Kamis, 30 April 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-7)


بسم الله الرحمان الرحيم

 ADAB-ADAB SHIYAM (PUASA)

Orang yang melakukan ibadah puasa penting memperhatikan adab-adab puasa, sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam - agar puasanya membuahkan banyak faidah,  karomah (Kemuliaan-kemuliaan, dan pahala yang berlipat ganda.
Secara umum adab-adab puasa dapat dibagi atas 2 (dua) bagian;
1. Adab-adab yang Wajib (harus dilakukan), bila ditinggalkan berdosa.
2. Adab-adab yang Mustahab (sangat dianjurkan), merupakan penyempurna ibadah puasa.

Ad. 1. Adab-Adab yang Wajib;
Terdiri dari 2 (dua) bagian;
a. Ibadah Qauliyah (Perkataan / Ucapan)
b. Ibadah Fi'liyah (Perbuatan)

Adab-adab yang Wajib ini berlaku sepanjang masa dan dalam kondisi apapun, tidak hanya berlaku pada bulan Ramadhan.  Namun, harus lebih diperhatikan lagi pada saat bulan Ramadhan.
Di antara adab-adab yang Wajib yang paling penting adalah;
1. Syahadatain (Dua kalimat Syahadat), sebagai penentu keislaman seseorang.
2. Shalat Fardhu 5 (lima) waktu.

Betapa banyak kaum muslimin yang melaksanakan ibadah Puasa, tetapi tidak shalat.  Atau, sebaliknya shalat tapi tidak berpuasa.
Ketentuan Shalat Fardhu 5 (lima) Waktu;
* Harus dilakukan di Masjid bagi laki-laki yang tidak punya udzur syar'i (seperti sakit, dalam keadaan safar, dan lain-lain), atau kondisi darurat (misalnya wabah Covid-19).
Bahkan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak memberikan udzur kepada orang buta yang mendengar suara adzan untuk tidak datang ke masjid.
Sedangkan, untuk kaum wanita - shalat wajib lebih Afdhal dilakukan di rumah.
* Bila dalam kondisi darurat seperti saat ini (wabah Covid-19), maka shalat wajib di lakukan di rumah, dan shalat Jum'at diganti dengan shalat Dzuhur 4 (empat) raka'at di rumah.
Bagi laki-laki yang tidak memiliki udzur syar'i, bila tidak melaksanakan shalat fardhu di masjid dia berdosa (hukum yang rajih / kuat menurut para 'ulama) - meskipun shalatnya tetap Syah.
* Hal lain yang sangat dianjurkan adalah melakukan shalat wajib di awal waktu.  Bagi orang-orang yang telah terbiasa shalat wajib di masjid, tentu akan lebih mudah untuk melakukan shalat di awal waktu.
* Barangsiapa yang menentang kewajiban shalat 5 (lima) waktu ini, sepakat para 'ulama mengkafirkannya.  Adapun orang yang lalai (malas), atau meremehkan - maka dia berada di tepi jurang kehancuran.
* Orang-orang yang suka melalaikan, menunda-nunda kewajiban shalat 5 (lima) waktu ini digolongkan kepada orang munafik.  Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya)
"Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat  Isya dan Subuh."
Adab wajib lainnya yang harus diperhatikan adalah;
* Orang yang berpuasa itu wajib meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.  Di antaranya, ucapan dusta, sumpah palsu (untuk melariskan dagangan), Ghibah (gunjing), Namimah (adu domba), menipu orang lain, mendengarkan / memainkan alat musik, memandang hal-hal yang diharamkan, merokok, dan lain-lain sebagainya.
Hal-hal yang telah diharamkan syari'at ini berlaku selamanya, terlebih lagi bila dilakukan di bulan Ramadhan - maka dosanya akan lebih besar.
Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang telah berlalu,
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan Dusta, Rafat (keji / kotor), dan tindakan kebodohan (sia-sia), maka Allah tidak memiliki kepentingan terhadap puasanya."

Ad. 2. Adab-Adab yang Mustahab (Sangat Dianjurkan)
* Hendaklah orang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan tidak meninggalkan shalat-shalat Rawatibnya, baik Qabliyah (sebelum shalat wajib), maupun Ba'diyah (setelah shalat wajib), karena ganjarannya sangatlah besar.  Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwa orang yang melaksanakan shalat Sunnah Rawatib akan dibuatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala rumah di Surga.
* Tadarus Al-Qur'an sebanyak mungkin.
* Memberikan makanan kepada orang lain yang berpuasa.  Dan lain-lain.



oOo

(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)



Rabu, 29 April 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-6)


بسم الله الرحمان الرحيم


KAITAN ANTARA PUASA DENGAN KESABARAN

Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya)
"Hendaklah kalian melaksanakan ibadah Puasa, karena ibadah Puasa itu tidak ada tandingannya."  (HR.  Ahmad, dalam Al-Musnad)
Puasa termasuk amalan yang paling Afdhal, tercakup di dalamnya Puasa-puasa Sunnah, terutama Puasa Ramadhan.

HAKIKAT PUASA
Puasa tidak sekedar meninggalkan makan dan minum, dan tidak menggauli isterinya di siang hari.
Orang yang melaksanakan ibadah Puasa juga dituntut untuk bersabar, menahan amarah (murka)nya, karena hakikat dari Ibadah Puasa itu adalah kesabaran.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Wasta'iinu bishshabri wa as-shalah"

"Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan Sabar dan Shalat."  (Al-Baqarah;  45)
Sebagian 'ulama menafsirkan as-sabr dengan puasa, sehingga ditafsirkan, "Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan Puasa dan Shalat."
Sebagian 'ulama menafsirkan, bahwa separuh dari puasa itu adalah kesabaran.
Karena Ramadhan dikenal juga dengan bulan kesabaran, maka padanya dituntut kesabaran yang membaja, kesabaran yang tulus, kesabaran yang ikhlas - sehingga ia mampu menahan dirinya dari semua godaan puasa.
Jadi, antara Puasa dengan Kesabaran itu sangat berkaitan, dengannya ia mampu menjaga keutuhan dan kesempurnaan puasanya.

"Apabila pada hari berpuasa salah seorang di antara kalian, .maka janganlah mengucapkan ucapan Rafat (kotor / keji), jangan pula berteriak-teriak.  Bila ada seseorang yang mencelanya, atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, 'Aku sedang berpuasa'"  (HR.  Al-Bukhari)
Dari sini, tampak jelas bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memberikan bimbingan kepada orang yang berpuasa agar menahan diri dari 2 (dua) hal, yakni dari Syahwat dan Amarah.
Bila dia mampu mengendalikan kedua hal tersebut, maka sempurnalah puasanya.
Bila tidak, maka puasanya menjadi sia-sia.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dusta, dan amalan dustanya, maka Allah tidak punya kepentingan terhadap puasanya." (HR. Al-Bukhari), dalam riwayat lain disebutkan dari tindakan-tindakan yang bodoh (sia-sia).

Dengan motivasi kesabaran, seseorang akan sanggup menyempurnakan ibadah puasanya.
Jadi, semakin seseorang mampu menahan emosinya (mengendalikan amarahnya) maka akan semakin sempurnalah puasanya. Dan, semakin sulit seseorang bersikap sabar (menahan syahwat dan amarahnya), maka akan semakin sulit pula dia menyempurnakan puasanya.
Sehingga, Puasa dan Kesabaran merupakan dua hal yang harus selalu bergandengan.
Hal ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang kuat keimanannya.

Sabar itu memiliki 3 (tiga) tingkatan;
1. Sabar dalam meninggalkan maksiat (kemungkaran).
2. Sabar dalam melaksanakan ketaatan (perintah).
3. Sabar dalam menerima musibah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),

"Wa Allahu ma'a ash-shabirin"

"Sesungguhnya, Allah bersama orang-orang yang sabar."  (Al-Baqarah;. 249)
'Ulama mengatakan, bahwa kata Al-Ma'iyah (kebersamaan) di sini adalah kebersamaan yang khusus

Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
"Tidaklah seseorang diberi anugerah yang lebih baik (lebih luas) daripada kesabaran."  (HR. Al-Bukhari, Abu Sa'id Al-Khudri)

Seseorang sangat membutuhkan kesabaran dalam melaksanakan semua aktivitas hidup dan kehidupannya, dalam semua keadaannya.
Sabar juga memerlukan upaya yang bersungguh-sungguh (kuat) dari seseorang untuk meraihnya meskipun terasa sulit.  Seperti Perkataan seorang penyair,
Kesabaran itu sama seperti namanya
Pahit rasanya, tetapi akibatnya lebih manis daripada madu

Dengan sabar tercapailah hakikat puasa, dan kesempurnaan puasa yang paling tinggi.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"(Yaitu) Surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang Shalih dari bapak-bapak mereka, isteri-isterinya, dan anak cucunya.  Sedang Malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.  (Sambil mengucapkan), 'Salamun 'Alaikum Bima shabartum'.  Maka, alangkah baiknya tempat kesudahan itu."  (Ar-Ra'ad; 23-24)
Akhir dari do'a kita adalah,
اللهم أفرغ علينا صبرا وتوفنا من المسلمين
"Allahumma afrigh 'alainaa shabran wa tawaffanaa minal muslimiyn"
"Ya Allah, curahkanlah kepada kami kesabaran, dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri."
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memasukkan kita ke dalam Surga-Nya karena kesabaran itu. Amiin.



oOo

(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)

Selasa, 28 April 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-5)


بسم الله الرحمان الرحيم

Karomah lainnya dari ibadah Puasa;
6. Orang-orang yang berpuasa akan mendapatkan 2 (dua) kebahagiaan, sebagaimana hadits yang telah berlalu,
"Sesungguhnya orang yang berpuasa itu memiliki 2 (dua) kebahagiaan yang dia bersuka cita dan berbahagia dengannya;  Kebahagiaan ketika berbuka dia akan berbahagia dan bersuka cita dengan iftharnya, dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabb-nya karena puasa yang dia lakukan.'  (HSR. Muslim )

7. Disebutkan dalam sebuah hadits dari ummu Umarah Al-Anshariyah Radhiyallahu 'Anha, bahwa Rasulullah pernah masuk menemui Ummu Umarah, lalu Ummu Umarah mempersiapkan makanan untuk Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan, 'Silahkan kamu juga makan.'  Ummu Umarah mengatakan, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.'  Maka Rasulullah menyatakan, 'Sesungguhnya, orang yang berpuasa itu para Malaikat bersalawat kepadanya - ketika ada makanan yang dimakan (orang lain) di sisi nya hingga mereka selesai makan, atau Beliau mengatakan hingga mereka kenyang".  (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini menerangkan kepada kita, bahwa keutamaan orang yang berpuasa yang juga memberi makan kepada orang lain.  Keutamaan ini karena dia begitu sabar, begitu tabah (kuat) mengharapkan pahala yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - meskipun di sekitarnya ada orang-orang yang makan.
Makna dari para Malaikat bersalawat adalah, para Malaikat tersebut mendoakan Rahmat, Maghfirah (ampunan), dan kebaikan bagi orang yang berpuasa tersebut.
Hal ini berlaku untuk orang yang melakukan Puasa Sunnah, Puasa Qadha (pengganti), Puasa Nazhar (niat tertentu), atau Puasa Kafarah (penebus kesalahan), lebih-lebih lagi pada puasa Ramadhan.

8. Akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan Iman dan Ihtishab (Mengharapkan pahala dari Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu"  (HR.  Al-Bukhari - Muslim, dari Abu Hurairah)

9. Pada bulan Ramadhan adalah Syahrul Mubarak (bulan yang penuh berkah), dibuka semua pintu-pintu Surga, dan ditutup semua pintu-pintu Neraka.  Maka seyogyanya seorang muslim mengambil kesempatan emas ini untuk meraih pahala yang besar, meningkatkan iman dan taqwanya.  Karena Ramadhan adalah bulan Ibadah, bulan Takwa, bulan yang penuh berkah (berkah pada amalan, rezki, keimanan, ketaqwaan, dan pada keduniaannya. 
Bulan untuk menggapai maghfirah (ampunan), bulan untuk meraih pahala yang besar.
Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Ketika datang bulan Ramadhan dibuka semua pintu Surga dan ditutup semua pintu Neraka, serta dibelenggu para Syaithan yang membangkang"

10. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan (malam Qadhar) pada sepuluh hari terakhir.
Karomah luar biasa yang hanya diberikan kepada ummat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan.  Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?  Malam kemuliaan itu lebih baik dari 1000 (seribu) bulan.  Pada malam itu turun Malaikat-malaikat, dan Malaikat Jibril dengan idzin Tuhan-nya untuk mengatur segala urusan.  Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar."  (Al-Qadr;  1-5)

11. Karomah puasa ini tidak hanya diperoleh oleh orang yang berpuasa saja, tetapi juga oleh orang-orang yang memberikan andil, sumbangsih bagi orang-orang yang berpuasa,
"Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun."  (HR.  At-Tirmidzi)
Beruntunglah orang-orang yang berpuasa dan juga memberikan makanan kepada orang yang berpuasa.



oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)

Senin, 27 April 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-4)


بسم الله الرحمان الرحيم

Pelajaran penting selanjutnya dari Amalan Puasa;  Bahwa, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mempersiapkan Karomah (Kemuliaan-kemuliaan) khusus bagi orang-orang yang berpuasa;
1. Kadar pahala puasa tidak dibatasi (tak terhingga)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Semua amal Bani Adam untuk dia, kecuali puasa - sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, maka Aku-lah yang akan membalasnya."  (HR.  Al-Bukhari - Muslim, dari Abu Hurairah), dan hadits lain nya,
"Setiap amal Bani Adam dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas dengan 10 - 700 kali lipatnya, kecuali puasa - Puasa itu untuk-Ku, maka Aku-lah Yang akan membalasnya."  (HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
Hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah Yang mengetahui seberapa besar kadar balasannya, hal itu menunjukkan  keistimewaan amalan Puasa.

2. Amalan Puasa akan memberikan syafaat bagi orang-orang yang berpuasa di Yaumal Qiyamah (Hari Kiamat), suatu kondisi yang sangat mencekam, dimana seorang hamba sangat membutuhkan syafaat agar terhindar dari api Neraka.
Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Puasa dan Al-Qur'an memberikan syafaat kepada seorang hamba di Yaumal Qiyamah.  Berkata Shiyam, 'Wahai Rabb-ku aku telah mencegah dia makan dan melampiaskan syahwatnya (di siang hari) - maka idzinkan aku memberikan syafaat kepadanya , Sementara Al-Qur'an berkata, 'Wahai Rabb-ku aku mencegah dia untuk tidur di malam hari di untuk qiyamullail, maka idzinkan  aku memberi syafaat kepada nya. Nabi bersabda, 'maka keduanya didzinkan memberikan syafaat'."  (HR. Ahmad, dari Abdullah bin Umar bin Khaththab)
Inilah dua amalan besar, Puasa Ramadhan dan Tilawah Al-Qur'an.  Sehingga, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengidzinkan syafaat-Nya atas kedua amalan besar tersebut.

3. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa untuk masuk ke dalam Surga, yang bernama pintu Ar-Rayyan.
Pintu ini tidak dimasuki, kecuali oleh orang-orang yang berpuasa.
"Sesungguhnya di Surga ada sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan.  Orang-orang yang berpuasa akan  masuk melalui pintu tersebut pada Hari Kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan bisa masuk.  Nanti orang yang berpuasa akan diseru, 'Mana orang-orang yang berpuasa?'  Maka, mereka semuanya bangkit, selain mereka tidak akan memasukinya.  Jika orang-orang yang berpuasa telah masuk, maka pintu tersebut ditutup - tidak ada lagi yang memasukinya."  (HR.  Al-Bukhari, dari Sahl Ibnu Sa'ad As-Sa'idi)
Jadi, mereka tidak sekedar dimasukkan ke dalam Surga - tetapi disediakan pintu yang khusus bagi mereka sebagai tanda kemuliaannya.

4. Dilipatgandakan pahala, dengan menjauhkan wajahnya sejauh 70 kharif (70 tahun) setiap satu hari puasanya.
Hal ini merupakan kepastian, bahwa mereka dipastikan tidak akan tersentuh api Neraka, berbeda dengan orang yang masuk ke Neraka dulu sebelum masuk ke dalam Surga.

5. Aroma mulut orang yang berpuasa lebih wangi daripada minyak misk di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya.  Sungguh, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk."  (HR. Al-Bukhari)
Meskipun demikian, orang yang berpuasa tetap harus menjaga kebersihan mulutnya dengan sikat gigi atau siwak.
الحمد لله رب العالمين


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)

Sabtu, 25 April 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-3)


بسم الله الرحمان الرحيم

Pelajaran penting selanjutnya dari Shiyam Ramadhan;
10. Pada ibadah Shiyam (Puasa) itu ada upaya untuk memperbaiki (memperbagus) akhlak, akibat menjalankan segala yang diperintahkan syariat dan meninggalkan segala yang dilarang.
Orang yang berpuasa akan menjaga anggota badan dan lisannya dari segala sesuatu yang akan membatalkan / mengurangi nilai puasanya, seperti mencaci-maki, mencela, perbuatan yang sia-sia (laghwu), dan perbuatan-perbuatan bodoh.  Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Puasa itu merupakan tameng (yang menghalangi) seseorang dari api Neraka.  Bila seseorang dari kalian sedang berpuasa,  janganlah mengucapkan kata-kata kotor, keji (rafats), dan bertengkar sambil berteriak-teriak.  Bila ada seseorang yang mencelanya, atau m mengajaknya berkelahi - katakan, "Saya sedang berpuasa"  (HR. Al-Bukhari -  Muslim)
Jadi ibadah puasa tidak sekedar menahan makan, minum, dan menggauli istri, tetapi juga harus menjaga hal-hal lain yang dilarang syari'at, serta menjaga etika.

11. Ibadah Puasa juga merupakan pelatihan untuk memikul amanah (tanggung jawab) dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Didorong oleh rasa takut kepada-Nya untuk menjaga batasan-batasan (jujur, ikhlas, dan lain-lain) yang telah ditentukan sejak fajar hingga terbenam matahari.

12. Melalui Amalan Shiyam (Puasa) akan tercapai rasa persaudaraan (ukhuwah) sesama muslim.  Karena, di sana ada kegiatan ziarah (saling mengunjungi), itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), menata diri agar lebih tenang - berpikir secara jernih, sabar, dan akhlak mulia lainnya - sehingga ukhuwah sesama muslim akan lebih terjaga.
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam rasa cinta, kasih sayang, dan bahu-membahu di antara mereka seperti satu jasad.  Bila satu anggota tubuh mengalami sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakannya, tidak dapat tidur dan demam."  (HR.  Al-Bukhari - Muslim, dari Nu'man bin Bisyir)
Dalam hadits yang lain disebutkan, bagaikan satu bangunan yang saling mendukung (kokoh).

13. Shiyam (Puasa) akan mempersempit langkah-langkah Syaithan.  Karena Syaithan itu dapat mengalir (masuk) ke dalam aliran darah manusia.  Sehingga, semua amal kebaikan (amal shalih) orang yang berpuasa akan menyakiti, merendahkan, menghinakan dan membuat sedih Syaitan-syaithan.

14. Kenikmatan besar yang dikaruniakan oleh Allah kepada orang yang berpuasa adalah ketika berbuka, meskipun yang dimakannya hanya beberapa butir kurma dengan air putih, tetapi dia akan merasakan kenikmatan (keledzatan) yang besar. Seperti disebutkan dalam makna hadits;  
"Orang yang berpuasa memiliki 2 (dua) kebahagiaan;  Kebahagiaan ketika berbuka (ifthar), dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabb-nya (untuk menjemput pahala puasanya)"  (Muttafaqun 'Alaihi, dari Abu Hurairah)
Kalaulah bukan dengan Ibadah Puasa, mungkin seorang muslim tidak akan merasakan betapa besar nikmat Ifthar (berbuka) yang  dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya.  Sehingga, dengan demikian Ibadah Puasa akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang pandai bersyukur dengan nikmat yang sedikit, dan tidak banyak berkeluh-kesah.  Sebagaimana makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Apa saja nikmat yang ada padamu - maka, semuanya datang dari Allah."  (An-Nahl;  53), dan
"Sesungguhnya, jika kalian bersyukur - pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian."  (Ibrahim;  7)
الحمد لله رب العالمين

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-2)


بسم الله الرحمان الرحيم

Pelajaran-pelajaran penting selanjutnya dari Shiyam Ramadhan ialah;
4. Puasa Ramadhan akan meningkatkan Himmah (semangat) untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sekaligus menurunkan semangat (peluang) untuk berbuat maksiat.
Oleh karena itu, bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas untuk meraih pahala yang terbesar serta ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala (membersihkan diri).

5. Amalan-amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan dapat melembutkan hati.
Seperti membaca Al-Qur'an dengan Tafakkur (memikirkan), dan Tadabbur (mengulang-ulang), dengan memahami (menghayati) maknanya - akan melembutkan hati dan mudah meneteskan air mata.
Bila menyaksikan orang-orang Faqir - miskin mudah tersentuh (tergerak) hatinya untuk membantu, dan lain-lain.

6. Amalan-amalan yang dilakukan pada Shiyam Ramadhan akan menjadikan hati manusia tertata (teratur), dengan aturan-aturan yang positif, baik secara Diniyah maupun Duniawiyah.  Sehingga, akan melatih jiwa, hati, dan semua aktivitas fisik manusia secara teratur, mulai dari terbit matahari hingga terbenamnya.

7. a.Melatih (mengendalikan) diri dari segala godaan nafsu - syahwat, sehingga terbentuk sifat Sabar.
b. Memiliki sifat sabar dalam mematuhi aturan-aturan syari'at, sehingga memotivasi seseorang untuk bersikap Ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

8. Shiyam Ramadhan akan mengistirahatkan lambung (organ pencernaan) manusia, sehingga menyehatkannya.  Karena pada hari-hari biasa lambung manusia terbiasa "dijejali" makanan dan minuman dalam jumlah yang tak terkendali, sehingga membahayakan kesehatannya.
Jadi, secara umum Shiyam Ramadhan dapat mengobati 2 (dua) macam penyakit sekaligus;
a. Penyakit-penyakit hati (bathin).
b. Penyakit-penyakit zhahir (fisik).
Tentunya bila dilakukan dengan niat yang benar (ikhlas), dan sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

9. Orang-orang yang berpuasa akan merasakan kesamarataan status sosial satu sama lain, tidak membedakan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat jelata - sehingga menghasilkan berbagai faidah;
a. Memupuk prinsip kebersamaan sesama kaum muslimin secara merata.
b. Mengikis sifat sombong, ujub, dan berbangga diri.
c. Melahirkan sikap Tawadhu' ke dalam hati, tidak merasa lebih dari yang lain, kecuali dari sisi ketakwaannya.
الحمد لله رب العالمين


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)





Jumat, 24 April 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-1)


بسم الله الرحمان الرحيم

Bulan Ramadhan adalah bulan yang sarat dengan berkah (Syahrul Mubarak).
Kewajiban berpuasa (shiyam) Ramadhan merupakan Rukun Islam yang ke-4, di samping rukun-rukun lainnya (Syahadat, Shalat, Zakat, dan Haji), yang telah diwajibkan (fardhu) bagi setiap muslim / mukmin.
Di tengah keterbatasan keadaan, dengan adanya wabah virus Corona (Covid-19), hendaklah setiap pribadi muslim meyakini, bahwa keta'atan terhadap Pemerintah (Penguasa Muslim) merupakan perkara Syar'i yang termasuk bimbingan Islam (Amal Shalih).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa - sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu - agar kamu bertakwa."  (Al-Baqarah;  183)

Pelajaran-pelajaran penting yang dapat diambil dari Shiyam Ramadhan antara lain adalah;
1. Puasa merupakan bukti / dalil ketakwaan (Rasa takut) seseorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala - Dengan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya - sehingga, diharapkan dia dapat terhindar dari adzab, terutama bila Puasa tersebut dilaksanakan dengan bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Di akhir ayat di atas disebutkan motivasi dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, "... Kalian pasti bertakwa kepada Allah."
Semakin tinggi kualitas puasa seseorang dengan melaksanakan berbagai keta'atan, dan mengisi waktunya dengan berbagai amal shalih - akan semakin tinggi pula tingkat ketakwaannya.  Sebaliknya, semakin berkurang kualitas puasa seseorang - akan semakin rendah pula tingkat ketakwaannya.

2. Puasa Ramadhan menjadikan seseorang dapat meraih pahala yang sangat besar (berlipat ganda).
Salah satu hadits yang menyebutkan tentang itu adalah,
"Tidaklah seseorang berpuasa 1 (satu) hari saja fi Sabilillah, Melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dari api Neraka sejauh 70 (Tujuhpuluh) kharif (70 tahun)."  (HR.  Muslim, dari Abu Sa'id Al-Khudri)
Dalil di atas berlaku bagi puasa wajib maupun puasa sunnah, terlebih bagi orang-orang yang dalam keadaan fi Sabilillah (Pengajar - Penuntut ilmu, Orang-orang yang berjihad, dan lain-lain)

3. Puasa Ramadhan menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala menghapuskan dosa-dosa (kesalahan) seseorang.  Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena Iman dan Ihtisab (mengharapkan pahala dari Allah), maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu."  Dan dalil lainnya,
"Shalat 5 (lima) waktu, Jum'at ke Jum'at (berikutnya), Ramadhan ke Ramadhan (berikutnya) menghapuskan dosa-dosa (kesalahan) antara keduanya, selama ia menjauhi dosa-dosa besar."
الحمد لله رب العالمين


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)

Kamis, 23 April 2020

BERPASANG-PASANGAN


بسم الله الرحمان الرحيم

"Segala sesuatu diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala berpasang-pasangan.  Siang - Malam, Laki-laki -  Perempuan, Jantan - Betina,  Baik - Buruk. Surga - Neraka.  Meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpasangan dengan sikap Ikhlas, dan lain sebagainya.

Al-Imam Ibnu Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Al-Fawaid (hal. 405),
"Tuntutan pasangan dari Iman, bila berkumpul Iman dan Ikhtiar - maka akan membuahkan Amal Shalih.
Berbaik sangka kepada Allah berpasangan dengan perasaan Faqir (secara kejiwaan, pen.) dan sikap kembali kepada-Nya (Inabah) - Jika keduanya berkumpul akan membuahkan terkabulnya do'a.
Khusyuk (buah dari kesabaran, pen.) berpasangan dengan Mahabbah (cinta, yang merupakan buah dari keyakinan, pen.)  Bila keduanya berkumpul - akan mewariskan derajat kepemimpinan dalam agama.  Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami - Ketika mereka Sabar.  Dan, adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami."  (As-Sajdah;  24)
Sikap meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpasangan dengan Ikhlas, jika keduanya berkumpul akan didapatkan maqam di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bernilainya suatu amalan.
(Baca artikel, KEIKHLASAN ITU TIDAK BERDASARKAN AKAL-AKAL MANUSIA)
Amal berpasangan dengan Ilmu, bila keduanya berkumpul - melahirkan kesuksesan dan kebahagiaan, sedangkan bila masing-masing berdiri sendiri, maka ia tidak memberikan faidah apa-apa.
Sikap santun juga berpasangan dengan Ilmu, bila keduanya berkumpul akan menghasilkan derajat tersendiri di dunia dan Akhirat, dan banyak manfaat yang dapat diambil dari ilmu seseorang, sedangkan bila keduanya terpisah, maka terlepaslah manfaat dan pengambilan manfaat dari orang tersebut.
Tekad berpasangan dengan Hujjah, bila keduanya berkumpul, maka pemiliknya dapat menggapai berbagai kebajikan dunia dan Akhirat, serta ketinggian cita-citanya akan menjangkau semua puncak.  Jadi, berkurangnya kesempurnaan biasanya terjadi karena tidak memiliki hujjah atau tidak memiliki Tekad.
Niat baik berpasangan dengan Akal sehat.  Bila hilang salah satunya, maka akan hilang pula semua kebaikan.  Bila keduanya berkumpul, maka itulah kemenangan.  Bila keduanya hilang, itulah kekalahan.
Kepintaran tanpa keberanian akan menghasilkan sikap pengecut dan lemah.  Bila keberanian tidak disandingkan dengan kepintaran - akan melahirkan sikap ceroboh dan kebinasaan.
Sabar juga berpasangan dengan Hujjah (dalil), bila keduanya berkumpul akan terhimpun semua kebaikan."
Berkata Hasan Al-Bashri rahimahullah,
"Bila engkau hendak melihat seseorang yang memiliki hujjah tapi tidak memiliki kesabaran - niscaya engkau (banyak) melihatnya.  Bila engkau hendak melihat seseorang yang sabar tapi tidak memiliki hujjah - niscaya engkau (banyak) melihatnya.  Sedangkan, bila engkau melihat seseorang yang sabar dan memiliki hujjah, maka itulah dia (yang diinginkan, pen.)"
Nasihat bersanding dengan Akal, semakin kuat Nasihat maka akan semakin kuat pula akal serta bercahaya.
Dzikir berpasangan dengan Tafakkur (berpikir).  Bila keduanya berkumpul akan menghasilkan sikap Zuhud terhadap dunia dan rindu pada Akhirat.
Takwa berpasangan dengan Tawakal, bila keduanya berkumpul - maka akan lahirlah Istiqamah di dalam hati.
Mengumpulkan bekal untuk Hari Akhir berpasangan dengan Pendeknya Angan-angan, bila keduanya berkumpul maka semua kebaikan akan berpihak padanya.  Sedangkan, bila keduanya terpisah, maka semua keburukan akan terhimpun padanya.
Cita-cita yang tinggi berpasangan dengan Niat yang benar, bila keduanya berkumpul, maka seorang hamba akan berhasil meraih tujuan yang diinginkan (Surga dan keridhaan-Nya)."
Wabillahittaufiq.

oOo

(Dikutip dan disadur dari kitab, TATKALA FITNAH MELANDA, Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam)


Rabu, 22 April 2020

PERSPEKTIF TERHADAP AKHIRAT DALAM SEGALA HAL


بسم الله الرحمان الرحيم

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وعسى أن تكرهوا شياء وهو خير لكم  وعسى أن تحبوا شياء وهو شرلكم  والله يعلم و انتم لا تعلمون
"Wa 'asaaa an-tak'rahuw syai-an wa huwa khairun lakum  wa 'asaaa an-tuhibbuw syai-an wa huwa syarrun lakum  wa Allahu ya'lamu wa antum laa ta'lamuwn"

"Dan, boleh jadi kamu membenci sesuatu - padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu - padahal ia amat buruk bagimu;  Allah (Maha) Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." 
(QS. Al-Baqarah;  216)

Al-Imam Ibnu Qayyim berkata dalam Al-Fawaid (hal. 170),
"Secara umum kemaslahatan jiwa itu ada pada hal-hal yang tidak disukainya - Sebagaimana secara umum kemudharatan jiwa itu dan sebab-sebab kebinasaannya ada pada hal-hal yang dia sukai."
Beliau juga mengatakan,
"Barangsiapa yang benar ma'rifahnya tentang Rabb-nya, dan benar (pula) pemahamannya tentang Asma dan Sifat-Sifat-Nya, maka dia akan mengetahui dengan yakin - bahwa, segala kepahitan yang dialami (menimpa) serta ujian yang diturunkan kepadanya - terdapat kemaslahatan dan manfaat yang tidak sanggup dihitung oleh ilmu dan pikirannya.  Bahkan, keselamatan seorang hamba pada apa yang tidak disukainya lebih besar (banyak) daripada kemaslahatan pada apa yang disukainya."
Selanjutnya beliau mengatakan (hal. 174),
"Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada (berupaya) merealisasikan perintah (Allah) sekalipun terasa berat baginya pada permulaannya, sebab pada akhirnya terdapat semua kebaikan, kebahagiaan, keledzatan, dan kegembiraan - sekalipun nafsunya tidak menyukai hal itu, tetapi itu lebih baik dan lebih bermanfaat baginya.
Sebaliknya, tidak ada yang lebih memudharatkan daripada melanggar larangan, sekalipun nafsunya cenderung (mengajak) kepadanya.  Sebab, sesungguhnya seluruh akibatnya adalah kepedihan, sedih, buruk, dan musibah yang banyak.
Akal Orang-orang yang cerdik akan memilih menahan sakit sesaat - demi mendapatkan keledzatan yang agung (besar), kebaikan yang banyak... (Hingga ucapan beliau;)
Pandangan orang yang jahil (bodoh) terbatas pada permukaannya saja, dan tidak melampaui hingga ke dasar yang dalam.  Sedangkan orang yang berakal cerdas senantiasa memandang pada kesudahannya, dan apa yang ada di balik tirai yang ada di depannya - sehingga, ia mampu melihat akibat yang terpuji atau yang tercela di balik tirai itu... (Hingga ucapan beliau;)
Akan tetapi ini membutuhkan kelebihan ilmu yang dengannya dapat diketahui akhir kesudahan urusan tersebut sejak awal.
Kekuatan kesabaran akan meneguhkan dirinya untuk memikul segala kesusahan perjalanan demi sesuatu yang dicita-citakan begitu sampai pada tujuannya.
Apabila keyakinan hilang dan kesabaran menipis, maka dia akan terhalangi untuk meraihnya.  Sedangkan, bila keyakinan dan kesabarannya menguat - maka akan enteng baginya semua kesusahan yang ditemui - demi tuntutan kebaikan dan keledzatan yang kekal abadi."
Wahai kaum muslimin.  Adalah wajib bagi kalian untuk memandang pada kesudahan segala urusan setiap kali engkau mengutarakan suatu perkara.
Renungkanlah Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya),
"Sesungguhnya, seorang hamba benar-benar berbicara tentang suatu permasalahan yang tidak jelas (dipahaminya / dikuasainya) - sehingga dia semakin jauh terperosok ke dalam Neraka, sejauh jarak antara Timur dengan Barat."  (Muttafaqun Alaihi, dari Abi Hurairah)


oOo

(Dikutip dan disadur dari kitab, TATKALA FITNAH MELANDA, Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam)





UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (216)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Santun, adalah pasangan dari Ilmu, bila keduanya terkumpul - maka tercapailah kebahagiaan dunia dan Akhirat - serta tercapai (pula) pengambilan manfaat ilmu dari seorang 'ulama.  Sedangkan, bila keduanya berdiri sendiri - maka terlepaslah manfaat dan pengambilan manfaat."
(Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah)

oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (215)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Bid'ah selalu identik dengan perpecahan. Sebagaimana Sunnah selalu identik dengan jama'ah - sehingga dikatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.  Sebagaimana juga dikatakan Ahli Bid'ah wal Firqah."

(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)


oOo 

DOSA ADALAH PENYEBAB PECAHNYA PERSAUDARAAN DALAM AGAMA


بسم الله الرحمان الرحيم

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, dari hadits Anas (bin Malik), bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya),
"Tidaklah dua orang yang saling mengasihi karena Allah - kemudian keduanya berpisah, melainkan oleh sebab dosa yang dikerjakan oleh salah satunya."

Hadits ini Tsabit dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Perhatikanlah, semoga Allah 'Azza wa Jalla memeliharamu - bagaimana dampak satu perbuatan dosa menimbulkan perpecahan antara dua orang yang saling mencintai, apalagi dengan dosa yang banyak?!
Akan sama saja halnya, apakah dosa itu merupakan pelanggaran terhadap hak saudaranya yang menyebabkan ia terpisah darinya, ataupun dosa akibat hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ya Allah!  Betapa bahayanya akibat dosa terhadap kehidupan manusia.
Wahai Dzat Yang Maha Mengetahui alam ghaib, jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan dosa, dan mudahkanlah kami untuk bertaubat, serta peliharalah kami dari keburukan hawa nafsu dan hati kami.
Waspadalah wahai saudaraku - dalam berinteraksi dengan saudaramu sesama muslim, dan manusia lainnya secara luas dari perbuatan-perbuatan zhalim, ghibah, adu domba, buruk sangka, dusta, atau menipu.
Termasuk sebab permusuhan antara seseorang dengan saudaranya adalah, apa yang merecoki urusan-urusan dunianya.
Betapa banyak orang-orang yang dulunya bersaudara dan saling mencintai, namun setelah masuk ke dalam suatu Badan Usaha - mereka pun menjadi bermusuhan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu - sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lainnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih;  Dan, amat sedikitlah mereka ini."  (Shad;  24)
Laa Haula wa laa Quwwata illa Billah.


oOo

(Dikutip dan disadur dari kitab, TATKALA FITNAH MELANDA, Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam)

Selasa, 21 April 2020

KEMULIAAN UMMUL MUKMININ KHADIJAH


بسم الله الرحمان الرحيم

Kemuliaan Ummul Mukminin (Ibunda Orang-orang yang Beriman) Khadijah bintu Khuwailid Radhiyallahu 'Anha;

"Berkata Malaikat Jibril 'Alaihissalam kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
'Bila Khadijah datang, sampaikan kepadanya, bahwa Rabb-nya dan aku mengucapkan salam untuknya.  Dan, sampaikan (pula) khabar gembira kepadanya - tentang rumahnya di Surga yang terbuat dari mutiara yang di dalamnya tidak ada kebisingan dan kepayahan.'"  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


oOo 

BERPEGANG TEGUH PADA TALI ALLAH


 بسم الله الرحمان الرحيم

Berpegang teguh pada tali Allah maknanya adalah, mengikuti Al-Qur'anul Karim dan As-Sunnah Al-Muthahharah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih.
Berpegang teguh pada keduanya merupakan jaminan keamanan, keselamatan dari berbagai penyimpangan dan kesesatan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
فمن اتبع هداى فلا يضل و لا يشقى
"Famani attaba'a hudaaya  falaa yadhillu wa laa yasyqaa"

"Lalu, barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka."  (Thaha;  123)

Berpegang teguh kepada Kitabullah Sebagaimana yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya akan terjadi dengan menerapkan 3 (tiga) perkara di bawah ini;

1. Menerima Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dengan penerimaan yang jujur secara lahir dan bathin - tanpa disisipi kebimbangan sedikitpun dalam menerima apa-apa yang datang dari keduanyaSikap penerimaan ini harus tegak di atas keyakinan yang kokoh, bahwa Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Muthahharah keduanya terjaga dengan penjagaan Dzat Yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
انا نحن نز لنا الذكر  و انا له لحفظون
"Innaa nahnu nazzalnaa adz-dzik'ra  wa innaa lahu lahafizhuwna"

"Sesungguhnya, Kami-lah Yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."  (Al-Hijr;  9)

2. Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baikSungguh, tidak ada jaminan keselamatan dan terbebas dari kesesatan dalam memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah - kecuali dengan cara ini.
Di antara penyebab banyaknya firqah (kelompok) menyimpang dari jalan Allah dan Rasul-Nya adalah, karena tidak berpegang pada pemahaman Salafush Shalih.
Manusia yang paling berbahagia, adalah yang mendapatkan pemahaman para Salafush Shalih  dengan baik dan benar.

3. Mengamalkan Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Muthahharah secara lahir dan bathin - dengan meneladani amalan para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Menerapkan perkara-perkara di atas, pada masa sekarang ini lebih berat daripada orang-orang yang melakukan sebelumnya.  Karena, orang-orang yang melalaikannya jauh lebih banyak daripada orang-orang yang menerapkannya.  Sehingga, tidak ada yang selamat dari kelalaian ini kecuali beberapa orang dari para hamba Allah yang ShalihPadahal, kembali kepada bagaimana generasi Salaf bersikap di waktu terjadinya banyak fitnah merupakan perkara yang penting, serta komitmen terhadapnya dalam semua aspek kehidupan - dengan cara berpegang teguh secara hakiki kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahul Muwaffiq (hanya Allah-lah Pemberi Taufiq)


oOo

(Dikutip dan disadur dari kitab, TATKALA FITNAH MELANDA, Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz  Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam) 

Senin, 20 April 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (214)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Tidaklah seseorang mengadakan suatu kebid'ahan (dalam agama), melainkan suatu saat nanti dia akan menganggap halal menghunuskan pedang (menumpahkan darah kaum muslimin), atau memberontak terhadap Penguasa (Muslim)."
(Abu Qilabah rahimahullah)


oOo

Sabtu, 18 April 2020

"SABAR, TUNGGU WAKTUNYA"


 بسم الله الرحمن الرحيم 

👍🏽 Al-lmam lbnul Jauzi rahimahullah mengatakan;

"Bala' (ujian) itu memiliki batas akhir yang telah ditentukan waktunya di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Tertulis di Lauhul Mahfudz - di atas langit yang ketujuh, Kitab yang pasti dan tidak akan pernah berubah selama-lamanya.  Maka seorang yang tertimpa bala' itu harus sabar sampai berakhir waktunya bala'. Karena, tergesa-gesa (menginginkan segera) hilangnya bala' yang telah ditaqdirkan waktunya itu merupakan sikap yang tidak berguna, (dan menunjukkan ketidak ikhlasan manusia yang menerimanya, pen. Blog)

Maka yang wajib adalah sabar, meskipun do'a itu juga disyariatkan dan tidak bermanfaat (untuk memastikan diangkatnya bala') kecuali dengan do'a. Hanya saja tidak sepantasnya orang yang berdo'a itu tergesa-gesa (menginginkan bala' segera diangkat).  Bahkan (yang lebih utama) ia beribadah dengan sikap sabar, dengan do'a dan kepasrahannya kepada Al-Hakim (Dzat Yang Maha Bijaksana), agar menghentikan unsur-unsur yang menjadi sebab datangnya bala'.  Karena sesungguhnya mayoritas bala' itu terjadi adalah sebagai hukuman.

Adapun orang yang tergesa-gesa, mendesak-desak Dzat Yang Maha Mengatur.  Itu bukan merupakan sikap 'ubudiyah (penghambaan). Sesungguhnya saja sikap yang lebih tinggi lagi darinya adalah ridha, (dan puncaknya adalah bersyukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala, pen. Blog).  Sedangkan bersikap sabar itu merupakan suatu kewajiban, karena bila kesabaran hilang - maka hilang pulalah iman dari hati.

Tetap berikhtiar dan terus-menerus berdo'a merupakan sebaik-baik pegangan, sedangkan sikap keberatan (memprotes datangnya bala' / takdir buruk yang telah terjadi) merupakan sikap yang haram, dan tergesa-gesa (mendesak-desak Dzat Yang Mengaturnya). Fahamilah perkara ini!  Karena sesungguhnya, semua itu bisa meringankan bala' dan menghapuskan dosa orang-orang yang beriman 

📚 Shaidul Khathiir, hal 149-150 dengan sedikit perubahan.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan kepada kita sikap sabar dan ridha, serta bersyukur terhadap segala ketentuan-Nya, dan agar kita diberi-Nya taufiq untuk terus dan banyak berdoa sebagai suatu bentuk ibadah dalam segala keadaan. 
Aamiin.
 اللهم أفرغ علينا صبرا  وتوفن مسالمين 
 "Allahumma afrig 'alayna shabran watawaffana muslimin"

"Ya Allah, limpahkanlah kepadaku kesabaran dan wafatkanlah aku dalam keadaan berserah diri (pada-Mu)"

oOo

✍🏾 FIK  الفقير إلى عفو ربه أبو يحيى
Disadur dari;

https://t.me/forumIlmiahkaranganyar

Jumat, 17 April 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (213)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Orang-orang yang tidak mau kembali (rujuk) kepada 'ulama Ahlus Sunnah - dia berkata, 'Semuanya di atas kebaikan dan kebenaran', yang dia maksudkan dengan kata 'Semua' adalah 'ulama Ahlus Sunnah serta para Da'i Bid'ah dan Hizbiyah.  Orang ini pada hakikatnya telah menyamakan dan menyamarkan antara kebenaran dengan kebathilan."
(Makna ucapan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh)


oOo

Rabu, 15 April 2020

BID'AHNYA PERAYAAN MAULID NABI


بسم الله الرحمان الرحيم

Perkataan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah seputar Bid'ahnya Perayaan (Peringatan) Maulid Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam;
"Merayakan kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid'ah, karena perayaan tersebut tidak memiliki dasar dari Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salafush Shalih dan generasi-generasi pilihan terdahulu.
Perayaan Maulid Nabi (Muhammad) shallallahu 'alaihi wa sallam ini baru terjadi setelah abad ke-4 (empat) Hijriah.
Imam Abu Ja'far Tajuddin berkata,
'Saya tidak mengetahui, bahwa perayaan ini memiliki dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil, bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh satu orang dari para 'ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kokoh berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu.
Perayaan itu tiada lain merupakan bid'ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kegiatan (amal shalih, pen.) Dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobinya makan.' 
(Ridalatul Maurid fi Amalil Maulid)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, 'Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena sekedar meniru-niru orang-orang Nasrani berkenaan dengan kelahiran Nabi Isa 'alaihissalam, atau karena alasan "cinta" kepada Nabi (Muhammad) shallallahu 'alaihi wa sallam - mereka menjadikan (peristiwa) Kelahiran Nabi (Muhammad) shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan.  Padahal, tanggal kelahiran Beliau (pun) masih menjadi ajang perselisihan.  Dan, hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh para 'ulama Salaf (terdahulu).  
Jika sekiranya hal tersebut merupakan suatu kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat - sudah barang tentu mereka lebih berhak melakukannya daripada kita, sebab mereka lebih mencintai dan lebih hormat terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam daripada kita.  Mereka itu lebih giat melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, menta'ati, dan mengikuti perintah-perintah Beliau.  Menghidupkan sunnah-sunnah Beliau - baik secara lahir maupun bathin.  Dan, menyebarkan agama (syari'at) yang Beliau bawa, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan, dan lisan.  Demikianlah jalan yang ditempuh generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar, dan Tabi'in yang mengikuti mereka dengan baik."  (Iqtida' Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1/615)

oOo

(Dikutip dari terjemahan kitab, At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-'Ally, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

  

BID'AHNYA PERINGATAN ISRA' DAN MI'RAJ


بسم الله الرحمان الرحيم

Isra' dan Mi'raj adalah peristiwa yang sangat sakral dan nyata, wajib diimani oleh setiap individu muslim.  Ia termasuk salah satu tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sekaligus membuktikan kebenaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta keagungan kedudukan Beliau di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Maha Suci Allah, Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya - agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami.  Sesungguhnya, Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."  (Al-Isra';  1)
Secara bahasa, Isra' bermakna;  Perjalanan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis - Palestina.
Sedangkan Mi'raj adalah;  Peristiwa perjalanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha, dan langsung (diangkat) menuju Sidratul Muntaha di atas langit ke-7 (tujuh) dalam satu malam untuk menerima perintah Shalat 5 (lima) waktu.
Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam secara Mutawatir, bahwa Beliau naik ke atas langit - lalu dibukakan bagi Beliau pintu-pintu langit, sehingga mencapai langit yang ke-7 (tujuh).  Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat 5 (lima) waktu.
Diriwayatkan, bahwa di atas langit yang pertama Beliau bertemu dengan Nabi Adam 'alaihissalam. Di langit yang kedua Beliau bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya 'alaihimusalam, di atas langit yang ketiga dengan Nabi Yusuf 'alaihissalam, di atas langit yang keempat bertemu dengan Nabi Idris 'alaihissalam, di langit yang kelima dengan Nabi Harun 'alaihissalam, di langit keenam dengan Nabi Musa 'alaihissalam, dan di atas langit yang ketujuh Beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Pada awalnya, perintah shalat yang Beliau terima dari Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah 50 (limapuluh) waktu.  Namun, setelah Beliau bertemu kembali dengan Nabi Musa 'alaihissalam di langit yang keenam, Nabi Musa 'alaihissalam menyarankan agar Beliau kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala - untuk meminta keringanan karena ummat Beliau tidak akan sanggup melaksanakannya.  Demikian seterusnya terjadi berulang-ulang kali, hingga tersisa shalat 5 (lima) waktu saja.  Ketika Beliau disarankan kembali oleh Nabi Musa 'alaihissalam untuk meminta keringanan lagi - Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menolaknya, karena sudah merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Namun demikian, keistimewaan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap Rasulullah
 beserta ummat Beliau adalah, bahwa shalat wajib 5 (lima) waktu yang telah ditetapkan tersebut nilai pahalanya setara dengan shalat 50 (limapuluh) kali sehari semalam.  Segala Puja-puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam.
Kembali ke judul artikel, BID'AHNYA PERINGATAN ISRA' DAN MI'RAJ.
Tentang kepastian tanggal dan bulan kejadian peristiwa Isra' - Mi'raj tersebut - tidak ada satu pun hadits shahih yang menetapkan tanggal dan bulan (Rajab) kejadian peristiwa Isra' - Mi'raj ini, semua hadits yang menyebutkan tanggal dan bulan kejadian tidak shahih berasal dari Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.  Demikian disebutkan oleh para Ahli Ilmu. Lalu, darimana datangnya dalil yang digunakan oleh para pelaku Bid'ah itu menetapkan tanggal / hari peringatannya?
Mungkin itulah salah satu hikmah Allah Subhanahu wa Ta'ala menutupi pengetahuan yang pasti tentang tanggal kejadian itu dari ingatan manusia.
Dan, seandainya diketahui pun tanggal kejadian yang pasti - masih dibutuhkan pula dalil yang shahih (benar) dan sharih (jelas / tegas) dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah untuk menyelenggarakan peringatan Isra' - Mi'raj sebagai suatu Ibadah.  Karena, seperti yang telah diketahui, Hukum Asal dari Ibadah itu secara umum adalah haram (tidak boleh dilakukan) - hingga terdapat dalil dari Al-Qur'an atau As-Sunah yang menetapkannya.
Ditambah lagi, tidak ada contoh yang pernah diperbuat oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maupun generasi Islam terbaik setelah Beliau.
Seandainya perayaan / peringatan itu disyariatkan - tentu para Sahabat beliau beserta generasi terbaik setelahnya telah lebih dulu mengerjakan.  Atau, paling tidak ternukilkan dari mereka berita tentang peringatan itu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling mengharapkan kebaikan bagi seluruh manusia, terkhusus ummat Islam yang sangat Beliau cintai.  Sehingga, tidak ada satupun informasi (Risalah) tentang kebaikan yang tidak Beliau sampaikan (tertinggal) kepada umatnya, demikian pula setiap keburukan yang harus dihindari.  Kesempurnaan Syari'at Islam telah menjamin hal itu melalui firman-Nya (artinya),
"Pada hari ini, telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku.  Dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu."  (Al-Maidah;  3)
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mensyari'atkannya - berarti itu bukanlah bagian dari agama (Syari'at), alias Bid'ah.
Demikian pula peringatan keras dari Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut,
"Apakah mereka memiliki sesembahan yang lain selain Allah, yang mensyari'atkan bagi mereka (sesuatu) yang tidak diizinkan Allah.  Sekiranya ada ketetapan (dari Allah) yang menentukan - tentulah mereka telah binasa.  Dan, sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan mendapatkan adzab yang amat pedih."  (Asy-Syura;  21)
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Amma ba'du.  Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah.  Sebaik-baik petunjuk (tuntunan) adalah petunjuk (tuntunan) Muhammad.  Seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap hal yang baru adalah sesat."  (HR.  Muslim)
Al-Imam An-Nasa'i menambahkan (dalam, Al-Idain, 1578) pada riwayat ini dengan ungkapan,
"Dan setiap yang sesat itu tempatnya di Neraka."
Demikian pula peringatan dari para Sahabat dan Salafush Shalih lainnya tentang Bid'ah.  Karena semua Bid'ah itu asalnya adalah penambah-nambahan dalam syari'at Islam yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang merupakan sifat Tasyabbuh (meniru-niru) musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nasrani, yang gemar melakukan upacara peringatan-peringatan.
(Baca artikel, AQIDAH DAN AMALAN YAHUDI DAN NASRANI YANG DITIRU SEBAGIAN KAUM MUSLIMIN)
"Wallahul Musta'an" (Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan)

oOo

(Pen blog, Dari berbagai sumber)

Selasa, 14 April 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (212)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Apabila seorang hamba telah bertekad untuk melakukan suatu amal kebaikan, tetapi kemudian dia tidak ditakdirkan untuk mewujudkannya (karena suatu udzur, pent.).  Kesungguhan tekad dan niatnya akan dicatat sebagai sebuah kebaikan yang sempurna baginya."
(Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah)


oOo

Senin, 13 April 2020

NIKMAT KETERASINGAN DI ATAS SUNNAH


بسم الله الرحمان الرحيم

Secara istilah syari'at, makna kata Sunnah yang benar tidak terbatas pada pengertian ilmu Fiqih; Suatu amalan yang bila dikerjakan berpahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.  Bahkan, banyak Sunnah yang dihukmi wajib oleh para 'ulama, tidak boleh ditinggalkan atau diselisihi.  Sehingga hal ini terkadang dianggap aneh oleh orang-orang yang kurang paham.  
Makna sesungguhnya dari kata Sunnah itu ada beberapa macam, di antaranya;

1. Semua yang dibawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Tercakup di dalamnya;  Al-Qur'an, Rukun Islam, Rukun Iman, Masalah Tauhid, Tata cara ibadah Shalat, Puasa, Zakat, Haji - yang wajib maupun yang sunnah, Hablumminallah (Hubungan manusia dengan Allah), Hablumminannas (Hubungan sesama manusia), Berita-berita yang datang dari Beliau, dan lain-lain.
Perkataan Al-Imam Al-Barbahari,
"Islam itu adalah Sunnah, dan Sunnah itu adalah Islam."
Tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.  Sehingga, apapun yang datang dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tidak boleh dibenci / ditolak.  Karena, semua berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai satu-satunya Sumber Kebenaran, bukan atas pemikiran (pendapat) pribadi Beliau.
Sesuai dengan firman Allah 'Azza wa Jalla dalam Al-Qur'an,
"Apa-apa yang datang dari Rasul - maka terimalah - dan apa-apa yang dilarangnya bagimu - maka tinggalkanlah.  Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah memiliki adzab yang pedih."  
(QS. Al-Hasyr;  7)

2. Sunnah dengan makna Hadits, meliputi;  Ucapan, Perbuatan, Persetujuan (didiamkan), dan apa yang tidak dianggap Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai suatu ibadah (ditinggalkan).
Seperti sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam,
تركت فيكم أمرين  لن تضلوا ماتمسكتم بهما؛  كتباالله و سنت رسوله
"Tarak'tu fiykum amrayni  lantadhilluw maa tamassak'tum bihimaa;  Kitaballahi wa Sunnata rasuwlihi"

"Aku tinggalkan bagi kalian 2 (dua) perkara, kalian tidak akan (pernah) sesat selama-lamanya (Selama kalian berpegang teguh pada keduanya);  Yaitu,  Al-Qur'an dan As-Sunnah."  (HR. Al-Hakim)

3. Sunnah menurut Ilmu Fiqih (Mustahab / anjuran)
Adalah suatu amalan yang bila dilakukan berpahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Karena di dalam ilmu Fiqih Islam teradapat 5 (lima) Dasar Hukum;
a. Wajib Perbuatan (amalan) yang harus dilakukan, dan mendapatkan pahala.  Bila ditinggalkan berdosa.
Ada 2 (dua) bentuk kewajiban;
* Wajib 'Ain;  Wajib atas setiap individu muslim / mukmin untuk melakukannya.
* Wajib Kifayah Wajib atas sebagian muslim / mukmin (yang memiliki kemampuan) melakukannya - bila telah terwakili, maka kewajiban muslim / mukmin yang lain menjadi gugur.  Tapi bila tidak seorang pun yang melakukan, maka semuanya berdosa.  Misalnya, penyelenggaraan, menyalatkan dan menguburkan jenazah.  Mendakwahkan kebenaran, Jihad fi Sabilillah, dan lain-lain.
b. Sunnah Perbuatan yang bersifat anjuran (Mustahab);  Bila dikerjakan berpahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
c. Haram;  Berdosa bila dikerjakan (terlarang).
d. Makruh; Tidak disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
e. Mubah; Boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.

4. Sunnah dalam pengertian Aqidah, pokok-pokok keyakinan ('Itiqad) yang prinsip dan penting untuk diketahui serta diyakini, seperti percaya pada Qadha dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta'ala, Percaya pada adzab dan nikmat kubur, Percaya pada semua berita yang disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

5. Sunnah dalam Pengertian Lawan dari Bid'ah.
Semua yang diajarkan, dicontohkan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam disebut sebagai Sunnah.  Dan, hal-hal yang bertentangan, dan menyelisihinya disebut sebagai Bid'ah.
Misalnya, orang-orang yang tidak meyakini adanya adzab kubur dan nikmat kubur - keyakinan tersebut disebut sebagai keyakinan Bid'ah, karena bertentangan dengan hadits yang shahih.  Sebaliknya meyakininya disebut keyakinan Sunnah.
Termasuk hal-hal yang Beliau tinggalkan, padahal Beliau mampu untuk melakukannya. Jadi, jangan kita merasa lebih tahu daripada Beliau tentang syari'at Islam.

PENJELASAN
Diterangkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
بدا الاسلام غريبا  و سيعود غريبا كما بدأ  فطوبى للغرباء
"Bada-a al-islaamu gharyban  wa saya'uwdu ghariyban kamaa bada-a  Fathuwbaa lilghurabaa'" 

"Islam itu awal (munculnya) asing, dan akan kembali menjadi asing (sebagaimana awalnya).  Maka, berbahagialah (Surga-lah) bagi orang-orang yang asing."  
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
Kata  طوبى "Thuwbaa" di dalam hadits ini diterangkan oleh para 'ulama bermakna; Kebahagiaan, Keberuntungan, Surga, atau sebuah Pohon yang sangat besar di dalam Surga, saking besarnya - seandainya dikelilingi oleh kuda yang berlari kencang selama 100 (seratus) tahun - niscaya ia belum menyelesaikannya.
Dengan demikian, semua perkataan, berita dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam adalah kebenaran (al-haq), karena bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun terasa aneh (asing) bagi manusia akhir zaman.

SIAPAKAH ORANG-ORANG ASING ITU?
1. Orang-orang yang mengikuti Millah (jalannya) / Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hidup dan kehidupannya (Way of life).
2. Orang-orang yang Istiqamah (berpegang teguh hingga akhir hayatnya) di atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan berusaha memperbaiki (mengajak) manusia-manusia yang telah rusak pada kebaikan (keshalihan), ketika banyaknya perkara agama (al-haq) yang tersamarkan oleh sebagian besar manusia.
Makna lain, yang disebutkan oleh 'ulama adalah orang-orang yang memperbaiki As-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah dirusak oleh manusia. 
Senantiasa berupaya mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam beramal dan beribadah berdasarkan bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik.

SEBAB-SEBAB DATANGNYA KENIKMATAN
1. Keyakinan yang dilandaskan pada Ash-Shiratal Mustaqim, yakni jalan yang lurus (Islam yang benar / lurus), jalan yang ditempuh Rasulullah, para Sahabat, dan generasi terbaik Islam yang telah mengantarkan mereka pada ketenangan hati, kemuliaan dan keridhaan Allah 'Azza wa Jalla - di tengah banyaknya keyakinan umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyimpang (72 golongan).
2. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan pada mereka masuk Surga dan Kemuliaan.
Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka istiqamah di atas jalan tersebut, maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, 'Janganlah kamu takut, dan jangan pula merasa sedih.  Dan bergembiralah kamu dengan Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.' "  
(QS. Fushshilat;  30) 
Para 'ulama menerangkan makna perkataan, 'Janganlah kamu takut,' artinya, janganlah kamu takut terhadap masa depanmu di Akhirat kelak.   Dan, 'Jangan pula merasa sedih,' artinya, janganlah kamu sedih terhadap  orang-orang yang ditinggalkan.  Semuanya dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta'ala
Mereka sangat yakin dengan janji Allah tersebut - sehingga menimbulkan ketenangan hati, kenikmatan, dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya Subhanahu wa Ta'ala.
3. Keyakinan Terhadap Pertolongan Allah dalam menghadapi segala persoalan hidup dan kehidupan mereka - bahkan, dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Bagaimanapun beratnya cobaan hidup yang dialami - mereka senantiasa bersabar, dan yakin terhadap pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang akan menguatkan mereka.
"Wallahu a'lam"


oOo

(Disadur dari kajian Al-Ustadz Muhammad Rijal hafizhahullah di radio RII)





Jumat, 10 April 2020

PENGERTIAN BID'AH, MACAM, DAN HUKUMNYA


بسم الله الرحمان الرحيم

Perbuatan (amalan) Bid'ah dalam Dienul Islam hukumnya adalah haram secara mutlak, karena Hukum Asal ibadah itu adalah haram - hingga terdapat dalil (dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah) yang menetapkan, bahwa sesuatu itu merupakan ibadah yang disyariatkan.
Berbeda dengan Hukum Asal Mu'amalah secara umum adalah halal - hingga terdapat dalil yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram untuk dilakukan.


Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu yang baru (dalam syari'at) dalam urusan kami ini yang bukan merupakan urusan tersebut, maka perbuatan (amal) tersebut tertolak (tidak diterima)."
Dan dalam riwayat lain disebutkan, "Barangsiapa berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatan itu ditolak." 

Bid'ah dalam Dienul Islam dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian;
1. Bid'ah Qauliyah I'tiqadiyah;
Adalah Bid'ah Perkataan yang muncul dari keyakinan seseorang - seperti ucapan-ucapan kelompok-kelompok sempalan Islam, seperti kelompok Jahmiyah, Mu'tazilah, Syi'ah Rafidhah dan kelompok menyimpang lainnya yang menjadi  keyakinan mereka.  Seperti ucapan dan keyakinan orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, bukan Kalamullah.

2. Bid'ah fil 'Ibadah;
Seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.  
Bid'ah dalam perkara ibadah ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian;
A.  Bid'ah yang Berkaitan dengan Pokok-Pokok Ibadah;
Yaitu setiap ibadah yang tidak ada dasarnya dalam Syari'at Allah dan Rasul-Nya.  Seperti, melakukan shalat yang tidak disyariatkan, shiyam (puasa) yang tidak disyariatkan (misalnya puasa "mutih"), mengadakan (peringatan) hari-hari besar yang tidak disyariatkan, seperti Peringatan Isra' - Mi'raj, Peringatan Maulud Nabi, peringatan Ulang Tahun, Haul dan lain-lain.
B.  Bid'ah dalam bentuk menambah-nambah terhadap ibadah yang telah disyariatkan.
Seperti menambah / menguarangi jumlah rakaat dalam shalat wajib.
C.  Bid'ah pada Sifat Pelaksanaan Ibadah (Tata Caranya)
Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyariatkan, seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi dengan cara yang tidak disyariatkan - seperti membacanya secara berjamaah dan suara yang keras.  Dan ibadah-ibadah yang memberat-beratkan diri sendiri di luar batas Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
D.  Bid'ah dalam bentuk mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan oleh syari'at.
Seperti mengkhususkan hari dan malam Nisfu Sya'ban (Tanggal 15 Sya'ban) untuk berpuasa dan Qiyamullail.

HUKUM BID'AH DALAM DIENUL ISLAM
Segala macam bentuk bid'ah dalam Dienul Islam adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Janganlah kalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan sesuatu yang baru (dalam Syariat) adalah Bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat."  (HR. Abu Daud, dan At-Tirmidzi, hadits Hasan Shahih), dan makna sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya,
"Barangsiapa mengadakan hal yang baru (dalam syari'at) yang bukan dari kami, maka amalannya tertolak."  Dalam riwayat lain disebutkan,
"Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami - maka amalannya tertolak."
Maka, hadits-hadits di atas menunjukkan - bahwa segala yang diada-adakan dalam Dienul Islam adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan tertolak (tidak diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Berarti, bid'ah dalam hal Ibadah dan Aqidah itu hukumnya haram.
Dan derajat keharaman ini bertingkat-tingkat, tergantung pada bentuk bid'ahnya.  Di antaranya, ada yang menyebabkan kekufuran (kafir, keluar dari Islam), misalnya Thawaf mengelilingi kuburan orang tertentu - guna mendekatkan diri kepada ahli kubur tersebut, mempersembahkan sembelihan-sembelihan, dan nadzar-nadzar (niat ibadah) terhadap kuburan, berdo'a kepada ahli kubur, meminta pertolongan pada mereka, dan lain-lain sebagainya.
Begitu pula berbagai bid'ah dari perkataan orang-orang yang melampaui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah.
Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdo'a di sisinya.
Ada pula bid'ah yang merupakan kefasikan secara aqidah - sebagaimana halnya bid'ah  kelompok Khawarij, Qadariyah, dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Juga, ada bid'ah yang merupakan maksiat - seperti bid'ah orang yang beribadah keluar dari batas-batas Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan melakukan puasa dengan berdiri di tengah terik matahari, juga memotong saluran sperma dengan tujuan mematikan syahwat jima' (bersetubuh).
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk Bid'ah itu sesat, jadi hakikatnya tidak ada bid'ah dalam kebaikan (Bid'ah Hasanah).
Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan dalam kitab Syarh Arba'in tentang sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Setiap bid'ah itu sesat", merupakan perkataan yang mencakup keseluruhan, tidak ada satupun yang keluar dari kalimat tersebut - dan itu merupakan dasar Ad-Dien yang senada pula dengan sabda Rasulullah (artinya),
"Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami - maka perbuatannya ditolak."
Jadi, setiap orang yang mengada-adakan sesuatu - kemudian menisbatkannya pada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dari Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu telah sesat - dan Islam berlepas diri darinya;  Baik pada masalah-masalah yang berkaitan dengan Aqidah, Amalan, atau Perkataan- perkataan secara lahiriyah maupun bathiniyah (keyakinan).
Mereka itu tidak memiliki dalil atas apa yang mereka katakan - bahwa bid'ah itu ada yang baik (Bid'ah Hasanah), selain perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu pada waktu shalat tarawih berjamaah, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."  Padahal, yang beliau maksudkan adalah bid'ah secara bahasa, bukan bid'ah secara Istilah Syari'at.
Mereka juga berkata, "Sesungguhnya, telah ada hal-hal baru (dalam Islam) yang tidak diingkari oleh 'ulama Salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya."
Jawaban kita terhadap mereka adalah, "Bahwa, sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan.  Apa saja yang ada dalilnya dalam syari'at sebagai rujukannya - jika boleh disebut sebagai bid'ah adalah bid'ah secara bahasa (sesuatu yang baru), bukan secara Istilah Syari'at, karena bid'ah secara Syari'at itu tidak memiliki dasar dalam Syari'at yang dapat dijadikan rujukan, sehingga dinamakan sebagai bid'ah (sesuatu yang di ada-adakan / baru dalam agama).
Mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu kitab ada rujukannya dalam syari'at, karena Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an - tetapi penulisannya pada waktu itu masih terpisah-pisah.  Maka, para Sahabat Rasulullah radhiyallahu 'anhuma mengumpulkannya pada satu Mushaf untuk menjaga keutuhannya.
Demikian pula dengan shalat Tarawih.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyelenggarakan shalat Tarawih secara berjamaah dengan para Sahabat selama beberapa malam, lalu pada akhirnya Beliau shalat Tarawih sendirian di rumah, karena khawatir hal itu akan dianggap sebagai sebuah kewajiban - sedangkan para Sahabat terus melanjutkan shalat Tarawih secara berkelompok di masa Rasulullah masih hidup - juga setelah Beliau wafat - sampai Sahabat Umar bin Khaththab mengumpulkan mereka satu jama'ah di belakang satu Imam.  Jadi, bagaimana pun ini bukan merupakan bid'ah dalam Dienul Islam.
Berkenaan dengan penulisan hadits, hal ini juga ada rujukannya dalam Syari'at Islam.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan sebagian hadits kepada sebagian para Sahabat - karena adanya permintaan terhadap Beliau.  Hal yang dikhawatirkan dalam penulisan hadits di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (hidup) secara umum, adalah  tercampurnya dengan penulisan Al-Qur'an.
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat hilanglah kekhawatiran tersebut - sebab Al-Qur'an telah sempurna (turunnya), dan telah pula disesuaikan sebelum Beliau wafat.
Maka setelah itu, kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - sebagai upaya untuk menjaga agar tidak hilang.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan balasan yang terbaik bagi mereka semua, karena mereka telah menjaga Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, agar tidak hilang dan rancu akibat ulah tangan-tangan manusia, serta perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
الحمد لله رب العالمين

oOo

(Disadur dari kitab, Al-Wala & Al-Bara, Tentang Siapa yang Harus Dicintai dan Dimusuhi oleh Orang Islam, Asy- Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah)