Sabtu, 23 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AHKLAK JAHILIYAH (Masalah ke-114)



“MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN PADAHAL MENGETAHUINYA”
بسم الله الر حمان الر حيم

Menyembunyikan kebenaran padahal mengetahuinya.

SYARAH (PENJELASAN)
Termasuk perilaku dan akhlak jahiliyah dari orang-orang Yahudi, Nasrani, para penyembah berhala, dan dari kalangan orang-orang Islam yang menyerupai mereka adalah, menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui kebenaran tersebut.  Perilaku ini tampak sekali pada ahli kitab dari kalangan Yahudi dan mayoritas Nasrani.  Mereka mengetahui kebenaran akan tetapi mereka menyembunyikan kebenaran tersebut dan tidak menjelaskan kepada manusia, demi tendensi duniawi atau mencari keridhaan manusia.
Sebesar-besar perkara yang mereka sembunyikan adalah, mereka mengetahui tentang sifat dan ciri Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat di dalam kitab Taurat dan Injil, mengetahui kerbenaran Risalah Beliau, dan apa yang telah datang kepada Beliau (Al-Qur’an, ed.).  Namun justru mereka menutup-nutupinya, bahkan mereka mengingkari Risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an (artinya),
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anaknya sendiri.  Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.  Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”  
(QS. Al-Baqarah; 146-147)
Dan ayat ini pada konteksnya (menyebutkan) tentang pengalihan Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah yang mulia.  Mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadikan Ka’bah sebagai Kiblatnya, yang merupakan Kiblatnya Ibrahim ‘alaihissalam.  Mereka mengetahui hal ini di dalam kitab-kitab mereka, namun bersamaan dengan itu mereka mengingkari pengalihan arah Kiblat tersebut.  Mereka menyembunyikan pengetahuan tentang hal itu.
Demikian pula bagi semua orang yang menyembunyikan kebenaran, sedangkan dia mengetahuinya, dari selain orang-orang Yahudi dan Nasrani, maupun dari kalangan kaum muslimin sendiri.  Barangsiapa yang menyembunyikan kebenaran dan tidak mau menjelaskannya kepada manusia, maka sungguh ia telah berada di atas jalannya orang-orang Yahudi dan Nasrani.  Sebagaiman makna firman Allah Subahanhu wa Ta’ala,
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab(yaitu), ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya.’  Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka, dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit.”  
(QS. Ali-Imran;  187), dan
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua makhluk yang dapat melaknat, kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku terima taubatnya dan Akulah Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”  
(QS. Al-Baqarah;  159-160)
(Di dalam ayat di atas menerangkan tentang) syarat diterimanya taubat mereka, yaitu menjelaskan (meralat) apa yang telah mereka sembunyikan.  Dan tidak cukup taubat secara global (seperti mengucapkan istigfar saja, pen.), akan tetapi harus menjelaskannya.  Maka wajib bagi orang yang telah mengetahui kebenaran untuk menjelaskannya kepada manusia.  Tidak membeli maupun menjual kebenaran tersebut dengan harga yang murah, lalu disembunyikan untuk kepentingan mendapatkan keuntungan duniawi atau untuk mendapatkan keridhaan manusia.  Padahal hanya Alah-lah Yang paling berhak untuk ditakuti dan dicari (dimohon) keridhaan-Nya.  Sehingga tidak diperkenankan menyembunyikan kebenaran bagi orang yang mampu menerangkan kebenaran tersebut.
Adapun bagi orang-orang yang tidak mampu atau khawatir dengan penjelasan yang dia sampaikan akan menyebabkan muculnya fitnah yang lebih besar, maka orang yang demikian ini ma’dzur (memiliki udzur (alasan) untuk tidak menerangkan, pent.).  Akan tetapi orang yang tidak memiliki halangan dan rintangan dalam menerangkan kebenaran, hanya saja dia menyembunyikan kebenaran untuk kepentingan dan kemashlahatan pribadinya, maka orang yang seperti ini akan dilaknat oleh Allah dan orang-orang yang dapat melaknat.
Perilaku ini merupakan perilaku bangsa Yahudi.  Dan sifat ini akan mencocoki dan mengenai (menulari) siapa saja yang menyembunyikan kebenaran, dalam rangka mengikuti hawa nafsu dan tidak mau menjelaskannya kepada manusia.  Apabila ditanya tentang hukum suatu permasalahan maka dia menjawabnya dengan jawaban yang tidak benar, padahal dia mengetahui jawaban yang benar untuk pertanyaan tersebut.  Seperti itulah perbuatan menyembunyikan kebenaran.  Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mengatakan perkataan yang benar walaupun terhadap dirinya sendiri.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
. . . كونوا قوامين بلقسط شهداء لله ولو على انفسكم اولوالد ين والاقربين . . . / “Quunuu qawwamiina bilqisthi syuhadaa’a lillahi walau ‘alaa anfusikum awilwaalidaini wal aqrabiina”
“Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri, atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.”  
(QS. An-Nisa’;  135)
Maka wajib menerangkan kebenaran di dalam persaksian-persaksian dan yang lainnya.  Menyembunyikan persaksian yang paling jahat ialah menyembunyikan ilmu.  Yang mana ilmu itu merupakan (hakikat) kehidupan manusia dan petunjuk mereka kepada jalan yang lurus.  Oleh karena itu, maka yang wajib adalah menerangkan kebenaran, dan tidak terlalu banyak berbasa-basi.  Contohnya, apabila ia melihat manusia terjerumus kedalam kebathilan, khurafat, atau kesyirikan, maka janganlah dia mendiamkannya.  Bahkan yang wajib baginya ialah menjelaskan (kesesatan tersebut).
Janganlah dia membiarkan manusia terjatuh dalam perbuatan penyembahan terhadap kuburan, perbuatan bid’ah yang menyesatkan.  Janganlah dia diam saja dan berkata, “Aku tidak punya kepentingan dengan orang lain.”  Atau bila ia menjumpai seseorang bermu’amalah dengan cara yang haram, maka dia mendiamkannya.  Perbuatan itu termasuk menyembunyikan ilmu dan berkhianat terhadap nasihat.
Allah Subahanhu wa Ta’ala tidak bermaksud memberimu ilmu dengan tujuan kamu diam terhadap apa yang kamu jumpai dari kebathilan dan kemaksiatan.  Tidaklah Allah memberi ilmu kepadamu, kecuali agar kamu menerangkannya kepada manusia, dan agar kamu menyeru kepada (agama) Allah di atas ilmu, serta berusaha mengeluarkan manusia dari kegelapan kebathilan kepada cahaya kebenaran.
Tidak diperkenankan bagi ulama untuk bersikap diam, sedangkan mereka mampu untuk menerangkan.  Terutama bila mereka menjumpai manusia terjatuh ke dalam kesesatan, kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.  Tidak ada peluang bagi mereka untuk berdiam diri.  Jika mereka diam, sungguh ini adalah sikap menyembunyikan ilmu, yang Allah telah mencela orang-orang Yahudi dan Nasrani karenanya.
Maka bagaimana dengan seseorang yang mengatakan sesuatu perkara, sedangkan perkara itu bertentangan dengan kebenaran dan dia mengetahuinya?  Atau bagaimana bila ia berfatwa yang menyelisihi kebenaran dengan sengaja, dalam rangka mencari keridhaan manusia, atau demi lancarnya segala urusan, atau untuk memobilisasi manusia atas apa yang mereka berada di atasnya?!  Maka, yang benar itu adalah yang paling berhak untuk diikuti.  Yang wajib kamu (cari adalah) keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla dan bukan keridhaan manusia, karena mereka berada di atas kebathilan.  Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits (artinya),
“Barangsiapa mencari keridhaan Allah dengan resiko dimurkai manusia, niscaya Allah akan meridhainya dan manusia pun akan meridhainya.  Dan barangsiapa mencari keridhaan manusia dengan resiko dimurkai Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya dan manusia pun juga memurkainya.”  
(HR. At-Tirmidzi  4/609-610, no.2419.  Al-Imam Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Al-Jami’ (no.6097)

oOo

(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar