Selasa, 19 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-97)



“BERBANGGA DENGAN KETURUNAN PARA NABI TETAPI MENYELISIHI (AJARAN) MEREKA”
بسم الله الر حمان الر حيم

Bangga dengan keadaan mereka sebagai anak keturunan para Nabi.  Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu membantah mereka dengan firman-Nya (artinya),
“Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya.” 
(QS. Al-Baqarah;  134)

SYARAH (PENJELASAN)
Di antara perilaku bani Israil, dan orang-orang Islam yang menyerupai mereka, adalah merasa bangga dengan keadaan mereka sebagai anak cucu Nabi.  Namun anehnya, mereka tidak mau mengikuti kebenaran yang dibawa para Nabi tersebut, terutama kebenaran yang dibawa oleh penutup para Nabi (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).  Padahal yang menjadi kewajiban bagi mereka adalah mengikuti (ajaran) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Adapun perkataan mereka, “Kami adalah anak cucu para Nabi”,  hanya mencukupkan diri dengan ini tanpa mengikuti (ajaran) mereka, yang demikian itu telah dibantah oleh Allah dengan firman-Nya, “Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya.”  (Al-Baqarah;  134)
Manusia itu akan diperhitungkan dengan amalannya sendiri, bukan dengan amalan orang lain.  Adapun Para Nabi – semoga shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada mereka – merupakan seutama-utama makhluk.  Tetapi amalannya tidak akan mencukupi untuk anak keturunan mereka, apabila anak cucu tersebut tidak mau mengikuti (ajaran) mereka.  Amalan para Nabi itu untuk mereka sendiri, dan amalan keturunan mereka juga untuk diri mereka.  Demikian pula orang-orang yang berbangga diri dengan amalan nenek moyang mereka.  (Mereka menyatakan), bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang shalih dan para ‘ulama, dan mengira bahwa hal ini akan mencukupkannya dari beramal.  Sebagaimana orang-orang yang menisbatkan diri kepada Ahlul Bait.  Mereka menyangka, bahwa penyandaran diri kepada Ahlul Bait akan mencukupkan mereka tanpa mau mengerjakan amalan shalih untuk diri mereka sendiri.
Termasuk dalam hal ini adalah orang-orang yang bertawasul dengan amalan Nabi, kedudukan Nabi, atau dengan amalan para wali, atau orang-orang shalih.  Apa kaitan mereka dengan amalan orang-orang selain mereka?  Amalan mereka itu khusus untuk mereka, dan amalan kalian khusus untuk kalian.  Amalan mereka tidak akan bermanfaat bagi kalian.  Pada Hari Kiamat kelak tidak ada seorang pun yang akan memberi manfaat kepada siapapun juga.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت  / “Lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa makhtasabat” / “Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”  
(QS. Al-Baqarah;  286)
Tidak akan bermanfaat untukmu pada Hari Kiamat kelak kecuali amalanmu sendiri.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya), Baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagimu apa yang telah kamu usahakan.  Dan kamu tidak akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.”  
(QS. Al-Baqarah;  134)
Di dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang suka bertawasul dengan para wali dan orang-orang shalih, atau kedudukan orang-orang tersebut.  Atau juga dengan mencukupkan intishab  ("menyandarkan diri") kepada orang-orang shalih, para Nabi, atau karib kerabat mereka, tanpa mau beramal untuk diri mereka sendiri.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Wahai kaum quraisy, selamatkanlah diri-diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat memberi manfaat sedikitpun pada kalian di hadapan Allah.  Wahai Abbas paman Rasulullah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, sungguh aku tidak dapat memberi manfaat sedikitpun pada kalian di hadapan Allah kelak.  Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah kepadaku dari sebagian hartaku sesuai dengan keinginanmu (karena) aku tidak dapat memberimu manfaat sedikit pun di hadapan Allah kelak.”  
(HR.  Al-Bukhari no. 2753, 3527, 4771, dan Muslim no. 206)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada manusia yang paling terdekat dengan Beliau (hubungan kerabatnya), “Sungguh aku tidak dapat memberimu manfaat sedikitpun di hadapan Allah.”  Sehingga dengan demikian, orang-orang yang menyandarkan diri kepada Rasulullah, atau mengaku memiliki hubungan kekerabatan dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memiliki hubungan kekerabatan dengan para wali dan orang-orang shalih, atau bertawasul dengan kedudukan mereka, semua itu tidak akan memberi manfaat sedikit pun buat mereka.  Dan pada Hari Kiamat kelak.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain.  Dan segala urusan pada waktu itu dalam kekuasaan Allah.”  
(QS. Al-Infithar;  19), dan
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya.  Setiap orang pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.”  
(QS. ‘Abasa;  34-37)
Setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, sampai-sampai Nabi Isa ‘alaihissalam menyatakan, “Wahai Tuhanku, aku tidak meminta kepada-Mu untuk Maryam yang telah melahirkanku, urusannya sendiri-sendiri.”

oOo

(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar