Senin, 31 Agustus 2020

HUKUM MENZIARAHI GUA HIRA, GUA TSUR, DAN YANG SEMACAMNYA


بسم الله الرحمان الرحيم

Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah

Pertanyaan :

Apa hukum naik ke bukit Tsur atau ke Jabal Nur, ke gua Hira hanya untuk melihat-lihat saja dan untuk mengenali tempat-tempat yang pernah didatangi Rasulullah ﷺ?

Jawaban : 

Apabila hal itu terjadi di hari-hari ziarahnya orang-orang yang yang jahil (bodoh), para ahli khurafat (tahayul), ahli bidah (menyimpangan dalam Aqidah dan, atau amal), maka tidak boleh bagi penuntut ilmu untuk mengikuti mereka di dalam kejelekan ini. 
Karena sesungguhnya mereka menyangka kalau dia (penuntut ilmu) menyetujui (perbuatan) mereka. 

Allahumma, kecuali kalau seorang penuntut ilmu pergi untuk tujuan menasehati mereka dan menjelaskan kepada mereka, bahwasanya menziarahi tempat-tempat ini bukan termasuk agama Allah dan bukan perkara yang disyariatkan.

Dan Rasul ﷺ dilahirkan di tempat yang suci ini yaitu Negeri Beliau (Mekkah), dahulu Beliau pergi ke gua Hira untuk beribadah sebelum diutus menjadi Nabi, sampai Allah menurunkan wahyu kepada Beliau, dalam keadaan Beliau berada di dalamnya. 

Kemudian Beliau meninggalkan tempat tadi dan tidak pernah kembali ke tempat tersebut selamanya. Sampai Beliau berhijrah dan ketika Beliau kembali ke Mekkah dan Beliau memasuki Kota Mekah ketika melaksanakan umrah Al-Qadha, Beliau tidak pergi ke gua Hira. 
Dan Beliau masuk kota Mekkah pada tahun pembukaan Kota Mekkah, Beliau ﷺ  juga tidak pergi ke Gua Hira, demikian juga Beliau datang lagi ke kota Mekkah ketika Haji Wada', Beliau ﷺ  juga tidak pergi ke gua Hira.  
Beliau tidak pergi dan tidak juga para sahabat Beliau semuanya. Mereka tidak mendatangi tempat-tempat seperti ini. 

Dan Gua Tsur Beliau singgah di sana karena terpaksa. Kemudian Beliau pun berpisah dengan Gua Tsur dan Beliau ﷺ tidak pernah kembali ke sana mendatanginya, selamanya.
Kenapa ada keterikatan seperti ini? Karena di sana ada dorongan-dorongan, di sana ada pengumuman-pengumumman yang jelek dari kalangan Ahlul bathil, yang mereka susun tentang keutamaan-keutamaan dan perkara-perkara semisal tempat-tempat begini

Maka jika seorang penuntut ilmu pergi untuk menasehati mereka, tidak mengapa ada pun kalau pergi dan memperbanyak jumlah manusia jumlah mereka jumlahnya para Ahlul Jahil (orang bodoh) dan kesesatan, dan tidak untuk menasehati maka yang hukumnya dosa.

Apabila memang harus mengetahui, belajar dulu, kalau memang dia ingin mengetahui maka hendaknya di saat tempatnya kosong.
Dan ini adalah musibah yang kita warisi dari Barat, ketahuilah yaitu musibah memperhatikan jejak peninggalan para Nabi.

Dan tipudaya Barat terhadap kaum muslimin, agar mereka sibuk memperhatikan jejak peninggalan para Nabi, menggali bekas-bekas mereka dan mencarinya dari galian-galian. 
Mereka mengeluarkannya untuk kita Jasadnya Firaun, mereka mengeluarkan untuk kita jasad warga Babilonia dan seterusnya. 

Mereka menginginkan untuk mengembalikan kita ke masa jahiliyah zaman Firaun dan jahiliyah zaman Babilonia dan selainnya.
Ini adalah tujuannya orang-orang Yahudi dan Nasrani kemudian ini terus berlanjut sampai semisal Gua Hira dan Gua Tsur demikian. Maka manusia pun mendatanginya, dan mungkin mereka mengusap-usap dan mengambil berkah, dan meyakini keyakinan-keyakinan (rusak) terkait tempat ini.
Maka penuntut ilmu tidak boleh pergi di dalam kesempatan-kesempatan seperti ini.
  
Kalau memang dia ingin pergi ke sana, maka hendaknya di saat kosong, yang mana orang-orang yang bodoh, orang-orang yang sesat tidak melihat mereka.
Sehingga mereka tidak menyangka kalau tempat-tempat ini memang disyariatkan untuk dikunjungi.

oOo

Disalin dengan editan dari;
@ahlussunnahposo



DI ANTARA HAL YANG MERUSAK UKHUWAH (PERSATUAN)


بسم الله الرحمان الرحيم

Asy-Syaikh, Al-'Allamah, Al-Mujaddid, Prof, Dr, Rabi’ bin Hadiy Al-Madkhaliy hafidhahullah Ta'ala berkata :

"Sikap ta'ashub (fanatik buta) dan memperturutkan hawa nafsu termasuk di antara jalan-jalan yang (ditempuh) ahlul-jahiliyyah dan bangsa Tatar, sebagaimana hal itu telah dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (rahimahullah Ta'ala).

Seorang mukmin hendaknya berusaha untuk mengetahui kebenaran dan berpegang teguh padanya, meskipun kebenaran itu diselisihi oleh orang-orang yang menyelisihinya. 

Selamanya, janganlah seseorang ta'ashub kepada kesalahan fulan atau fulan, atau ta'ashub kepada pendapat fulan dan fulan.  Namun, hendaklah dia berpegangteguh pada Al-Kitab dan Sunnah Rasul 'alaihish-shalatu wassalaam, memberikan wala' (loyalitas) maupun bermusuhan dengan berpatokan kepada ajaran Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam setelah dia mengetahui bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajarkannya dan tidak berdasarkan  prasangka (perasaan belaka).

Dia mengetahui sesungguhnya permasalahan ini telah diajarkan oleh Muhammad 'alaihish-shalaatu was-salaam, dan yang telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan (Sunnah) Rasulullah shallallhu 'alaihi wasallam, dan yang telah dijadikan agama oleh Salaf.

Ibnu Qayyim (rahimahullah) berpendapat sesungguhnya jika kamu telah mengetahui nash (teks dalil) dan telah memahaminya, wajib bagimu berpegangteguh padanya.  Artinya, jika kamu telah mengetahui ada seseorang yang berkata dengan dalil (Al-Qur'an dan As-Sunnah) maka wajib bagimu berpegangteguh dengannya.

Jika kamu telah mengetahui banyak orang yang berkata dengan dalil yang mereka sampaikan, semakin bertambahlah kekokohan dan keyakinanmu.

Dan jika tidak kamu dapati seorangpun (yang berbicara dengan dalil) maka hal itu tidak menjadi syarat, karena yang terpenting: pedoman seorang muslim adalah firman Allah dan sabda Rasulullah;  Ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasullullah dan ucapan Sahabat, dan bukan penyamaran (kerancuan / syubhat, pen blog).

Adapun jika datang seorang yang jahil dan menobatkan dirinya sebagai Imam (tokoh) dan berkecimpung dalam kebathilan dan kesesatan, kemudian kamu ta'ashub (fanatik buta) padanya, maka hal ini termasuk perbuatan (orang-orang) jahiliyyah.

Bahkan seandainya ada seorang Imam yang salah kemudian kamu ta'ashub (fanatik) padanya, maka pada dirimu pun ada sifat jahiliyyah.  Allah Ta'ala berfirman (artinya) :
"(Bahkan mereka berkata), 'Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka'" (Az-Zukhruf : 22)

Maka ta'ashub ini termasuk perkara dan perangai orang-orang jahiliyyah.

Adapun  seorang muslim yang jujur, maka wajib baginya membersihkan diri dari ta'ashub dan dari menyelisihi ajaran Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, (yang melarang) ta'ashub yang tercela! 

Tidak ada yang ta'ashub kecuali عصبي (orang yang sakit syaraf) atau orang yang jelek.  Orang yang sakit syaraf atau orang yang sakit jiwa yang mengalami gangguan jiwa atau dungu. Tidak ada yang ta'ashub kecuali orang yang dungu atau sakit syaraf.

Maka seorang muslim wajib menjauhkan diri (dari ta'ashub) agar tidak menjadi orang dungu, gila, atau sakit syaraf.  Hendaklah dia menjadi orang yang berakal yang mencari kebenaran.  Dan jika dia mengetahui kebenaran, dia mengamalkannya meski kebenaran diselisihi oleh seluruh manusia di muka bumi.  Dia tidak ta'ashub, tidak kepada Imam tidak pula kepada makmum.  Tidak pula kepada yang jujur maupun yang pendusta.  Dia hanya berpegang teguh pada al-haq (kebenaran)."

Dinukil oleh: Kamal Ziyadiy - Muntada Sahab.

الرئيسية ◄المقالات العامة ◄ الشيخ ربيع بن هادي : التعصب مذموم, بل طريقة الكفار
الشيخ ربيع بن هادي : التعصب مذموم, بل طريقة الكفار29 ديسمبر 2015
كتب بواسطة : إدارة الموقعقسم : المقالات العامةتعليقات : 14زيارات : 30٬932

التعصب واتّباع الهوى من طرق أهل الجاهلية ومن طرق التتار كما يقول شيخ الإسلام ابن تيمية ,المؤمن يحاول أن يعرف الحق ويتمسك به ولو خالف هذا الحق من خالف ,ولا يتعصب أبدا لخطأ فلان أو فلان أو رأي فلان وفلان ,إنما يتمسك بكتاب الله وسنة الرسول عليه الصلاة والسلام ويوالي ويعادي على ما جاء به محمد صلى الله عليه وسلم بعد أن يعرف أن محمدا

جاء به وليس بالأوهام ؛عرف أن هذه القضية جاء بها محمد عليه الصلاة والسلام ؛دلّ عليها كتاب الله ودل عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم ودان بها السلف .
ابن القيم يرى أنك إذا عرفت النص وفقهته ؛يعني وما عرفت قائلا قال به فعليك أن تتمسك به ؛إن عرفت قائلين قالوا به ازددت قوة ويقينا ,وإذا ما وجدت أحدا فلا يشترط ,المهم أن يكون مدار المسلم على قال الله ,قال رسول الله :
العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة ليس بالتمويه
أما يأتي رجل جاهل وينصب نفسه إماما ويخوض في الأباطيل والضلالات تتعصب له فهذا من أعمال الجاهلية ,بل لو كان إماما وأخطأ لو تعصبت له ففيك جاهلية {إنا وَجَدْنَا آبَاءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ } فهذا التعصب من شؤون الجاهليين ومن أعمالهم ,أما المسلم الصادق فعليه أن يتنـزه عن التعصب وعن المخالفات لما جاء به محمد صلى الله عليه وسلم ؛تعصب ذميم ! ولا يتعصب إلا عصبي أو ذميم ؛العصبي يعني مجنون مصاب بداء الأعصاب أو غبي ,لا يتعصب إلا غبي أو عصبي ,فالمسلم يجب أن يتنـزه فلا يكون غبيا ولا مجنونا ؛عصبيا ,يكون عاقلا يطلب الحق ,وإذا عرف الحق أخذ به ولو خالفه من في الأرض جميعا ولا يتعصب لا لإمام ولا لمأموم ولا لصادق ولا لكاذب وإنما يتمسك بالحق .
نقله الكاتب : كمال زيادي – منتدى سحاب.
Titel :
الشيخ ربيع بن هادي : التعصب مذموم, بل طريقة الكفار | شبكة سحاب السلفية
📚 http://www.sahab.net/home/?p=1712

oOo

Disalin dengan editan dari;
Al-Ustadz Syamsu Muhajir Hafidzahullah, "DI ANTARA PERUSAK UKHUWAH;  TA'ASHUB GURU, PENDAPAT, DAN KELOMPOK"
📝 Ramadhan 1437 H



JANGANLAH MERASA SEPI, ENGKAU TIDAK SENDIRI


بسم الله الرحمان الرحيم

✍ Berkata Al-Imam Ibnu Qayyim رحمه الله;

كما قال بعض السلف، "عليك بطريق الحق و لا تستوحش لقلة السالكين و إياك و طريق الباطل و لا تغتر بكثرة الهالكين" كلما استوحشت فى تفردك فانظر إلى الرفيق السابق و احرص على اللحاق بهم و غض الطرف عمن سواهم فإنهم لن يغنوا عمك من الله شيئا و إذا صاحوا بم طريق سيرك فلا تلتفت إليهم فإنك متى تلتفت إليهم أخذوك و عاقوك"

Sebagaimana ucapan sebagian salaf,

"عليك بطريق الحق و لا تستوحش لقلة السالكين و إياك و طريق الباطل و لا تغتر بكثرة الهالكين"

"Wajib bagimu untuk mengikuti jalan kebenaran dan jangan merasa kesepian disebabkan sedikitnya orang-orang yang berjalan (padanya), dan hati-hatilah engkau dari jalan kebathilan dan jangan tertipu dengan banyaknya orang yang binasa (karena berjalan di atas kebathilan)."

Maka kapan saja kamu merasa kesepian dalam kesendirianmu, maka lihatlah kepada teman yang telah mendahului (Ar-Rasul dan para Shahabatnya), kemudian bersemangatlah untuk menemui mereka, dan tundukkanlah pandangan (acuhkan) dari yang selain mereka, karena sesungguhnya mereka (yang berjalan selain di atas kebenaran) tidak berguna bagimu di hadapan Allah sedikitpun. 

Dan apabila mereka meneriakimu pada jalan yang engkau tempuh maka janganlah kamu menoleh kepada mereka, karena sesungguhnya jika engkau menoleh kepada mereka niscaya mereka akan mengambilmu dan mencelakakanmu".
📚 [Madarijus Salikin, Hal. 22]

Jangan menganggap kau seorang diri,
Jangan kira kau berdiri sendiri,
Tak usah kesepian serasa tak ada yang menemani,
Rasulullah Ibrohim teranggap satu ummat walau sendiri..

Yakinlah di luar sana akan ada kawan yang menanti,
Meski tak kau kenal atau pun yang sudah mendahului,
Mereka yang melangkah di atas jalan yang kau telusuri..

Janganlah bersedih, Dan kuatkanlah hati,
Tegakkan dan suarakanlah Al-Haq walau kau sendiri,
Hiraukanlah celaan orang yang membenci,
Tak gentar di hadapan gertakan orang yang memusuhi,
Memegang bara memang panas maka janganlah berkecil hati..

Hadapilah semuanya dengan sabar, hikmah dan kekuatan hati,
Tak usah kecewa, jangan putus asa bila dakwahmu ditolak saat ini,
Rasulullah Muhammad ﷺ saat dakwah ke Thoif pun tersakiti,
Bahkan dia bercerita ada seorang Nabi tanpa ada yang mendampingi..

Namun lihatlah niat dakwahmu kembali,
Sudahkah kau meng-ikhlaskan niat selama ini,
Masihkah tercampuri hawa-nafsu yang sebabkan kau lupa diri,
Kemudian mintalah kepada Alloh petunjuk yang menyinari..

oOo

Disalin dengan editan dari;
✒Oleh: Syabab Anwarussunnah| @RAUDHATULANWAR




UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (421)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Seharusnya engkau memperinci dan memilah (setiap permasalahan).
Sebab, perkataan yang umum dan global tanpa penjelasan telah merusak alam, pikiran, dan merusak ide-ide pada setiap zaman."
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitab "Nuniyah")


oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (420)

KEADILAN ITU WAJIB, DAN KEZHALIMAN HARAM SECARA MUTLAK
بسم الله الرحمان الرحيم

"Bersikap adil itu wajib bagi setiap orang, atas semua orang, dan pada setiap keadaan.
Sedangkan kezhaliman diharamkan secara mutlak, sama sekali tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimanapun."

(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)


oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (419)

MUDAH MENANGIS (TERSENTUH) TANDA KEBAIKAN HATI
بسم الله الرحمان الرحيم

"Hati, apabila sedikit mengandung dosa, maka ia akan cepat (mudah) mengeluarkan air mata."*
('Ulama Salaf)

*  Sedangkan sulit menangis (tersentuh) merupakan tanda kerasnya hati karena banyak melakukan perbuatan maksiat (dosa-dosa), (pen blog).


oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (418)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Sesungguhnya, di dalam hati itu ada sifat kekerasan - yang mana tidak ada yang bisa menghancurkannya kecuali dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka, sudah semestinya bagi seorang hamba mengobati kekerasan hati itu dengan berdzikir."*

(Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah)

*  Apabila hati yang keras ini tetap dipertahankan hingga meninggal dunia, maka hanya api Nerakalah yang bisa mencairkannya.
Na'udzubillahi min dzalika, (pen blog).


oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (417)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Hendaklah engkau sedikit berbicara, niscaya hatimu akan lembut.
Dan, perbanyaklah diam, niscaya engkau akan memiliki sikap wara' (takwa).
Dan, janganlah sekali-kali engkau berambisi terhadap dunia."
(Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah)


oOo

Minggu, 30 Agustus 2020

DI ANTARA MANFAAT MENUNDUKKAN PANDANGAN


بسم الله الرحمان الرحيم


"Dari mata turun ke hati."
Dan, dari hati akan muncul berbagai keinginan yang baik maupun yang buruk.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari sesuatu yang dikhawatirkan menimbulkan akibat yang buruk (fitnah pandangan mata).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.  Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.'
Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
(An-Nur;  30)

✍🏻 Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

"Bahwasanya menundukkan pandangan akan membuahkan firasat yang tepat (kuat), dengan firasat tersebut seseorang akan mampu membedakan siapa yang benar dan siapa yang salah, siapa yang jujur dan siapa yang dusta."

Syuja' Al Kirmany pernah berkata :

"Barangsiapa menghiasi lahirnya dengan mengikuti Sunnah dan batinnya dengan sifat muraqabah (selalu merasa diawasi Allah) kemudian menundukkan pandangannya dari yang haram, menahan dirinya dari syahwat, dan  makan dari makanan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset."

Dahulu, Syuja' ini adalah orang yang tidak pernah meleset firasatnya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan kepada kita firasat yang kuat (tepat), agar bisa mendeteksi dan menghindar dari berbagai fitnah akhir zaman ini.  Amiin.


oOo

Disadur dari; Salafy Online
📚 [Adda'u waddawa :199]
🌎 @salafy_cirebon


UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (416)


JANGAN MENGANGGAP REMEH AMALAN YANG KECIL
بسم الله الرحمان الرحيم

"Ada seorang laki-laki melewati sebuah dahan pohon di tengah jalan, lalu ia mengatakan, 'Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak menggangu mereka.'
Orang tersebut dimasukkan (oleh Allah) ke dalam Surga."*
(Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, HR. Muslim)

*  Bisa jadi juga terjadi sebaliknya.  Seseorang dimasukkan oleh Allah 'Azza wa Jalla ke dalam Neraka karena terus menerus melakukan suatu dosa yang dianggapnya kecil, padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala nilainya besar, (pen blog)


oOo

HAKIKAT SYUKUR (1)


بسم الله الرحمان الرحيم

Seorang hamba yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti meyakini, bahwa apapun nikmat yang diterimanya, baik duniawi maupun ukhrawi, lahir maupun batin, adalah karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala semata, bukan karena kemampuan, ikhtiar (usahanya) sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam Al-Qur’an,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيۡهِ تَجۡ‍َٔرُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)
وَأَسۡبَغَ عَلَيۡكُمۡ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةًۗ
“Dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin….” (Luqman: 20)
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang melimpahkan kepada kalian (para hamba, -ed.) nikmat-nikmat-Nya lahir maupun batin, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui, baik nikmat dunia maupun agama, baik manfaat maupun hilangnya marabahaya. Kewajiban kalian adalah mensyukuri nikmat ini dengan cara mencintai Pemberi nikmat, tunduk terhadap-Nya, menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak menggunakannya untuk berbuat durhaka kepada-Nya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 649)
Demikian pula, tidak ada yang mengetahui jumlah dan jenis nikmat-nikmat itu kecuali Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَءَاتَىٰكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلۡتُمُوهُۚ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)

Bersyukur adalah Kewajiban Hamba

Setelah kita meyakini dan menyadari bahwa semua kenikmatan yang ada pada diri kita adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kewajiban kita hanyalah bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
As-Sa’di rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa perintah untuk orang-orang yang beriman secara khusus setelah perintah-Nya yang umum (al-Baqarah ayat 168, pent.), karena kaum mukminin akan mendapatkan manfaat secara hakiki dari perintah dan larangan (Allah) dengan sebab iman mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah mereka untuk memakan makanan yang baik dari rezeki-Nya dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya dengan menggunakannya dalam ketaatan dan untuk memperkuat diri supaya mampu mendekatkan diri kepada-Nya.
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah mereka sebagaimana perintah-Nya terhadap para Rasul Alaihimussalam,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ
“Wahai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik dan beramallah dengan amalan saleh.” (Al-Mu’minun: 51)
Makna syukur dalam ayat ini adalah beramal saleh… (sampai perkataan beliau):
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala“Apabila kalian hanya beribadah kepada-Nya,” maknanya ‘bersyukurlah kalian kepada-Nya’. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  berarti tidak beribadah kepada-Nya semata (ibadahnya bercampur dengan kesyirikan, pen. Blog). Sebagaimana orang yang bersyukur, berarti dia telah beribadah kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.
Demikian pula, firman Allah di atas menunjukkan bahwa memakan makanan yang baik (halal), akan menjadi sebab bagi seseorang untuk  beramal dengan amalan saleh, dan akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Faidah lain, perintah untuk bersyukur setelah mendapatkan nikmat. Artinya, syukur akan menjaga (kelanggengan) nikmat yang sudah didapatkan dan akan mendatangkan nikmat lainnya. Sebagaimana halnya mengkufuri nikmat menyebabkan nikmat yang belum didapatkan akan menjauh dan menghilangkan nikmat yang sudah didapat (ada).
Dia Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam firmanNya,
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Syaikh As-Sa’di menjelaskan makna surah Ibrahim ayat 7 di atas dalam tafsirnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah para hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Beliau juga menjelaskan, bahwa di antara azab-Nya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghilangkan nikmat tersebut dari mereka. Sebab, makna syukur adalah pengakuan hati terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala karenanya, dan menggunakannya dalam urusan yang diridhai-Nya; sedangkan kufur (nikmat) adalah kebalikannya.

Hakikat Syukur

Dari penjelasan di atas, kita mengetahui hakikat syukur.
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Madarijus Salikin (2/244),
“Hakikat syukur dalam peribadatan adalah tampaknya pengaruh yang baik dari nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala; 
(1) Pada lisan hamba, dalam bentuk pujian dan pengakuan. 
(2) Dalam hatinya berupa persaksian dan kecintaan, dan 
(3) Pada anggota badannya berupa ketundukan dan ketaatan.”
Syukur itu dibangun atas lima kaidah:
  1. Ketundukan (hamba) yang bersyukur kepada Dzat yang disyukuri (Allah),
  2. Mencintai-Nya,
  3. Mengakui nikmat yang dikaruniakan-Nya,
  4. Memuji-Nya karena nikmat tersebut,
  5. Tidak menggunakan nikmat tersebut pada perkara yang dibenci-Nya.
Inilah lima kaidah rasa syukur. Tatkala hilang salah satunya, akan rusaklah kaidah yang lainnya. Setiap orang yang berbicara tentang syukur dengan pengertian yang benar, pasti akan kembali dan berkisar pada kaidah di atas.

Mensyukuri Orang yang Memberi Kebaikan, Konsekuensi Syukur kepada Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini dalam sebuah hadits,
لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu DawudAt-Tirmidzi, dan Ahmad; dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
Ibnu Muflih rahimahullah berkata tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan-Nya apabila hamba itu tidak mensyukuri (berterima kasih) kebaikan orang lain (kepadanya) dan justru mengkufurinya. Sebab, dua hal ini saling berkaitan.” (Al-Adabu Asy-Syar’iyah, hlm. 296)
Di antara contoh perintah untuk bersyukur kepada pihak yang telah memberi kebaikan dalam urusan dunia dan agama.
  1. Perintah untuk bersyukur kepada kedua orang tua.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa bersyukur/berterima kasih (terhadap kebaikan kedua orangtua) ialah dengan berbuat baik kepada keduanya, baik dalam bentuk ucapan yang lemah lembut maupun perilaku yang baik dengan menaati, memuliakan, menghormati, membantu pekerjaannya, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat menyakiti hati mereka berdua.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?’
Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’
Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’
Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’
Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’
Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ibumu.’
Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’
Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Ayahmu’.” (Muttafaqun 'alaih)
  1. Perintah Allah kepada istri untuk bersyukur kepada suaminya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang sebagian hak suami-istri,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
“Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa: 24)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.
“Wahai sekalian para wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istigfar, karena sesungguhnya aku melihat kebanyakan para penghuni Neraka dari kalangan kalian.”
فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ: وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟
Salah seorang wanita yang cerdas bertanya, “Mengapa kita menjadi mayoritas penghuni Neraka?”
قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ.
Beliau menjawab, “(Karena) kalian banyak melaknati dan mengkufuri kebaikan para suami. Tidaklah aku melihat para wanita yang kurang akal dan agamanya tetapi bisa mengalahkan orang berakal dibandingkan kalian.”
قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ؟
Dia kembali bertanya, “Apa yang dimaksud kurang akal dan agama?”
قَالَ: أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ: فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ، وَتَمْكُثُ اللَّيَالِيَ مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Persaksian dua orang wanita sebanding dengan satu laki-laki; ini adalah kekurangan akal. Seorang wanita (yang sedang haid) melewati beberapa hari tanpa mengerjakan shalat dan puasa Ramadhan; ini adalah kekurangan agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sisi pendalilan hadits yang mulia ini adalah salah satu sebab kebanyakan penghuni Neraka itu para wanita adalah karena mereka mengkufuri kebaikan para suami. Karena itu, berdasarkan hadits di atas, para istri diperintah untuk banyak bersyukur kepada suami mereka.
  1. Perintah untuk bersyukur kepada guru karena Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang salah satu keutamaan para pendidik agama,
إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأهْلَ السَّماوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ في جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الخَيْرَ
“Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penduduk langit dan bumi bahkan sampai semut-semut di liangnya dan ikan-ikan; sungguh mereka mendoakan kebaikan bagi para pengajar kebaikan terhadap umat manusia.”
Di dalam hadits lain,
وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي الْمَاءِ
“Sungguh, seorang alim akan dimintakan ampun (kepada Allah) oleh seluruh penduduk langit dan bumi; sampaipun ikan-ikan di dalam air (juga memohonkan ampun baginya).” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dari Abud Darda radhiallahu anhu)
Para ulama salaf menjelaskan tentang perhatian, kepedulian, dan kasih sayang para 'ulama syariat terhadap umat manusia yang mengharuskan untuk bersyukur kepada mereka karena Allah Azza wa Jalla.
Di antaranya adalah ucapan Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullah, “Para 'ulama itu lebih sayang terhadap umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam daripada kasih sayang bapak dan ibu mereka.”
Beliau ditanya, “Bagaimana itu?”
Beliau menjawab, “Karena bapak dan ibu mereka menjaga mereka dari api dunia, sedangkan para 'ulama menjaga mereka dari api Akhirat (Neraka).”
Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Kalau tidak ada para 'ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang ternak (tidak mampu membedakan halal dan haram).”

Ucapan Syukur untuk Kerajaan Arab Saudi

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda,
مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ
“Barang siapa diberi kebaikan lalu dia mendoakan kebaikan bagi pemberinya, ‘Semoga Allah membalasmu dengan balasan yang lebih baik,’ sungguh dia telah bersungguh-sungguh memujinya.” (HR. At-Tirmidzi)
Berkaitan hadits di atas, Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan, maknanya dia telah bersungguh-sungguh memujinya. Dia membalas orang lain dengan yang lebih baik daripada kebaikan yang telah diberikan kepadanya dengan cara dia menampakkan kelemahannya lalu dia menyerahkan (balasan itu) kepada Rabbnya. (Catatan kaki Syaikh berkaitan dengan hadits di atas)
Berdasarkan hadits yang mulia dan hadits semisal ini, kita mengucapkan rasa syukur kita, bangsa Indonesia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya, kepada Kerajaan Arab Saudi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala  mengaruniai bangsa dan negara ini secara umum dan kaum muslimin secara khusus, melalui kerajaan pembela tauhid ini, baik dalam urusan dunia maupun agama, sebagaimana telah disebutkan dalam artikel “Kiprah Kerajaan Arab Saudi”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah hamba-Nya untuk menceritakan nikmat-nikmat-Nya,
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
“Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (Adh-Dhuha: 11)
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan  menyebut-nyebut (menceritakan) nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala itu akan mendorong seseorang untuk mensyukurinya dan mengharuskan hati untuk mencintai Dzat yang mengaruniakan nikmat tersebut. Hati sendiri memiliki tabiat mencintai pihak yang telah memberikan kebaikan kepadanya.
Dengan penjelasan ini, penulis mengajak seluruh kaum muslimin di Indonesia untuk bersyukur atas kebaikan dan kepedulian Kerajaan Arab Saudi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga negara Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi dari seluruh kejelekan dan kejahatan para musuhnya.
Amin ya Rabbal ‘alamin.

Catatan Penulis Blog;
Setelah kita mengetahui sedikit tentang Hakikat Syukur pada uraian di atas.  Hendaklah orang-orang yang  belum bisa membedakan antara ajaran (Syari'at) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan kebudayaan bangsa Arab dapat merubah pandangan negatif mereka kepada bangsa Arab, tidak mengolok-olok, dan dapat lebih bersyukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Karena, melalui negara dan tanah air merekalah kita diberi kesempatan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melaksanakan ibadah umrah, haji, serta mengenal agama Islam yang benar dan lurus dari para 'ulama dan pendahu (Salaf) mereka, dan berbagai perbuatan baik mereka lainnya dari dulu hingga sekarang.

oOo
Disalin dengan editan dari tulisan, Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan, Mensyukuri Kebaikan Orang Lain, Majalah Asy-Syari'ah.