Sabtu, 09 Maret 2019

128 PERILAKU DAN AKHLAK JAHILIYAH (Masalah ke-77)



“MENELADANI ORANG YANG TIDAK PATUT DIJADIKAN TELADAN”
بسم الله الر حمان الر حيم

Panutan mereka mungkin seorang ulama yang Fajir (Ahli maksiat), atau mungkin seorang Ahli Ibadah yang Jahil (bodoh).  Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahui(nya).  Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka berkata, ‘Kami pun telah beriman’.  Akan tetapi bila mereka berada di antara sesama mereka saja, mereka berkata, ‘Apakah kamu menceritakan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) apa yang telah diterangkan Allah kepadamu, supaya dengan demikian mereka dapat mengalahkanmu di hadapan Tuhanmu; tidakkah kamu mengerti?’  Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?  Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga.”  
(QS. Al-Baqarah;  75-78)

SYARAH (PENJELASAN)
Panutan orang-orang jahiliyah dari kalangan Yahudi, Nasrani, serta orang-orang Islam yang menyerupai mereka, mungkin seorang ulama yang fajir (ahli maksiat), yaitu orang yang tidak beramal dengan ilmunya, seperti ahbaar (ulama) dari kalangan Yahudi.  Mungkin juga seorang ahli ibadah yang jahil (bodoh), yaitu orang-orang yang beramal tanpa ilmu, seperti ruhbaan (para pendeta) dari kalangan Nasrani.  Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai sesembahan selain Allah.”  (At-Taubah;  31)
Hal ini dikarenakan, ketika ulama dan ahli ibadah mereka menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal, maka mereka pun menaatinya.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah (artinya),
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, kemudian mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya sedangkan mereka mengetahui(nya)?”  
(QS. Al-Baqarah;  75)
Adapun makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, kemudian mereka mengubahnya?”, maka mereka ini adalah para ulama yang fajir (ahli maksiat).  Sebab ketika mereka mendengar Kalamullah – (dalam hal ini) Taurat – yang mereka mengenal, bahkan mempelajarinya, akan tetapi;  “Kemudian mereka mengubahnya”  (Al-Baqarah;  75), maksudnya mereka mengubah lafazh dan maknanya.
“Setelah mereka memahaminya sedang mereka mengetahui(nya),” maksudnya setelah mereka mengetahui  lafazh dan maknanya yang benar (mereka tetap mengubahnya), karena mengikuti hawa nafsu, memiliki tujuan yang jelek (duniawi) dan memperturutkan syahwat.
Contohnya dalam hal ini adalah, kisah seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita dari kalangan mereka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah.  Mereka (ulama dari kaum Yahudi) berkata, “Pergilah kalian ke orang itu.”  Yang mereka maksud "orang itu", adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Karena mereka (sudah) mengetahui bahwa di dalam Taurat  ditetapkan Hukum Rajam bagi para pezina, sedangkan mereka tidak menginginkan hukuman rajam tersebut (diterapkan).  Mereka lalu berkata, “Mudah-mudahan dia (Muhammad) akan menghukum untuk kedua orang (pelaku zina) tersebut hukuman yang lebih ringan dari rajam.”
Lalu datanglah mereka beramai-ramai kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta hukum darinya bagi kedua pezina tersebut.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya, “Apakah kalian tidak mendapati di dalam Taurat hukuman bagi orang yang berzina?”  Dan di dalam riwayat yang lain (disebutkan), “Apakah kalian tidak mendapati di dalam Taurat Hukum Rajam?”
Mereka menjawab, “Yang kami dapati di dalamnya adalah, kami harus menutupi wajahnya dengan kain hitam, dan kami letakkan (mereka) di atas seekor keledai.  Lalu kami kelilingkan di pasar-pasar.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada Abdullah bin Salam (beliau dahulunya termasuk salah seorang dari ulama mereka, kemudian masuk ke dalam Islam).  Maka ia menjawab, “Mereka telah berdusta ya Rasulullah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kitab Taurat dari mereka.  Maka tatkala mereka menghadirkannya, Ibnu Shauriya meletakkan jarinya tepat di atas ayat yang menjelaskan tentang hukum rajam (untuk menutup-nutupi, pen.).  Lalu Abdullah bin Salam berkata, “Angkatlah jarimu.”
Ketika jarinya diangkat, maka didapati ayat rajam tertulis di dalam Taurat itu.  Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kedua (pezina) tersebut dirajam dengan batu sampai mati. [1]
Ini merupakan tahrif (penyelewengan makna) ulama mereka terhadap Kalamullah.  Dan sungguh, mereka telah berdusta atas Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merahasiakan hukum-Nya.
Dan di antara pentahrifan mereka (yang lain) adalah, apa yang telah disebutkan oleh Allah (di dalam Al-Qur'an), bahwa Allah (pernah) memerintahkan mereka untuk memasuki pintu gerbang dalam keadaan bersujud.  Dan hendaklah mereka mengucapkan,  حطة  / “Hiththathun”, yang artinya “Bebaskanlah kami dari dosa” , namun mereka menggantinya dengan,  حنطة  / "Hinththathun”, yang artinya “gandum”, yakni dengan menambahkan huruf nun.  Maka terjerumuslah mereka ke dalam perbuatan menambahkan sesuatu kepada Kalamullah yang tidak ada asalnya.
Dan yang dimaksud dengan tahrif adalah, melakukan penambahan atau pengurangan di dalam kitab Allah, atau menafsirkan kitab Allah dengan selain maknanya.  Inilah yang dinamakan tahrif.  Dan tahrif itu bisa terjadi di dalam lafazh atau makna.  Termasuk juga pengertian tahrif adalah, semua orang yang berusaha untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits dengan selain makna yang shahih, dengan tujuan untuk membela madzhabnya (kelompoknya) atau mengikuti syahwatnya, atau untuk mendapatkan kepuasan duniawi.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman mereka berkata, ‘Kami pun telah beriman.”  
(Al-Baqarah;  76)
Dan ini adalah (sifat) kemunafikan.  Sifat munafik dan suka mentahrif merupakan perilaku dan akhlak orang-orang Yahudi.  Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga.”  
(QS. Al-Baqarah;  78)
Mereka (di dalam ayat di atas) adalah para ahli ibadah yang jahil (bodoh).  Mereka membaca Taurat tetapi tidak mengetahui maknanya.  Lalu mereka dijadikan sebagai imam-imam oleh kaum Yahudi.
Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengikuti seseorang, kecuali seseorang tersebut orang yang ‘alim, yang beramal dengan ilmunya.  Demikian pula ahli ibadah yang jahil (bodoh), mereka tidak berhak untuk diteladani, meskipun pada diri mereka terdapat sifat zuhud (menjauhkan diri dari dunia) dan bersemangat dalam beribadah, karena mereka tidak berada di atas jalan yang shahih (benar), dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.

oOo
(Disadur dari kitab, “Perilaku dan Akhlak Jahiliyah” Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi, Syarah; Dr.  Shalih bin Fauzan bin Adullah Al-Fauzan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar