Kamis, 14 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-81)



“MEREKA GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN) TERHADAP BEKAS-BEKAS PENINGGALAN NABI”
بسم الله الر حمان الر حيم

Mereka menjadikan atsar (bekas-bekas peninggalan) para Nabi sebagai masjid, sebagaimana telah disebutkan (riwayat) dari Umar.

SYARAH (PENJELASAN)
Sebagian dari ajaran agama jahiliyah adalah, menjadikan bekas peninggalan para Nabi sebagai masjid, yakni dengan cara melakukan shalat di sampingnya dalam rangka mencari keberkahan.  Dan perbedaan antara perkara ini dengan perkara sebelumnya adalah, bahwa pada pembahasan sebelumnya dijelaskan tentang ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu.  Sedangkan pada pembahasan ini menerangkan ghuluw yang berkaitan dengan bekas-bekas peninggalan pribadi tertentu tersebut.
Kata  اثار  / “Atsaarun” (bekas-bekas peninggalan) merupakan bentuk jamak dari kata  اثر  / “Atsarun” (bekas peninggalan), yaitu tempat dimana seorang Nabi biasa duduk atau shalat padanya.  Orang-orang jahiliyah lalu menelusuri tempat-tempat tersebut, kemudian mereka beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla di dalamnya.  Mereka berkeyakinan, bahwa shalat di dalamnya memiliki keutamaan.  Dan contoh di dalam hal ini adalah, pergi ke Gua Hira, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah beribadah di dalamnya.  Mereka beramai-ramai pergi ke sana untuk melakukan shalat dan berdoa.  Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah (lagi) mengunjungi tempat tersebut setelah masa kenabian.  Dan tidak ada seorang pun dari para Sahabat Beliau yang Mulia pergi ke Gua Hira, karena mereka mengetahui bahwa hal tersebut tidak disyariatkan.
Demikian pula mereka pergi ke Gua Tsaur, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersembunyi di dalamnya sebelum hijrah.  Mereka juga shalat di dalamnya, meletakkan wewangian padanya, dan terkadang melemparkan uang ke dalamnya.
Ini semua adalah ajaran jahiliyah, yakni mengagungkan bekas-bekas peninggalan para Nabi mereka.  Oleh karena itu Umar radhiyalahu ‘anhu berkata, tatkala manusia pergi ke pohon  Al-Bai’at (pohon tempat para Sahabat dahulu berbai’at kepada Nabi, ed.), “Kebinasan yang telah menimpa umat sebelum kalian adalah,  karena mereka menelusuri bekas-bekas peninggalan para Nabi mereka.”  Kemudian Beliau radhiyallahu ‘anhu memerintahkan agar pohon tersebut ditebang.
Kedua tempat tersebut bukanlah tempat yang disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Adapun tempat yang disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti shalatnya Beliau di Maqam Ibrahim (tempat berdiri Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah, ed.), adalah dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.”  (Al-Baqarah;  125)
Dan disyariatkan (pula) shalat di tempat itu (kepada kita) adalah dalam rangka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Adapun duduknya Beliau di Gua Hira, di Gua Tsaur, atau di jalan antara Mekah dan Madinah untuk beristirahat maka hal ini tidaklah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan dengan tujuan pensyari’atan, tetapi karena ada kebutuhannya.  Maka wajib membedakan perkara ini dengan perkara yang lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat atau duduk di tempat-tempat tersebut adalah karena kebiasaan saja atau sekedar untuk beristirahat.  Atau juga ketika bertepatan dengan waktu shalat (masuk, pen.) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di sana lalu mengerjakan shalat, maka hal ini bukanlah merupakan unsur kesengajaan (menyengaja).  Oleh karena itu tempat tersebut tidaklah dijadikan sebagai tempat shalat.  Sebab perbuatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukan faktor kesengajaan yang ditujukan khusus ke tempat tersebut, tetapi karena bertepatan dengan masuknya waktu shalat.  Tempat tersebut dan tempat-tempat lain di muka bumi ini sama (kedudukannya), dan tidak memiliki keistimewaan tersendiri.
Dikhawatirkan dengan menelusuri hal-hal seperti itu, akan memunculkan penyembahan terhadap tempat tersebut, yakni dengan bertabarruk (mencari keberkahan, pen.) padanya.  Sehingga orang-orang akan meniatkan dari jauh untuk bepergian ke tempat itu.  Lalu selanjutnya terjadilah kesyirikan sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat terdahulu.  Dan terkadang dibangun suatu bangunan di atasnya.  Dan pada zaman sekarang, ada sebagian orang yang menginginkan hal tersebut.  Mereka berkata, “Bangunlah (suatu bangunan) di atas bekas yang dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati atau duduk di tempat itu.  Bangunlah  di atas tempat itu (suatu bangunan) untuk dijadikan kenang-kenangan.”  Ini adalah ucapan yang bathil.
Adapun kita (Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ed.), tidak akan melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah dikerjakan para Salafush shalih (para pendahulu kita dari kalangan sahabat dan setelahnya, pent.).  Kalaulah perkara itu disyariatkan, pastilah para Sahabat, Tabi’in, dan orang-orang setelah mereka akan lebih dahulu mengerjakannya.  Tidaklah kebinasaan itu menimpa ummat-ummat sebelum kita, kecuali dengan sebab perbuatan seperti ini.  Maka menghidupkan bekas-bekas orang yang diagungkan, akan mengantarkan kepada penyembahan berhala.  Sebagaimana hal ini telah terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam dan umat-umat terdahulu.
Dan tidaklah boleh mengatakan, “Sesungguhnya manusia di masa kini sadar akan agama mereka, maka janganlah terlalu mengkhawatirkan mereka.”  Sebab akan datang generasi yang bodoh, lalu syaithan akan menghiasi pada generasi tersebut perbuatan sesat itu.  Dikarenakan tidak ada seorang pun yang akan merasa aman dari fitnah, sebagaimana Al-Khalil Ibrahim ‘alaihissalam ketika berkata dalam doa Beliau (artinya),
“Dan jauhkanlah aku beserta anak-cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”  (Ibrahim;  35)

Catatan penulis Blog;
Perilaku dan akhlak jahiliyah ini {"Berlebih-lebihan (Ghuluw) terhadap bekas-bekas peninggalan para Nabi} telah pula menjangkiti kaum muslimin zaman sekarang di seluruh dunia.  Hal itu tampak pada perjalanan haji atau umrah ke Baitullah, yang disertai dengan kunjungan ke tempat-tempat tertentu (bekas-bekas peninggalan para Nabi) dan melakukan ritual ibadah di sana, padahal  tidak ada landasan syari'atnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

oOo
(Disalin dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar