Jumat, 07 Agustus 2020

PENYIMPANGAN AQIDAH ASY'ARIYAH


بسم الله الرحمان الرحيم

Terkadang, keta'ajuban mad'u (objek dakwah) terhadap kemampuan menghafal Al-Qur'an seorang da'i membuat silau.  Sehingga, mereka menelan mentah-mentah semua perkataan yang keluar dari mulut sang da'i, tak mampu lagi memilih dan memilah mana yang Haq (kebenaran) dan mana kebathilan (kesesatan).  
Bagaimana mungkin seseorang "mempertaruhkan" aqidah  mereka kepada seorang da'i yang Aqidah dan Manhajnya menyimpang?  Meskipun ia hafal Al-Qur'an, bahkan tahu dimana letak masing-masing ayatnya?


Imam Abul Hasan Al-Asy’ari yang dengannya kelompok Asy-'Ariyah dinamakan, pada dasarnya adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau menyatakan memiliki aqidah seperti aqidah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal.
Timbul pertanyaan yang penting bagi kita untuk diketahui jawabannya,  "Benarkah kelompok Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?"
Maka, untuk menjawab permasalahan ini kita harus pahami dulu hakikat kelompok tersebut, serta pemikiran-pemikiran mereka.
Siapakah Asy’ariyah?
Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
Benarkah pengakuan mereka?  Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal aqidahnya jauh menyimpang dari aqidah Ahlus Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 111)
Pepatah Arab mengatakan:
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila
Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasih
Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah
Cikal-bakal pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan Al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali Al-Jubba’i. 
Hal itu terjadi jauh setelah 3 (tiga) masa generasi utama (Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in) berakhir, bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah Al-Imam Syafi’i.
Berarti, di zaman Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, bahkan di zaman Al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan Al-Imam Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah maklum pula (diketahui bersama), bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapat lamanya, dan menegaskan bahwa beliau berada di atas aqidah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Jadi siapakah panutan kelompok Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!
Sumber Ilmu Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah dan agama-Nya tidak berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang shahih (benar), mereka mengutamakan ra’yu (akal) dalam membahas perkara-perkara Agama.  Oleh karena itu, kita akan mendapati banyak penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil).
Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil adalah;
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah mutawatir (populer di kalangan para Sahabat), bukan hadits-hadits ahad, karena menurut pendapat mereka hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah aqidah.
Ar-Razi (salah seorang pemuka di kalangan mereka) berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan hadits ahad dalam mengenal Allah tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil.
Hal ini telah disebutkan oleh Al-Juwaini, Ar-Razi, Al-Ghazali, dan yang lainnya
Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash (Al-Qur'an dan Al-hadits) bertentangan dengan akal, maka harus didahulukan akal.”
3. Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah bersifat dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Mereka  mentakwil nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang Ahli filsafat), ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka seperti kitab Ihya Ulumudin (Al-Ghazali).
(Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya'irah)
Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan, bahwa jalan kebenaran itu hanya satu, Allah berfirman (artinya),
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (Al-Anam: 153)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalan-Nya, dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya.  Beliau  bersabda (artinya),
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 golongan di Neraka, dan 1 golongan yang selamat. Mereka adalah Al-jama’ah.”
dalam riwayat lain:
”(mereka adalah orang-orang yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku.” merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.

Tatkala kelompok Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, maka mereka pun terjatuh ke dalam penyimpangan-penyimpangan dalam memahami prinsip-prinsip agama.
Di antara penyimpangan mereka adalah:
1. Dalam masalah Tauhid;
Asy’ariyah menyatakan Tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya Pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat Tauhid hanya sebatas Tauhid Rububiyah, yaitu tidak ada Pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah.  Mayoritas mereka tidak mengenal Tauhid Uluhiyah.
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada 3 (tiga) macam: 
*Tauhid Rububiyah (Tauhid dalam penciptaan, pemeliharaan, memiliki, memberikan rezki,  Yang menentukan hukum, menghidupkan-mematikan, dan lain-lain)
*Tauhid Uluhiyah (Tauhid dalam penyembahan / peribadatan), dan
*Tauhid Asma wa Sifat. (Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah)
Ahlus Sunnah meyakini bahwa permasalahan Tauhid adalah kewajiban yang paling utama dan pertama atas seorang hamba, terkhusus Tauhid Uluhiyah, karena untuk tujuan itulah seluruh makhluk diciptakan, para Nabi dan Rasul diutus (124 000 orang!). 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menekankan pentingnya Tauhid Uluhiyah, di atas kedua macam Tauhid lainnya.
2. Dalam masalah iman.
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah.  Mereka menyatakan iman hanyalah Tasdiq bilqalbi (cukup dengan pembenaran dalam hati).
Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan.  Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman, dan tidak memvonis (meyakini) bahwa seseorang dapat terjatuh pada kekafiran dengan kesalahan amalan anggota badan semata.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan, dapat bertambah dan berkurang.  Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.  Seseorang dapat terjatuh dalam kekafiran karena salah dalam mengamalkan Syari'at Islam.
(Baca juga artikel, SEPULUH PEMBATAL KEISLAMAN, dan BAGAIMANA MEMAHAMI KESEMPURNAAN QADHA DAN QADAR ALLAH)
3. Dalam masalah Asma wa Sifat
Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani (tujuh sifat) saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal.  Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
Belakangan ditambah oleh salah seorang tokoh mereka yakni As-Sanusi menjadi dua puluh sifat.  Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Mereka tidak menetapkan satu pun Sifat fi’liyah (perbuatan) bagi Allah, seperti istiwa, nuzul (turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir), cinta, ridha, marah, dan lainnya.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua Nama-Nama Allah dan Sifat-Sifat-Nya yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa ta'thil (penolakan), tahrif (menjabarkan bagaimana caranya), takwil (menyelewengkan maknanya), dan tamtsil (penyerupaan-Nya dengan makhluk).
Dan Ahlus Sunnah juga meyakini, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki Nama-Nama, dan Sifat-Sifat yang tidak terhingga (tidak terbatas), tidak hanya 10 atau 20 Sifat saja.
4. Dalam masalah Al-Qur’an
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.  Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak.  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni Al-Qur’an).” (At-Taubah: 6)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabb-ku (Al-Qur’an).”
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah telah dizalimi.  Al-Imam Ahmad dan para 'ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat.
Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut Penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai aqidah resmi dan memaksa semua orang untuk memiliki keyakinan seperti ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah dibunuh ketika itu, dalam mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah, dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dicambuk dan dipenjara).
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam mushaf, dihafal di dalam dada adalah Al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kalamullah (Perkataan Allah / Wahyu) adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
Al-Imam Ahmad berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.  Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah, dan sesuatu yang berasal dari Dzat-Nya itu bukanlah makhluk.  Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk’) dan yang lainnya, atau dengan orang yang tawaquf (abstain / tidak memiliki pendirian) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu, apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas Al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang yang seperti ini (yang tawaquf) juga ahlul bid’ah, sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.  Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah) bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (perkataan Allah), bukan makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah)
Golongan Mu’tazilah dan yang serupa dengan mereka telah sesat dalam masalah ini, karena mereka menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.
Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi dan menyepakati kelompok Mu’tazilah pada sisi lainnya.
Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah, adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz Al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.”
Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah  tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah berbicara tapi hanya dalam Jiwa-Nya, tidak terdengar.
5. Dalam masalah takdir.
Mereka Jabriyah (Jabariyah) dalam masalah takdir, hanya menetapkan Iradah (kehendak) Kauniyah dan tidak menetapkan Iradah Syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya Iradah Kauniyah dan Iradah syar’iyah, menetapkan masyiah (kehendak) dan qudrah (kemampuan) bagi hamba.
(Baca artikel, KEHENDAK ALLAH)
6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah takwil / penyelewengan makna. 
Sebagai contoh, Ar-Razi dan Al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum Ilahiyah. (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan Sifat Wajah bagi Allah. 
Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah Dzat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar Ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid Al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr Al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah. (Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah.
Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah Subhanahu wa Ta'ala lakukan mengandung hikmah yang amat tinggi.
8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali Al-Juwaini mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.
9. Mereka memperluas permasalahan karamah, hingga menyatakan bahwa mukjizat para Nabi mungkin saja terjadi pada para wali.
10. Menetapkan Allah dilihat tanpa dari satu arah (tidak di atas, tidak di bawah).  Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah nanti di Akhirat)
11. Mereka menyatakan, bahwa akal tidak dapat menetapkan baik buruknya sesuatu.
12. Mereka menyatakan, bahwa tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf (muslim yang telah terkena beban taklif / hukum-hukum syari'at / agama) hingga ia ragu terlebih dahulu.
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah)

oOo
Disadur dari tulisan,
Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak, Majalah Asy-Syari'ah, Edisi 074.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar