Jumat, 10 April 2020

PENGERTIAN BID'AH, MACAM, DAN HUKUMNYA


بسم الله الرحمان الرحيم

Perbuatan (amalan) Bid'ah dalam Dienul Islam hukumnya adalah haram secara mutlak, karena Hukum Asal ibadah itu adalah haram - hingga terdapat dalil (dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah) yang menetapkan, bahwa sesuatu itu merupakan ibadah yang disyariatkan.
Berbeda dengan Hukum Asal Mu'amalah secara umum adalah halal - hingga terdapat dalil yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram untuk dilakukan.


Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu yang baru (dalam syari'at) dalam urusan kami ini yang bukan merupakan urusan tersebut, maka perbuatan (amal) tersebut tertolak (tidak diterima)."
Dan dalam riwayat lain disebutkan, "Barangsiapa berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatan itu ditolak." 

Bid'ah dalam Dienul Islam dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian;
1. Bid'ah Qauliyah I'tiqadiyah;
Adalah Bid'ah Perkataan yang muncul dari keyakinan seseorang - seperti ucapan-ucapan kelompok-kelompok sempalan Islam, seperti kelompok Jahmiyah, Mu'tazilah, Syi'ah Rafidhah dan kelompok menyimpang lainnya yang menjadi  keyakinan mereka.  Seperti ucapan dan keyakinan orang-orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, bukan Kalamullah.

2. Bid'ah fil 'Ibadah;
Seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.  
Bid'ah dalam perkara ibadah ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian;
A.  Bid'ah yang Berkaitan dengan Pokok-Pokok Ibadah;
Yaitu setiap ibadah yang tidak ada dasarnya dalam Syari'at Allah dan Rasul-Nya.  Seperti, melakukan shalat yang tidak disyariatkan, shiyam (puasa) yang tidak disyariatkan (misalnya puasa "mutih"), mengadakan (peringatan) hari-hari besar yang tidak disyariatkan, seperti Peringatan Isra' - Mi'raj, Peringatan Maulud Nabi, peringatan Ulang Tahun, Haul dan lain-lain.
B.  Bid'ah dalam bentuk menambah-nambah terhadap ibadah yang telah disyariatkan.
Seperti menambah / menguarangi jumlah rakaat dalam shalat wajib.
C.  Bid'ah pada Sifat Pelaksanaan Ibadah (Tata Caranya)
Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyariatkan, seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi dengan cara yang tidak disyariatkan - seperti membacanya secara berjamaah dan suara yang keras.  Dan ibadah-ibadah yang memberat-beratkan diri sendiri di luar batas Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
D.  Bid'ah dalam bentuk mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan oleh syari'at.
Seperti mengkhususkan hari dan malam Nisfu Sya'ban (Tanggal 15 Sya'ban) untuk berpuasa dan Qiyamullail.

HUKUM BID'AH DALAM DIENUL ISLAM
Segala macam bentuk bid'ah dalam Dienul Islam adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Janganlah kalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan sesuatu yang baru (dalam Syariat) adalah Bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat."  (HR. Abu Daud, dan At-Tirmidzi, hadits Hasan Shahih), dan makna sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya,
"Barangsiapa mengadakan hal yang baru (dalam syari'at) yang bukan dari kami, maka amalannya tertolak."  Dalam riwayat lain disebutkan,
"Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami - maka amalannya tertolak."
Maka, hadits-hadits di atas menunjukkan - bahwa segala yang diada-adakan dalam Dienul Islam adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan tertolak (tidak diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Berarti, bid'ah dalam hal Ibadah dan Aqidah itu hukumnya haram.
Dan derajat keharaman ini bertingkat-tingkat, tergantung pada bentuk bid'ahnya.  Di antaranya, ada yang menyebabkan kekufuran (kafir, keluar dari Islam), misalnya Thawaf mengelilingi kuburan orang tertentu - guna mendekatkan diri kepada ahli kubur tersebut, mempersembahkan sembelihan-sembelihan, dan nadzar-nadzar (niat ibadah) terhadap kuburan, berdo'a kepada ahli kubur, meminta pertolongan pada mereka, dan lain-lain sebagainya.
Begitu pula berbagai bid'ah dari perkataan orang-orang yang melampaui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah.
Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdo'a di sisinya.
Ada pula bid'ah yang merupakan kefasikan secara aqidah - sebagaimana halnya bid'ah  kelompok Khawarij, Qadariyah, dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Juga, ada bid'ah yang merupakan maksiat - seperti bid'ah orang yang beribadah keluar dari batas-batas Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan melakukan puasa dengan berdiri di tengah terik matahari, juga memotong saluran sperma dengan tujuan mematikan syahwat jima' (bersetubuh).
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk Bid'ah itu sesat, jadi hakikatnya tidak ada bid'ah dalam kebaikan (Bid'ah Hasanah).
Al-Hafizh Ibnu Rajab mengatakan dalam kitab Syarh Arba'in tentang sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Setiap bid'ah itu sesat", merupakan perkataan yang mencakup keseluruhan, tidak ada satupun yang keluar dari kalimat tersebut - dan itu merupakan dasar Ad-Dien yang senada pula dengan sabda Rasulullah (artinya),
"Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami - maka perbuatannya ditolak."
Jadi, setiap orang yang mengada-adakan sesuatu - kemudian menisbatkannya pada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dari Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu telah sesat - dan Islam berlepas diri darinya;  Baik pada masalah-masalah yang berkaitan dengan Aqidah, Amalan, atau Perkataan- perkataan secara lahiriyah maupun bathiniyah (keyakinan).
Mereka itu tidak memiliki dalil atas apa yang mereka katakan - bahwa bid'ah itu ada yang baik (Bid'ah Hasanah), selain perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu pada waktu shalat tarawih berjamaah, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."  Padahal, yang beliau maksudkan adalah bid'ah secara bahasa, bukan bid'ah secara Istilah Syari'at.
Mereka juga berkata, "Sesungguhnya, telah ada hal-hal baru (dalam Islam) yang tidak diingkari oleh 'ulama Salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya."
Jawaban kita terhadap mereka adalah, "Bahwa, sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan.  Apa saja yang ada dalilnya dalam syari'at sebagai rujukannya - jika boleh disebut sebagai bid'ah adalah bid'ah secara bahasa (sesuatu yang baru), bukan secara Istilah Syari'at, karena bid'ah secara Syari'at itu tidak memiliki dasar dalam Syari'at yang dapat dijadikan rujukan, sehingga dinamakan sebagai bid'ah (sesuatu yang di ada-adakan / baru dalam agama).
Mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu kitab ada rujukannya dalam syari'at, karena Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an - tetapi penulisannya pada waktu itu masih terpisah-pisah.  Maka, para Sahabat Rasulullah radhiyallahu 'anhuma mengumpulkannya pada satu Mushaf untuk menjaga keutuhannya.
Demikian pula dengan shalat Tarawih.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyelenggarakan shalat Tarawih secara berjamaah dengan para Sahabat selama beberapa malam, lalu pada akhirnya Beliau shalat Tarawih sendirian di rumah, karena khawatir hal itu akan dianggap sebagai sebuah kewajiban - sedangkan para Sahabat terus melanjutkan shalat Tarawih secara berkelompok di masa Rasulullah masih hidup - juga setelah Beliau wafat - sampai Sahabat Umar bin Khaththab mengumpulkan mereka satu jama'ah di belakang satu Imam.  Jadi, bagaimana pun ini bukan merupakan bid'ah dalam Dienul Islam.
Berkenaan dengan penulisan hadits, hal ini juga ada rujukannya dalam Syari'at Islam.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan sebagian hadits kepada sebagian para Sahabat - karena adanya permintaan terhadap Beliau.  Hal yang dikhawatirkan dalam penulisan hadits di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (hidup) secara umum, adalah  tercampurnya dengan penulisan Al-Qur'an.
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat hilanglah kekhawatiran tersebut - sebab Al-Qur'an telah sempurna (turunnya), dan telah pula disesuaikan sebelum Beliau wafat.
Maka setelah itu, kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam - sebagai upaya untuk menjaga agar tidak hilang.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan balasan yang terbaik bagi mereka semua, karena mereka telah menjaga Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, agar tidak hilang dan rancu akibat ulah tangan-tangan manusia, serta perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
الحمد لله رب العالمين

oOo

(Disadur dari kitab, Al-Wala & Al-Bara, Tentang Siapa yang Harus Dicintai dan Dimusuhi oleh Orang Islam, Asy- Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar