatakan yang benar, meskipun terhadap diri kita sendiri, kerabat, teman, bahkan musuh (lawan) kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tolonglah saudaramu, baik dia dalam keadaan zhalim, atau terzhalimi.”
Para Sahabat berkata, “wahai Rasulullah, kita menolongnya apabila dia terzhalimi, dan bagaimana kita menolongnya bila ia seseorang yang berbuat zhalim?”
Maka Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
Kamu cegah dia dari perbuatan zhalim, dengan demikian berarti kamu telah menolongnya.”  
(H.R.  Al-Bukhari, no. 2443, 2444, 6952)
Kita menolongnya yaitu dengan cara mencegahnya dari berbuat zhalim.  Dan bukanlah yang dimaksud dengan menolongnya adalah membantunya berbuat zhalim.  Maka yang demikian itu merupakan penghinaan, pelecehan, dan perendahan terhadap dirinya.

oOo

(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)