Selasa, 07 April 2020

MENGATASI PERBEDAAN DI KALANGAN AHLUS SUNNAH


بسم الله الرحمان الرحيم

Kutipan makna perkataan Asy-Syaikh, Al-Allamah, Al-Muhaddits Abi Abdurrahman Al-Wadi'iy seputar mengatasi perbedaan (Ikhtilaf) yang terjadi di kalangan Ahlus Sunnah,

"Sesungguhnya Ikhtilaf yang muncul di antara sesama Ahlus Sunnah bisa ditiadakan (dikurangi) - dengan idzin Allah - melalui beberapa cara, di antaranya;

1.  Berhukum (kembali) pada Al-Qur'an dan As-Sunah secara Sungguh-Sungguh (Konsekwen)
Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu - maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir.  Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian), dan lebih baik akibatnya."  (An-Nisaa';  59), dan
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.  Dan, jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka - tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran (akan) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).  Kalau bukan karena Karunia dan Rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).". (An-Nisaa';  83)

2.  Bertanya kepada Ahli Ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah
Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Maka, bertanyalah kepada orang yang memiliki Pengetahuan (lebih mengetahui) jika kamu tidak mengetahui."  (An-Nahl;  43)

Akan tetapi, sebagian Thalabul 'Ilmi (Penuntut Ilmu) sudah (merasa) puas dengan Ilmu yang mereka miliki, lalu dengannya mereka mendebat semua orang yang menyelisihinya.  Inilah, salah satu penyebab terjadinya perpecahan dan Ikhtilaf (perselisihan).  
Al-Imam At-Tirmidzi (rahimahullah) meriwayatkan dalam Jami'-nya, dari Abu Umamah yang berkata;  Rasulullah bersabda (artinya),
"Tidaklah tersesat suatu kaum yang tadinya telah mendapatkan hidayah - melainkan orang-orang yang mendatangi (suka) berdebat."  (Lalu beliau / Asy-Syaikh membaca),
"Mereka tidak memberikan perumpamaan itu padamu  melainkan dengan maksud (tujuan) membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar."  (Az-Zukhruf;  58)

Penulis Blog berkata, "Ahli Ilmu yang lebih utama untuk dijadikan tempat bertanya (rujukan), adalah 'ulama JARH WA TA'DIL ('Ulama yang ahli tentang Ilmu KRITIKAN DAN PUJIAN), yang mengetahui dan memahami semua jenis (bentuk-bentuk) penyimpangan, serta seluk-beluknya dalam Syariat Islam.
Tanpa bermaksud untuk mengkultuskan seseorang.  'Ulama yang paling terkemuka di bidang ini ("Pemegang Bendera Jarh wa Ta'dil"), dan telah mendapatkan rekomendasi (dukungan) dari banyak 'ulama kibar (senior) di seluruh dunia, adalah Asy Syaikh, Al-'Allamah, Al-Mujaddid RABI' BIN HADI AL-MADKHALY Hafizhahullah yang Alhamdulillah masih hidup hingga saat ini."

3.  Berkosentrasi Menuntut Ilmu
Bila kita mencoba menelisik Sirah (sejarah / jalan hidup) Generasi Terbaik Islam terdahulu, dan para 'ulama yang mengikuti jejak mereka dengan baik, engkau akan melihat kerendahanmu - bahkan dirimu tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka, seperti Al-Hafizh Ibnu Katsir dan para pendahulunya dari Huffazh yang menguasai berbagai bidang keilmuan.  Bila engkau telah melihat kepada para Huffazh itu, maka dirimu akan sibuk - dan tidak punya waktu untuk mengkritik orang lain.

4. Mengetahui Perbedaan antara Khilaf yang Boleh dan Khilaf yang Dilarang
Penting untuk diketahui bagaimana cara memilah-milah setiap perbedaan dan persoalan yang ada, serta cara menyikapinya.
Semua firqah (kelompok) yang telah dihukumi para 'ulama Ahlus Sunnah sebagai Ahli Bid'ah (penyimpangan dalam Aqidah dan, atau Amalan), dan Hizbi (fanatisme terhadap kelompok) adalah mereka yang melakukan perbedaan (Ikhtilaf) yang tercela, karena menentang satu Nash atau lebih yang menjadi azas (dasar / prinsip) Ahlus Sunnah wal Jama'ah.  Semua firqah (kelompok) tersebut tidak akan kembali kepada Sunnah, kecuali dengan meninggalkan apa yang telah membuat mereka keluar dari Manhaj Ahlus Sunnah.
Perselisihan yang masyhur (sering terjadi) dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) bentuk;
1. Ikhtilaf Tadhad (perbedaan yang bertentangan), menyelisihi dan melanggar Nash-nash.  Inilah bentuk penyelisihan yang terdapat pada semua firqah (kelompok) yang keluar dari Manhaj Ahlus Sunnah.
2. Ikhtilaf Tanawwu' (perbedaan ragam).  Ini termasuk bagian (diperkenankan / diperbolehkan) dalam syari'at.
3. Ikhtilaf Afham (perbedaan pemahaman).  Hal ini dibolehkan dengan tetap memperhatikan batasan-batasan syari'at.  Di antaranya;
* Penyelisih tetap berjalan di atas jalan (Manhaj) Ahlus Sunnah dalam Ilmu, Pengajaran, dan Amal-ibadahnya.
* Tidak memperbanyak perselisihan (perpecahan), sebagaimana (lazimnya) keadaan Ahlus Sunnah.
* Kembali kepada kebenaran tatkala telah melihat (mengetahui) kesalahannya.
* Dia termasuk 'ulama (ahli ijtihad).

Batasan-batasan ini hendaklah selalu di bawah pengawasan 'ulama Ahlus Sunnah, khususnya 'ulama yang ahli dalam Ilmu Jarh wa Ta'dil.

5. Mengetahui Perbedaan Perdebatan yang Disyari'atkan dengan Perdebatan yang Dilarang
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
وجاد لهم بالتى هي احسن  /  "Wa jaadilhum billatiy hiya ahsanu"
"Dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik."  (An-Nahl;  125)
Dan makna firman-Nya,
"Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka."  (Al-Ankabut;  46)
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membatasi perdebatan, agar dilakukan dengan cara yang paling baik.  Dia (Allah) tidak memutlakkannya sebagaimana Dia memutlakkan hikmah pada ayat dalam surat An-Nahl.
Al-Imam Ibnu Qayyim mengatakan, dalam pembahasan tentang tingkatan dakwah, "Seorang penentang lagi pembangkang didebat dengan cara yang paling baik.  Inilah yang benar dalam makna ayat tersebut."  (Miftah Darus Sa'adah, hal. 167)
Jadi, maksud (batasan) perdebatan yang baik itu adalah;
a. Maksud dari perdebatan itu untuk memperjuangkan al-haq (kebenaran), dan memberikan hidayah kepada seseorang.
b. Pendebat memiliki ilmu tentang al-haq (kebenaran) dan memahaminya.
c. Pendebat memiliki komitmen terhadap adab-adab syar'i berupa akhlak yang baik, sabar, lemah lembut, dan lain-lain.
Cobalah kita perhatikan perdebatan yang dilakukan Nabi Nuh terhadap kaumnya yang Kafir, perdebatan Nabi Ibrahim, serta seluruh para Nabi dan Rasul yang terdapat di dalam Al-Qur'an.
Cara berdebat mereka itulah yang menampilkan cara perdebatan yang dilakukan dengan cara yang lebih baik dan beradab.
Sedangkan perdebatan yang dilarang, ialah kebalikan dari cara-cara di atas, yakni dengan lalim, aniaya, kebodohan, dusta, mencela, melaknat, untuk meraih kemenangan (membela kelompok), dan mengakhiri perbuatan baik terhadap lawannya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda (artinya),
"Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan hidayah - kecuali orang-orang yang melakukan perdebatan."
Berdebat dengan cara yang menyelisihi syari'at adalah insting manusia yang berasal dari hawa nafsunya.  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (artinya),
"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."  (Al-Kahfi;  54)
Sehingga, tidak ada yang selamat darinya selain yang diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Wallahu a'lam"

oOo

(Disadur dari buku, TATKALA FITNAH MELANDA, Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam)

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar