“BERBANGGA DENGAN KETURUNAN PARA NABI
TETAPI MENYELISIHI (AJARAN) MEREKA”
بسم الله الر حمان الر حيم
Bangga dengan keadaan mereka sebagai anak
keturunan para Nabi. Allah Subhanahu
wa Ta’ala lalu membantah mereka dengan firman-Nya (artinya),
“Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang
telah diusahakannya.”
(QS. Al-Baqarah; 134)
SYARAH (PENJELASAN)
Di
antara perilaku bani Israil, dan orang-orang Islam yang menyerupai mereka, adalah merasa bangga dengan keadaan mereka sebagai
anak cucu Nabi. Namun
anehnya, mereka tidak mau mengikuti kebenaran yang dibawa para Nabi tersebut,
terutama kebenaran yang dibawa oleh penutup para Nabi (Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam).
Padahal yang
menjadi kewajiban bagi mereka adalah mengikuti (ajaran) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun perkataan mereka,
“Kami adalah anak cucu para Nabi”, hanya
mencukupkan diri dengan ini tanpa mengikuti (ajaran) mereka, yang demikian itu
telah dibantah oleh Allah dengan firman-Nya, “Itu adalah umat yang lalu,
baginya apa yang telah diusahakannya.”
(Al-Baqarah; 134)
Manusia
itu akan diperhitungkan dengan amalannya sendiri, bukan dengan amalan orang
lain. Adapun Para Nabi – semoga shalawat
dan Salam selalu tercurahkan kepada mereka – merupakan seutama-utama makhluk. Tetapi amalannya tidak akan mencukupi
untuk anak keturunan mereka, apabila anak cucu tersebut tidak mau mengikuti
(ajaran) mereka. Amalan para Nabi itu
untuk mereka sendiri, dan amalan keturunan mereka juga untuk diri mereka. Demikian pula orang-orang
yang berbangga diri dengan amalan nenek moyang mereka. (Mereka menyatakan), bahwa nenek moyang
mereka adalah orang-orang shalih dan para ‘ulama, dan mengira bahwa hal ini
akan mencukupkannya dari beramal.
Sebagaimana orang-orang yang menisbatkan diri kepada Ahlul Bait. Mereka menyangka, bahwa penyandaran diri
kepada Ahlul Bait akan mencukupkan mereka tanpa mau mengerjakan amalan
shalih untuk diri mereka sendiri.
Termasuk dalam hal ini adalah orang-orang yang
bertawasul dengan amalan Nabi, kedudukan
Nabi, atau dengan amalan para wali, atau orang-orang shalih. Apa kaitan mereka dengan amalan orang-orang
selain mereka? Amalan mereka itu khusus
untuk mereka, dan amalan kalian khusus untuk kalian. Amalan mereka tidak akan bermanfaat bagi
kalian. Pada Hari Kiamat kelak tidak ada
seorang pun yang akan memberi manfaat kepada siapapun juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لها ما كسبت و عليها ما اكتسبت / “Lahaa maa kasabat wa ‘alaihaa
makhtasabat” / “Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya, dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
(QS. Al-Baqarah;
286)
Tidak
akan bermanfaat untukmu pada Hari Kiamat kelak kecuali amalanmu sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
(artinya), “Baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagimu apa yang telah
kamu usahakan. Dan kamu tidak akan
dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al-Baqarah;
134)
Di dalam
ayat ini terdapat bantahan terhadap orang-orang yang suka bertawasul
dengan para wali dan orang-orang shalih, atau kedudukan orang-orang
tersebut. Atau juga dengan mencukupkan intishab ("menyandarkan diri") kepada orang-orang shalih, para Nabi, atau
karib kerabat mereka, tanpa mau beramal untuk diri mereka sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya),
“Wahai kaum quraisy, selamatkanlah diri-diri
kalian, sesungguhnya aku tidak dapat memberi manfaat sedikitpun pada kalian
di hadapan Allah. Wahai Abbas paman
Rasulullah, wahai Shafiyah bibi Rasulullah, sungguh aku tidak dapat memberi
manfaat sedikitpun pada kalian di hadapan Allah kelak. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah
kepadaku dari sebagian hartaku sesuai dengan keinginanmu (karena) aku tidak
dapat memberimu manfaat sedikit pun di hadapan Allah kelak.”
(HR. Al-Bukhari no. 2753, 3527,
4771, dan Muslim no. 206)
Di dalam
hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kepada
manusia yang paling terdekat dengan Beliau (hubungan kerabatnya), “Sungguh aku
tidak dapat memberimu manfaat sedikitpun di hadapan Allah.” Sehingga dengan demikian, orang-orang yang
menyandarkan diri kepada Rasulullah, atau mengaku memiliki hubungan kekerabatan
dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memiliki hubungan
kekerabatan dengan para wali dan orang-orang shalih, atau bertawasul dengan
kedudukan mereka, semua itu tidak akan memberi manfaat sedikit pun buat mereka. Dan pada Hari Kiamat kelak. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (artinya),
“(Yaitu)
hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang
lain. Dan segala urusan pada waktu itu
dalam kekuasaan Allah.”
(QS. Al-Infithar; 19), dan
“Pada
hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri
dan anak-anaknya. Setiap orang pada hari
itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.”
(QS. ‘Abasa;
34-37)
Setiap orang sibuk dengan urusannya
sendiri-sendiri, sampai-sampai Nabi Isa ‘alaihissalam menyatakan, “Wahai
Tuhanku, aku tidak meminta kepada-Mu untuk Maryam yang telah melahirkanku,
urusannya sendiri-sendiri.”
oOo
(Disadur
dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah”, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar