Senin, 28 Mei 2018

PARA WALI SYAITHAN



بسم الله الر حمان الر حيم


Berbeda dengan para Wali Allah yang diberikan Karomah oleh Allah ‘Azza wa Jalla karena keberkahan mereka mengikuti (Ittiba’) Rasul-Nya, lalu Allah menguatkan mereka dengan pertolongan-Nya, para Malaikat, serta menyusupkan cahaya keimanan ke dalam hati mereka.  Maka, para Wali Syaithan dipengaruhi oleh Syaithan melalui penyusupan mereka ke dalam diri para walinya.  

Seperti yang terjadi pada diri Abdullah bin Shayyad[1] yang muncul pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Waktu itu, sebagian Sahabat menyangka bahwa dia adalah Dajjal.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menunggu sampai jelas betul, bahwa dia bukanlah Dajjal.  Dan ternyata dia semacam Tukang Sihir.  Nabi berkata kepadanya, “Ada sesuatu yang aku sembunyikan untukmu.”  Ibnu Shayyad berkata, “As..., asap...”  Dan memang Nabi hendak membacakan surat Ad-Dukhan (Kabut) kepadanya.  Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Diam kamu!  Kekuatanmu itu tidak ada apa-apanya.”  Maksudnya, kamu ini tidak lebih dari salah seorang dari kelompok Tukang Sihir.
Yang namanya Tukang Sihir, pasti memiliki teman dari Syaithan yang memberitahukan hal-hal yang ghaib kepadanya.  Berita ghaib ini dicuri “bocoran”-nya oleh syaithan dari langit.  Namun mereka mencampur adukkan antara kebenaran dan kebohongan (kebathilan), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Para Malaikat bercakap-cakap tentang suatu keputusan bagi penduduk bumi di Anan.  Anan yaitu Awan.  Dan syaithan-syaithan mencuri-dengar perkataan mereka, lalu mereka membisikkannya ke telinga para Tukang Sihir sebagaimana botol yang diisi air.  Namun mereka menambah-nambahi berita itu dengan 100 (seratus) kebohongan.”
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sejumlah orang  dari golongan Anshar, tiba-tiba mereka melihat sebuah bintang yang bersinar terang melesat dengan cepat.  Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,  “Apa yang kalian katakan pada kejadian semacam ini di masa Jahiliyah, jika kalian melihatnya?”  Mereka menjawab, “Kami berkata, bahwa ada seorang pembesar yang mati atau dilahirkan.”  Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya bintang itu tidak dilesatkan untuk kematian atau kelahiran seseorang.  Akan tetapi Allah Yang Mahamulia dan Mahatinggi, jika Dia memutuskan sesuatu, maka para Malaikat penyangga ‘Arsy bertasbih.  Kemudian para penghuni langit setelah mereka juga bertasbih.  Seterusnya demikian hingga (ucapan) tasbih tersebut sampai ke penghuni langit ini (Langit Dunia).  Lalu penduduk langit ketujuh bertanya kepada (Malaikat) penyangga ‘Arsy tentang apa yang dikatakan Rabb.  Dan mereka memberitahukannya, hingga penduduk setiap langit bertanya tentang khabar tersebut.  Kemudian sampailah khabar tersebut kepada penghuni Langit Dunia.  Maka syaithan-syaithan pun mencuri-curi untuk mendengarkan khabar tersebut.  Lalu syaithan-syaithan ini melemparkan dan membisikkannya kepada wali-wali mereka.  Jadi, sebetulnya apa yang mereka bawa adalah benar.  Akan tetapi mereka menambah-nambahnya (dengan 100 kedustaan).”
Dalam sebuah Riwayat diceritakan, bahwa Muammar bertanya kepada Az-Zuhri, “Apakah pada masa Jahiliyah, berita lngit dilemparkan seperti itu?”  Az-Zuhri berkata, “Ya, tetapi berita langit itu semakin kokoh ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus.”
Aswad Al-Ansi yang mengaku-ngaku sebagai seorang Nabi, memiliki teman-teman dari Syaithan yang memberitahu kepadanya sebagian hal-hal yang ghaib.  Ketika kaum Muslimin hendak memeranginya, mereka takut syaithan-syaithannya akan membocorkan kepadanya tentang apa yang mereka rencanakan.  Tetapi isteri (Aswad Al-Ansi) membantu mereka, setelah mengetahui dengan jelas kekufuran suaminya, dan mereka pun berhasil membunuhnya.
Begitu juga dengan Musailamah Al-Kadzdzab, dia pun mempunyai teman-teman dari syaithan yang memberitahu hal-hal ghaib kepadanya dan membantunya dalam sebagian urusannya[2].
Cukup banyak orang-orang yang mengaku Nabi seperti mereka.  Misalnya Al-Harits Ad-Dimasyqi yang muncul di Syam pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan[3], dan mengaku sebagai Nabi.  Syaithan-syaithannya itu melepaskan rantai besi yang membelenggu kedua kakinya, syaithannya pula yang membentenginya dari senjata sehingga tidak melukainya[4].
Jika dia mengusap batu dengan tangannya, batu tersebut bertasbih.  Ia juga melihat rombongan penunggang kuda di atas angin di gunung Qasiyun[5], dan ia mengatakan bahwa mereka adalah para Malaikat, padahal mereka adalah rombongan Jin.  Atas perintah Khalifah Abdul Malik, Al-Harits Ad-Dimasyqi akhirnya ditangkap oleh tentara kerajaan untuk di hukum[6].  Saat pelaksanaan hukuman (eksekusi), ternyata tubuhnya tidak mempan oleh panah dan tombak.  Lalu Abdul Malik berkata kepada Algojonya, “Sesungguhnya kamu tidak membaca ‘Bismillah’.”  Algojo itu pun membaca ‘Bismillah’, kemudian melemparkan tombaknya kepada Al-Harits, dan matilah si Nabi palsu tersebut.
Beginilah sikap para Syaithan, mereka akan lari dari teman-temannya jika dibacakan apa yang dapat mengusirnya.  Seperti ayat Kursy, yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.  Ketika itu Nabi memerintahkannya menjaga Zakat Fitri yang terkumpul dari kaum Muslimin.  Namun, setiap malam ada seorang bapak tua yang selalu mencurinya.  Dan setiap malam pula bapak tua tersebut berhasil ia tangkap, tetapi Karena pencuri itu mengaku bertaubat, lalu dia dilepaskan.  Pada pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa yang dilakukan tawananmu semalam?”  Abu Hurairah menjawab, “Katanya dia tidak akan kembali.”  Nabi berkata, “Dia membohongimu, dia pasti akan kembali.”  Benar, malam harinya pencuri itu kembali lagi.  Dan pada malam yang ketiga, pencuri itu berkata, “Lepaskanlah aku, agar aku bisa mengajarimu sesuatu yang bermanfaat bagimu.  Jika kamu hendak berangkat-tidur, bacalah ayat Kursy ‘Allahu laa ilaaha illaa huwal Hayyul Qayyum,’  maka kamu akan tetap dijaga dan syaithan tidak akan mengganggumu sampai pagi.”  Keesokan harinya, ketika dia memberitahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Ia benar, sekalipun ia pendusta.”  Lalu Beliau memberitahukan kepada Abu Hurairah, bahwa bapak tua pencuri itu adalah syaithan[7].
Karena itu, jika seseorang membaca ayat Kursy ini dengan penuh keyakinan pada saat menemukan hal-hal yang aneh, yang tidak lain adalah perbuatan syaithan (sihir), dia akan dapat menggagalkannya.

Contoh-Contoh Keanehan pada Manusia yang Sebetulnya Merupakan Perbuatan Syaithan;
Ø  Orang yang masuk ke dalam kobaran api tetapi tidak terbakar.
Ø  Orang yang berbicara tentang sesuatu yang tidak ia ketahui  / pahami.  Karena sesungguhnya yang berbicara itu adalah syaithan yang meminjam mulutnya (masuk ke dalam tubuhnya).
Ø  Menebak dengan tepat apa yang sedang dipikirkan atau yang ada di dalam hati orang lain.
Ø  Memiliki berbagai makanan dan buah-buahan serta manisan yang tidak ada di daerah itu.  Karena memang syaithan yang membawakan untuknya dari tempat lain.
Ø  Orang yang bisa terbang ke Makkah atau ke Baitul Maqdis, atau ke tempat-tempat yang lain.  Karena memang syaithan yang membawanya terbang. 
Ada juga orang yang dibawa terbang oleh Jin ke Arafah pada sore hari di musim Haji, lalu kembali ketempatnya semula pada malam itu juga.  Sehingga ia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang telah menunaikan ibadah haji sesuai syari’at.  Karena ia berangkat haji hanya dengan pakaian yang melekat pada tubuhnya dan tidak ber-Ihram tatkala sampai di Miqat, serta tidak mengucapkan Talbiyah.  Dia juga tidak berhenti di Muzdalifah, tidak Tawaf mengelilingi Ka’bah, tidak melakukan Sa’i antara Shafa dan Marwa, dan tidak melempar Jumrah.  Akan tetapi, ia hanya mampir sebentar di Arafah dengan pakaian yang melekat di badannya, kemudian pulang kembali pada malam itu juga. Yang seperti ini, tidak dapat dikatakan sebagai haji yang disyari’atkan, menurut kesepakatan seluruh kaum Muslimin.  Bahkan, ini sama saja dengan orang yang shalat Jum’at tanpa berwudhu dan tidak menghadap kiblat! Maka, shalatnya tidak syah.
Diceritakan, bahwa ada seseorang yang melakukan “Haji” seperti ini, malamnya ketika kembali ke rumahnya dia bermimpi melihat Malaikat mencatat orang-orang yang melaksanakan Ibadah Haji, namun namanya tidak ikut dicatat.  Lalu dia bertanya kepada Malaikat, “Kenapa kalian tidak mencatat aku?”  Para Malaikat berkata, “Kamu bukan termasuk orang-orang yang melaksanakan Haji.”  Yakni, engkau tidak melakukan haji sebagaimana yang disyari’atkan.
Di antara orang-orang yang kemasukan syaithan atau Jin, ada juga yang mampu berbicara dengan berbagai macam bahasa.  Tetapi ketika sadar, dia tidak tahu sama sekali tentang apa yang telah dia ucapkan.  Ada juga yang pada saat kemasukan syaithan atau Jin, tubuhnya menjadi kebal pukulan.  Dimana kalau orang biasa dipukul seperti itu, pasti ia akan mati atau paling tidak ia akan kesakitan.  Dan ketika sadar ia mengatakan tidak merasakan apa-apa.  Karena memang yang dipukuli tadi adalah Jin, bukan manusianya.

Perbedaan Antara Karamah Wali Allah dan Keanehan Wali Syaithan;
Ada sejumlah perbedaan antara karomah para Wali Allah dengan Keanehan para Wali Syaithan.  Diantaranya, kalau karomah Wali Allah lahir dari keimanan dan ketakwaan, maka kelebihan yang dimiliki Wali Syaithan bersumber dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya),
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Tuhanku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan mengatakan sesuatu dengan mengatas-Namakan Allah apa yang tidak kamu ketahui.”  (Al-A’raaf;  33)
Mengatakan sesuatu dengan mengatas-Namakan Allah apa yang tidak diketahui adalah Syirik, Zhalim, dan Perbuatan-perbuatan Keji.  Semua itu dilarang Allah dan Rasul-Nya (karena termasuk dosa yang paling besar), dan tidak mungkin menjadi salah satu sebab munculnya karomah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Karena tujuan karomah bukan  untuk hal-hal yang demikian.
Jadi, sekiranya karomah tidak didapatkan dengan jalan shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an, tetapi diperoleh dengan apa yang disenangi syaithan dan hal-hal yang di dalamnya terdapat kemusyrikan, seperti bertapa, meminta pertolongan kepada sesama makhluk, atau sesuatu yang digunakan untuk menganiaya makhluk dan melakukan kekejian, maka ini termasuk dari perilaku syaithan, bukan karomah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contoh Perbuatan Wali Syaithan;
Diantaranya , jika ada yang menghadiri acara peribadatan “Mukaa wa Tashdiyah”[8], syaithan turun kepadanya dan membawanya terbang keluar dari tempat tersebut.  Dan apabila ada seorang Wali Allah datang, maka syaithannya lari dan ia pun jatuh.  Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada seorang saja.
Ada juga yang meminta pertolongan kepada sesama makhluk, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, baik orang Islam, Nasrani, atau pun Musyrik.  Kemudian syaithan menjelma (seakan-akan) seperti orang yang dimintai pertolongan tadi dan memenuhi sebagian kebutuhan orang yang meminta pertolongan.  Orang ini pun (yang meminta pertolongan) menyangka, bahwa yang telah menemuinya (menolongnya) adalah orang itu sendiri atau Malaikat yang menyerupainya.  Padahal ia adalah syaithan yang menyesatkannya, karena ia telah mempersekutukan Allah.[9]
Seperti halnya syaithan-syaithan yang memasuki tubuh patung-patung dan berbicara kepada orang-orang Musyrik dari dalam diri patung tersebut.
Ada pula syaithan yang mendatangi mereka dengan menjelma dalam sosok manusia dan mengaku-ngaku sebagai Khidir (Nabi).  Kemudian syaithan itu memberitahukan berbagai masalah kepadanya dan mengabulkan sebagian permintaannya.  Yang seperti ini tidak hanya terjadi pada orang Islam, Nasrani dan Yahudi saja, tapi juga pada yang lainnya.
Banyak orang-orang kafir baik di Timur maupun di Barat, jika salah seorang diantara mereka mati, maka syaithan datang setelah kematiannya dalam sosok sang mayit.  Mereka meyakini, bahwa dia adalah sang mayit tadi.  Dia membayar hutang, mengembalikan barang titipan dan melakukan hal-hal yang berhubungan dengan sang mayit.  Dia juga menemui isterinya (menggaulinya), lalu pergi.  Bahkan mungkin mereka telah membakar sang mayit dalam api seperti yang dilakukan orang-orang kafir di India, namun mereka menganggap bahwa dia hidup lagi setelah mati.
Di Mesir, ada seorang syaikh berwasiat kepada  pembantunya, ia berkata, “Apabila aku meninggal, janganlah kamu memanggil seorang pun untuk memandikanku, karena aku akan datang dan memandikan diriku sendiri.”  Kemudian, tatkala syaikh itu meninggal, pembantunya melihat seseorang yang menjelma dalam bentuk dirinya, dan dia yakin bahwa itu adalah tuannya yang datang untuk memandikan dirinya.  Maka, setelah orang (yang datang itu) selesai memandikan mayatnya, dia pun menghilang.  Padahal, sebenarnya orang yang datang dalam bentuk tuannya tersebut adalah syaithan yang telah menyesatkan sang mayit.  Syaithan itu berkata kepadanya, “Setelah meninggal,  kamu akan datang untuk memandikan dirimu sendiri.”  Dan ketika meninggal syaithan datang dalam bentuk dirinya untuk menyesatkan orang-orang yang masih hidup, sebagaimana ia telah menyesatkan si mayit sebelumnya.
Di antara mereka, ada yang melihat singasana di angkasa yang di atasnya terdapat cahaya, dan mendengar seseorang berbicara kepadanya, “Aku adalah Tuhanmu.”  Jika orang tersebut seorang Ahli Ma’rifat, pasti dia mengetahui bahwa itu adalah syaithan.  Dan tentu dia akan mengusirnya, dan meminta perlindungan kerpada Allah darinya, sehingga hilanglah syaithan itu.
Dan di antara mereka, ada juga yang dalam keadaan sadar melihat bayangan sejumlah orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi atau orang yang jujur, atau salah seorang syaikh yang shalih.  Padahal sejatinya dia adalah syaithan yang terkutuk.  Hal ini juga tidak hanya terjadi pada seorang saja.
Ada juga wali syaithan yang ketika mengunjungi kuburan, dia melihat kuburan tersebut terbelah dan dari situ keluar sesosok  manusia yang diyakininya sebagai sang mayit.  Padahal ia adalah Jin yang menyerupai sang mayit.
Banyak juga wali syaithan yang melihat seekor kuda keluar-masuk ke dalam sebuah kuburan, padahal ia adalah syaithan.
Dan semua orang yang mengaku melihat Nabi dengan mata-kepalanya sendiri, sebenarnya yang dia lihat tak lain adalah Jin atau fantasi belaka.
Ada pula yang bermimpi bertemu dengan beberapa Sahabat Besar, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu atau yang lainnya, dimana “Sahabat” tersebut memotong rambutnya atau menggundulinya atau memakaikan kopiah atau pakaian kepadanya.  Lalu ketika bangun, ia mendapati  ada kopiah di atas kepalanya, dan rambutnya telah botak.  Sebenarnya Jin lah yang mencukurnya (bukan “Sahabat”).  Perbuatan-perbuatan syaithan di atas, hanya terjadi pada orang-orang yang telah menyimpang dari Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para wali syaithan itu terdiri dari beberapa tingkatan.  Dan Jin yang bersekongkol dengan mereka pun juga bertingkat-tingkat, sama dengan mereka.  Syaithan-syaithan yang mempunyai “anak-didik” wali ini, berada pada satu derajat dan madzhab yang sama dengan para walinya.  Jin itu sendiri ada yang kafir, fasik dan yang bermasalah.  Sekiranya manusia itu kafir, fasik atau bodoh, maka mereka semua sama-sama masuk ke dalam kekufuran, kefasikan dan kesesatan.

Peran dan Bantuan Syaithan Terhadap Walinya;
Terkadang syaithan membantu seseorang apabila orang tersebut mau mengikuti mereka dalam kekufuran yang dipilihnya, misalnya bersumpah kepada mereka atas nama orang-orang yang diagung-agungkan dari golongan Jin dan Manusia.  Atau menulis Nama Allah atau sebagian firman-Nya dengan benda najis (mis. Darah haid), atau membalikkan surat Al-Fatihah, atau Al-Ikhlas, atau ayat Kursy, atau ayat-ayat yang lain dan menulisnya dengan benda najis, kemudian menenggellamkannya ke dalam air, atau memindahkannya dengan cara tertentu yang menyenangkan syaithan (mis. dengan kaki), terkadang syaithan-syaithan itu mendatanginya dengan menyerupai seorang perempuan atau anak kecil yang dia cintai, baik di atas angin atau datang langsung untuk meminta perlindungan kepadanya.  Dan contoh-contoh lain yang cukup panjang pembahasannya, dimana percaya kepada hal-hal tersebut berarti percaya kepada sihir dan thaghut.  Yakni, syaithan dan berhala.  Sekiranya orang itu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, baik lahir maupun bathin, maka syaithan-syaithan itu tidak akan bisa memasuki dan mempengaruhinya.
Karena itulah, Ibadah seorang Muslim yang disyariatkan adalah di Masjid yang merupakan “Rumah Allah”.  Dan dengan memakmurkannya dapat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan syaithan.

Jalan Para Ahli Syirik dan Bid’ah;
Kebiasaan ahli syirik dan bid’ah adalah mengagung-agungkan kuburan dan orang-orang yang telah mati.  Mereka suka memanggil-manggil orang yang telah mati, atau berdo’a dengan menjadikan orang yang mati sebagai perantara, atau berkeyakinan bahwa dengan berdo’a di situ akan dikabulkan.  Perbuatan mereka ini rawan sekali dengan tipu daya syaithan.  Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan  kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai Masjid.”  (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ditegaskan juga dalam Shahih Muslim, dari Nabi, bahwa Beliau bersabda pada lima malam sebelum wafatnya Beliau,
“Sesungguhnya orang yang paling baik dalam persahabatan dan pertolongannya kepadaku adalah Abu Bakar.  Seandainya aku mengangkat seorang kekasih dari penghuni bumi ini, niscaya aku akan memilih Abu Bakar, akan tetapi Sahabat kalian adalah kekasih Allah.  Tidak tersisa satu pun pintu yang terbuka dalam masjid kecuali pintunya Abu Bakar.  Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan sebagai masjid.  Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, karena aku melarang kalian akan hal itu.”
Dan tersebut juga dalam Al-Bukhari – Muslim, bahwa Nabi pernah diberitahu tentang sebuah Gereja yang berada di negeri Habasyah, yang indah dan banyak gambar-gambar di dalamnya.  Beliau bersabda (artinya),
“Jika ada seorang yang shalih di antara mereka meninggal, mereka membangun sebuah masjid di atas kuburannya dan mengukir gambar-gambar tersebut di dalamnya.  Mereka adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah pada Hari Kiamat.”
Dalam Musnad Ahmad dan Shahih Abu Hatim, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda (artinya),
“Termasuk orang yang paling buruk adalah mereka yang hidup saat Hari Kiamat datang dan orang yang menjadikan kuburan sebagai Masjid.”
Tersebut pula dalam hadits shahih, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Jangan kalian duduk dan shalat di atas kuburan.”[10]
Sementara itu di dalam 'Al-Muwaththa’, diriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.  Allah paling murka terhadap kaum yang menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai Masjid.”[10]
Dan dalam kitab Sunan disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat perayaan, dan ucapkanlah shalawat kepadaku dimana pun kalian berada, sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku.”  (HR. Ahmad dan Abu Daud).  Beliau juga bersabda (artinya),
“Sesungguhnya Allah menunjuk wakil-Nya di kuburanku, mereka adalah para Malaikat yang menyampaikan salam kepadaku dari ummatku.”  (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Ad-Darimi dari Ibnu Mas’ud)
Beliau besabda (artinya),
“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada Hari Jum’at dan Malam Jum’at.  Sebab sesungguhnya shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.”  Para Sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami akan diperlihatkan kepadamu, sedangkan jasadmu telah hancur?”  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.”  (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah dari Aus bin Aus).
Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan keadaan kaum Nabi Nuh di dalam Al-Qur’an, sebagai generasi pertama yang melakukan perbuatan Syirik, sehingga Allah ‘Azza wa Jalla menenggelamkan bumi ini  dan memusnahkan mereka semuanya.
Itulah makanya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang menjadikan kuburan sebagai Masjid agar terhindar dari segala bentuk kemusyrikan.  Maka, tutuplah setiap pintu-pintu kemusyrikan tersebut.

Gambaran Tipu Daya Syaithan Terhadap Ahli Syirik dan Bid’ah;
Dalam menyesatkan anak-cucu Adam, syaithan selalu menyesuaikan diri dengan kemampuan orang tersebut.  Jadi, kalau ada orang menyembah matahari, bulan, bintang dan berdo’a kepadanya, hakikatnya yang mereka sembah adalah syaithan juga.  Syaithan turun kepadanya dalam bentuk sebagai “Utusannya Bulan”, Bintang dan seterusnya, lalu menyampaikan beberapa perintah yang mereka anggap sebagai ajaran agama mereka.  Padahal, sebenarnya itu merupakan tipu daya syaithan belaka.
Sekalipun syaithan membantu manusia dalam memenuhi sebagian kebutuhan yang diinginkannya, namun sebenarnya hal tersebut jauh lebih banyak mudharat (kerugian)nya daripada manfaatnya.  Dan barangsiapa yang mentaati syaithan, maka dia telah melakukan dosa syirik yang tak terampuni.  Kecuali jika dia bertaubat dengan sebenar-benarnya kepada Allah dan Allah menerimanya.
Terkadang syaithan senang mengajak penyembah berhala melalui berhala yang mereka sembah.  Begitu pula dengan orang yang meminta pertolongan kepada kuburan atau roh orang yang sudah meninggal.  Dan kepada orang yang senang memanggil-manggil orang mati atau berdo’a dengan perantara orang yang sudah mati.  Orang-orang model begini juga menganggap, bahwa berdo’a di kuburan juga lebih utama daripada berdo’a di rumah atau di masjid.
Ada kelompok lain yang menyamai perbuatan ahli syirik dan ahli bid’ah ini, yaitu para penyembah berhala Nasrani  dan orang-orang Islam yang sesat.  Mereka menganggap bahwa keadaan-keadaan tertentu yang mereka alami adalah karomah.  Padahal, itu merupakan perbuatan syaithan yang sengaja hendak menggelincirkan mereka ke jurang kemusyrikan dan kesesatan.  Mereka misalnya meletakkan celana-celana mereka di atas kuburan, kemudian mendapatinya dalam keadaan terikat, atau meletakkan orang yang kesurupan di situ, kemudian mereka melihat setannya keluar.  Semua ini dilakukan oleh syaithan untuk menyesatkan mereka.
Keadaan seperti di atas, apabila dibacakan ayat Kursy dengan yakin, maka kebathilan itu pasti akan lenyap.  Karena sesungguhnya iman terhadap ke-Esaan Allah (Tauhidullah) dapat mengusir syaithan.  Itulah sebabnya, ketika syaithan membawa (terbang) salah seorang dari mereka di udara, kemudian ia membaca “Laa ilaaha Illallah” (Tiada Ilah yang diIbadahi dengan haq selain Allah), pasti dia akan jatuh.  Demikian pula halnya jika salah seorang di antara mereka melihat kuburan terbelah dan keluar seseorang dari dalamnya, lalu dia menyangkanya sang mayit, padahal sebenarnya ia adalah syaithan.
Ini adalah Bab yang cukup panjang, sehingga tidak mungkin disebutkan dalam Bab ini semuanya.

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Wali Allah versus Wali Setan”, Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah)

[1] Terkenal dengan sebutan Ibnu Shayyad, Ayahnya seorang Yahudi yang tidak diketahui dari kabilah mana dia berasal.  Dia lahir pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam keadaan mata picak sebelah dan (kemaluannya) telah ter-khitan.  Secara tiba-tiba ia muncul dihadapan Nabi dan para Sahabat, sehingga mengagetkan mereka semua.  Karena kondisi fisiknya yang demikian ditambah tidak ada yang mengenalnya, sebagian Sahabat menyangkanya sebagai Dajjal.  Apalagi dia pintar menebak.  Umar pernah meminta idzin kepada Nabi untuk membunuhnya, tetapi Beliau tidak mengidzinkan.  Kata Nabi, “Kalau memang dia Dajjal, kamu tidak akan dapat mengalahkannya.  Dan kalau dia bukan Dajjal, tidak ada baiknya kamu membunuhnya.”  Sebagian ‘ulama mengatakan, bahwa Nabi melarang Umar membunuhnya karena ia termasuk golongan yang terikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin.  Konon dia masuk Islam setelah wafatnya Nabi.  Dia meninggal di Madinah pada tahun 63 H. (Edt.)
[2] Dari dulu hingga kini, yang namanya Tukang Sihir, Dukun, Para Normal, ‘Orang Pintar’ dan kawan-kawan, kalau mereka bisa mengetahui hal-hal ghaib, itu adalah dari syaithan atau Jin.  Syaithan itulah yang membisikkan kepada mereka tentang hal-hal yang terkadang tidak / belum diketahui orang lain.  Namun tebakan seperti ini lebih banyak salahnya daripada benarnya (Edt.)
[3] Abdul Malik bin Marwan bin Hakam, Khalifah kelima Dinasti Bani Umayyah.  Wafat tahun 86 H (Edt.)
[4] Ini adalah kisah nyata.  Orang-orang yang kebal senjata seperti Al-Harits si Nabi Gadungan ini, sampai saat ini masih banyak.  Bahkan dengan bangganya mereka mendemonstrasikan Ilmu Kebalnya di depan umum.  Padahal, itu tidak lain adalah peran syaithan yang sengaja melindungi dirinya demi untuk menyesatkannya (Edt.)
[5] Gunung Qasiyun, sebuah gunung di sebelah Utara Damaskus.  Konon di tempat itu Habil dibunuh oleh Qabil (Keduanya putera Nabi Adam 'Alaihissalam), (Edt.)
[6] Tindakan Abdul Malik bin Marwan yang menangkap dan membunuh Al-Harits ini banyak dipuji oleh ‘ulama saat itu.  Sehingga mereka melupakan dosa-dosa Abdul Malik terhadap kaum Muslimin sebelumnya.  Jika sekarang ada seorang yang mengaku sebagai Nabi, maka Pemerintah pun semestinya harus menangkapnya. (Edt.)
[7] Lihat Shahih Al-Bukhari, 2/812, Kitab Al-Wakalah, Bab Idza Wakkala Rajulan Fatarakal Wakila Syai’an Fa ajazahul Muwakkal, hadits no. 2187
[8] Peribadatan yang dilakukan oleh orang-orang kafir di dalam Masjidil Haram.  Tetapi sebetulnya yang mereka lakukan adalah berpesta ria, dengan bersiul-siul dan bertepuk tangan, sesuai tradisi mereka (Edt.)
[9] Tentu saja syaithan merasa senang dengan orang-orang yang suka meminta-minta ke kuburan atau memohon pertolongan kepada roh orang yang sudah meninggal.  Karena orang tersebut telah melakukan dosa besar, yakni syirik.  Dan dikarenakan perbuatan syiriknya itulah syaithan mendatanginya, dalam wujud orang yang dimintai pertolongan serta mengabulkan permintaannya.  Yang biasanya dibarengi dengan syarat-syarat tertentu (Edt.)
[10] Hadits Mursal Riwayat Imam Malik dari Atha’ bin Yasar.  Imam Ahmad juga meriwayatklan hadits ini dari Abu Hurairah.  Syaikh Ahmad Syakir mengatakan bahwa sanad Imam Ahmad adalah Shahih.            

Sabtu, 26 Mei 2018

KARAMAH PARA WALI ALLAH



بسم الله الر حمان الر حيم


Para Wali Allah adalah orang-orang yang bertakwa, yang selalu mengikuti (Ittiba’) kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengerjakan apa yang Beliau perintahkan, dan menjauhi apa-apa yang Beliau larang dan cegah.  Senantiasa mengikutinya sesuai dengan yang Beliau ajarkan kepada mereka.  Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperkuat mereka dengan para Malaikat serta pertolongan-Nya, dan menyinari hati mereka dengan cahaya-Nya serta memberi Karomah kepada mereka sebagaimana yang Dia berikan kepada Para Wali-Nya yang Bertakwa.


Karomah  yang dimiliki oleh Para Wali Allah yang terpilih, sungguh merupakan Hujjah ("argumen") dalam Agama  atau merupakan suatu kebutuhan yang mesti dimiliki kaum muslimin, sebagaimana mukjizat Nabi mereka Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (untuk menambah keyakinan mereka pada Syari’at-Nya serta KeMahakuasaan-Nya terhadap segala sesuatu).
Karomah Wali Allah hanya dapat diperoleh dikarenakan barokah dari mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Yang sebenarnya termasuk (bagian) mukjizat Rasul juga.  Seperti terbelahnya bulan, bertasbihnya kerikil di telapak tangan Beliau, pohon yang mendekati Beliau, pemberitahuan Beliau tentang Baitul Maqdis pada malam Mi’raj, pemberitahuan Beliau tentang hal-hal yang telah dan akan terjadi, Al-Qur’an yang di turunkan kepada Beliau, memperbanyak makanan dan minuman brerulang kali, misalnya ketika Perang Khandak, dimana Beliau dapat membuat kenyang parta Sahabatnya dengan makanan yang sedikit.  Dalam hadits Ummu Sulaim yang terkenal, disebutkan bahwa makanan tersebut tidak berkurang.[1]
Beliau juga pernah memberi minum kepada bala tentaranya saat Perang Tabuk[2], hanya dari satu gentong air dan isi gentong itu tidak berkurang sedikit pun.
Pada saat Perang Tabuk, dengan makanan yang hanya sedikit, Beliau memenuhi kantong-kantong makanan milik para Sahabatnya.  Padahal jumlah mereka berkisar 30.000 orang, sedang makanan itu masih tetap utuh!
Berkali-kali, Nabi pernah mengeluarkan air dari sela-sela jari Beliau yang mulia, hingga  mencukupi semua orang yang bersama Beliau.  Seperti orang-orang pada perang Hudaibiyah yang berjumlah antara 1400 hingga 1500 orang.
Beliau juga pernah menyembuhkan mata Qatadah yang mengucurkan darah dan membasahi pipinya sehingga kembali lagi seperti semula.
Ketika Beliau mengirim Muhammad bin Maslamah untuk membunuh Ka’ab bin Asyraf, ia (Muhammad bin Maslamah) terjatuh dan patah kakinya.  Kemudian Beliau mengusapnya dengan telapak tangan Beliau yang mulia, lalu sembuh seperti sedia kala.
Pernah juga Beliau memberi makan 130 orang dengan daging kambing yang dipanggang, masing-masing mendapatkan sepotong dan dipotong menjadi dua bagian, kemudian mereka kebagian makanan semuanya.  Tetapi, daging kambing itu masih tersisa.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membayarkan hutang Abdulah bin Amr kepada salah seorang Yahudi, sebanyak 30 wasak[3].  Kemudian Jabir meminta yang punya piutang untuk mengambil semua kurma yang ada padanya, tetapi ia (orang Yahudi itu) menolak.  Lalu Rasulullah lewat dan berkata kepada Jabir, “Penuhi saja kemauannya.”  Lalu Jabir pun memberinya 30 wasak.  Tetapi setelah dihitung, ternyata masih kelebihan 17 wasak.  Mukjizat Nabi yang semacam ini sangatlah banyak, sehingga kalau dihimpun dapat mencapai 1000 mukjizat.

Karomah Para Sahabat
Karomah para Sahabat dan Tabi’in serta orang-orang shalih, jumlahnya cukup banyak.  Seperti yang terjadi pada Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca surat Al-Kahfi, turunlah seperti bayangan halus dari langit.  Mereka adalah para Malaikat yang turun untuk mendengarkan bacaannya.
Para Malaikat juga pernah memberi salam kepada Imran bin Hushain.
 Salman Al-Farisi dan Abu Ad-Darda pernah makan pada sebuah piring, kemudian piring itu bertasbih dan begitu juga apa yang ada di dalamnya.
Ubbad bin Basyar dan Usaid bin Hudhair, suatu ketika keluar dari majelis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada malam yang gelap gulita.  Kemudian muncul cahaya seperti ujung cemeti menerangi mereka.  Dan ketika mereka berpisah, cahaya itu pun berpisah dengan keduanya.  Kisah ini tidak hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Kisah tentang Ash-Shiddiq dalam Al-Bukhari dan Muslim (Shahihain), ketika pergi bersama ketiga orang tamu kerumahnya.  Karena makanannya cuma sedikit, ia tidak makan sesuap pun, tetapi malah mucul makanan dari bagian bawahnya yang lebih banyak dari sebelumnya.  Saat ketiga tamunya telah kenyang, makanan itu masih tetap banyak.  Kemudian Abu Bakar dan Isterinya membawa tempat makan itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu banyak orang berdatangan dan ikut memakan makanan tersebut.
Ketika Khubaib bin Adi menjadi tawanan orang-orang Musyrik Makkah, setiap hari ada yang memberinya buah anggur untuk dimakan, padahal saat itu di Makkah tidak ada (sedang tidak musim) anggur.
Amir bin Fuhairah mati Syahid terbunuh, dan orang-orang mencari tubuhnya tetapi tidak menemukannya.  Ketika ia terbunuh, Amir bin Thufail melihat ada yang mengangkatnya.  Urwah berkata, “Mereka berpendapat bahwa Malaikat telah menguburkannya.”
Ketika meninggalkan Makkah dan Hijrah ke Madinah, Ummu Aiman sama sekali tidak membawa bekal makanan maupun air.  Ditengah perjalanan, hampir saja ia mati karena kehausan.  Saat datang waktu berbuka – ketika itu ia sedang berpuasa, ia mendengar sesuatu di atas kepalanya.  Ummu Aiman pun menoleh, ternyata ia melihat ember putih berisi air tergantung.  Lalu ia meminumnya sampai puas, dan sejak saat itu ia tidak pernah merasakan dahaga seumur hidupnya.
Safinah[4], pembantu Rasulullah Shallallahui ‘Alaihi wa Sallam pernah memberitahu kepada seekor singa, bahwa dia adalah pembantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian singa itu mengantarkannya sampai ke tujuannya [5].
Adalah Al-Barra bin Malik, jika bersumpah atas Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti Dia mengabulkan sumpahnya.  Suatu saat dalam sebuah pertempuran, ketika kaum muslimin mulai terdesak, sahabat-sahabatnya berkata, “Wahai Al-Barra, bersumpahlah atas Nama Tuhan-mu.”  Kemudian ia (Al-Barra) berkata, “Wahai Tuhan-ku, aku bersumpah dengan menyebut Nama-Mu, berikanlah kemenangan kepada kami.”  Maka pasukan musuh pun berhasil dikalahkan.  Dan pada peperangan Tustar, Al-Barra berkata, “Aku bersumpah kepada-Mu wahai Tuhan-ku, karuniakanlah kemenangan kepada kami dengan mengalahkan mereka.  Dan jadikan aku sebagai Syahid yang pertama.”  Kemudian kaum muslimin pun memperoleh kemenangan gemilang, dan mereka menyaksikan Al-Barra sebagai orang yang pertama Syahid pada hari itu.
Begitu juga Khalid bin Al-Walid, ketika dia dan pasukannya mengepung sebuah benteng yang kokoh, pimpinan pasukan musuh berkata, “Kami tidak akan menyerah sebelum kamu meminum racun.”  Khalid pun meminumnya, dan dia tetap segar-bugar tidak terkena pengaruh racun tersebut.
Adapun Sa’ad bin Abi Waqash, dia adalah orang yang mustajab do’anya.  Setiap do’anya selalu dikabulkan Allah.  Dan dialah orang yang menundukkan pasukan Kisra dan mengalahkan Irak.
Dikisahkan, bahwa Umar bin Khathab mengirim pasukan perang ke Ashbahan dibawah pimpinan Sariyah.  Ketika sedang berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba Umar berteriak, “Gunung, hai Sariyah!  Gunung, hai Sariyah!”
Sepekan kemudian, datang seorang utusan pasukan dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah bertemu musuh dan mereka hampir saja mengalahkan kami.  Namun tiba-tiba kami mendengar suara teriakan yang keras, ‘Gunung, hai Sariyah!  Gunung, hai Sariyah!.’  Kami pun segera menuju ke arah gunung dan berlindung di situ, lalu Allah menghancurkan mereka.”
Ketika Zunairah[6] masuk Islam, dia disiksa sedemikian rupa dan dipaksa kembali lagi ke Agamanya yang lama.  Tetapi dia tetap bersikukuh dalam Islam.  Sehingga matanya menjadi buta disebabkan siksaan mereka.  Orang-orang musyrik itu berkata, “Matanya terkena laknat Lata dan Uzza.”  Dia (Zunairah) menjawab, “Demi Allah tidak.”  Lalu Allah mengembalikan penglihatannya seperti semula.
Said bin Zaid juga seorang yang makbul do’anya.  Dia pernah mendo’akan Arwa ketika mendustainya, “Ya Allah, jika ia berdusta, butakanlah matanya dan matikanlah ia di tanah miliknya.”  Maka Arwa pun buta dan jatuh terperosok kedalam lubang di tanah miliknya, kemudian mati di situ.
Al-Ala’ bin Al-Hadrami, seorang Gubernur Bahrain pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pernah mengucapkan, “Wahai Dzat Yang Mahamengetahui, Mahasabar, Mahatinggi dan Mahaagung,” dalam doanya dan dikabulkan.  Dia juga pernah berdo’a kepada Allah agar orang-orang mendapatkan air untuk berwudhu ketika mereka tidak mendapatkan air.  Pada saat pasukan kaum Muslimin terhalangi oleh laut ketika menuju suatu peperangan, dia berdo’a kepada Allah agar mereka dapat melewati bentangan laut yang luas dengan kuda-kuda yang mereka tunggangi.  Kemudian mereka pun berjalan di atas air dan pelana kuda mereka tidak basah sedikit pun.  Di akhir hayatnya, dia berdo’a, agar orang-orang tidak melihat tubuhnya jika dia meninggal.  Dan mereka pun tidak menemukan jasadnya dalam liang lahat.

Karomah Para Tabi’in
Abu Muslim Al-Khaulani misalnya, dia pernah menyeberangi sungai Tigris bersama pasukan kaum Muslimin dengan berjalan di atasnya, seakan-akan sungai Tigris beralaskan papan kayu di sepanjang permukaannya.  Kemudian dia menoleh kepada para Sahabatnya seraya berkata, “Apakah ada diantara kalian yang kehilangan sesuatu, biar aku berdo’a kepada Allah supaya ketemu?”  Ada salah seorang yang berkata, “Aku kehilangan keranjang.”  Abu Muslim berkata, “Ikut denganku.”   Lalu orang itu mengikuti Abu Muslim dan dia mendapatkan keranjangnya tergantung di ranting pepohonan, dia pun megambilnya.
Ketika Aswad Al-Ansi memproklamirkan dirinya sebagai seorang Nabi, dia memanggil Abu Muslim dan menanyainya, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”  Abu Muslim menjawab, “Apa? Aku tidak mendengar.”[7]  Al-Ansi bertanya lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?”  Kata Abu Muslim, “Ya.”  Karena merasa dilecehkan, Al-Ansi  segera memerintahkan anak buahnya agar membakar Abu Muslim di atas tumpukan kayu bakar yang berkobar-kobar dengan api.  Namun, bukannya meninggal, mereka malah melihat Abu Muslim shalat di dalamnya.  Api itu menjadi dingin dan tidak membahayakannya.
Suatu ketika, ia (Abu Muslim) datang ke madinah setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Umar menyuruhnya duduk di tengah-tengah antara dirinya dengan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma.  Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang belum mewafatkanku sampai aku melihat salah seorang dari ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diperlakukan Allah seperti Ibrahim Khalilullah (Nabi Ibrahim).”
Budak perempuannya juga pernah menaruh racun ke dalam makanannya, namun makanan beracun yang dimakannya itu tidak membahayakannya.
Dikisahkan juga, bahwa ada seorang perempuan ingin mencelakai isterinya, kemudian ia mendoakannya dan perempuan itu pun buta.  Lalu dia datang dan menyatakan bertaubat.  Abu Muslim pun berdo’a kepada Allah agar mengembalikan penglihatannya.
Seorang Tabi’in, Amir bin Abdi Qais namanya, dia mengambil gajinya sebesar 2000 dirham dan menyimpannya di balik baju.  Di perjalanan pulang, setiap kali bertemu dengan pengemis, dia selalu memberinya uang tanpa menghitungnya.  Kemudian sesampainya di rumah, uangnya sama sekali tidak berkurang dan beratnya juga tidak berubah.
Pernah suatu kali ia bertemu dengan rombongan khalifah yang tertahan oleh seekor singa.  Lalu dia mendatangi singa tersebut dan mengusapkan pakaiannya ke mulut singa.  Setelah itu ia meletakkan kakinya di atas leher singa itu dan berkata, “Kamu itu hanya seekor anjing dari sekian banyak anjingnya Allah, dan aku malu pada-Nya kalau sampai takut kepada selain-Nya.”  Rombongan khalifah pun melanjutkan perjalanannya.    
Dia juga pernah meminta kepada Allah supaya mempermudahnya bersuci pada musim dingin.  Dan Allah pun memberinya air yang beruap (hangat).  Diantara do’anya kepada Tuhan-nya dia meminta  agar mencegah syaithan masuk ke dalam hatinya ketika sedang shalat, maka syaithan pun tidak sanggup mengganggunya.
Hasan Al-Basri pernah menghilang dari pandangan Al-Hajjaj, padahal anak buah Al-Hajjaj telah mencarinya hingga enam kali.  Dia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar melindunginya dan mereka tidak dapat melihatnya.  Dia juga pernah mendo’akan salah seorang Khawarij yang mengganggu dirinya.  Dan orang tersebut langsung tersungkur mati[8].
Adalah Shilah bin Usyaim, kudanya mati ketika dia sedang berada dalam medan pertempuran.  Dia berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau berikan kekuatan kepada musuh sehingga dapat mengalahkanku.”  Lalu ia berdoa kepada Allah agar menghidupkan kudanya, dan Allah pun menghidupkan kudanya.  Ketika sampai di rumah, ia berkata kepada anaknya, “Hai anakku, ambil pelana kudanya, karena dia tidak memerlukannya lagi.”  Anaknya pun mengambil pelananya dan kuda itu pun mati lagi.
Saat berada di Ahwaz, ia lapar dan berdo’a kepada Allah meminta makanan, tiba-tiba di belakangnya ada sekeranjang kurma dalam kain sutera.  Kemudian ia pun makan kurma tersebut dan memberikan kain sutera tadi kepada isterinya.
Pernah dia didatangi seekor singa pada waktu shalat di malam hari.  Seusai salam dia berkata kepada singa tersebut, “Carilah rezekimu di tempat lain.”  Dan singa itu pun berpaling sambil mengaum.
Disebutkan, bahwa Said bin Al-Musayyab pada hari-hari pengepungan Madinah[9], mendengar suara adzan dari kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu-waktu shalat.  Padahal masjid telah kosong dan tidak ada orang selain dia[10].
Seorang laki-laki dari Nakha’, keledainya mati saat sedang dalam perjalanan.  Teman-temannya berkata, “Mari kita bantu membawakan barang-barangmu.”  Ia menjawab, “Tunggu aku sebentar.”  Kemudian ia berwudhu dan shalat dua rakaat, lalu berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Maka Allah pun menghidupkan kembali keledainya yang sudah mati untuk membawa barang-barangnya.
Ketika Uwais Al-Qarni meninggal dunia, orang-orang mendapatkan beberapa kain kafan dalam pakaiannya, padahal sebelumnya Uwais tak pernah memilikinya.  Mereka juga mendapati liang kubur yang telah tersedia untuknya di daerah bebatuan.  Lalu mereka mengkafaninya dengan kain kafan tersebut dan menguburkannya di liang kubur yang telah tersedia untuknya.
Amru bin Utbah bin Farqad, suatu hari shalat di bawah terik matahari, kemudian ia dinaungi oleh awan.  Dan ketika ia menggembala binatang tunggangan sahabatnya, seekor binatang buas melindunginya, karena ia pernah berjanji kepada para sahabatnya untuk melayani mereka dalam perang.
Adalah Muthraf bin Abdullah bin Syukhair, setiap kali dia memasuki rumahnya, bejana-bejananya ikut bertasbih bersamanya.  Dan pada suatu malam yang gelap ketika ia berjalan dengan sahabatnya, muncul pucuk cemeti yang  menerangi mereka[11].
Ahnaf bin Qais ketika meninggal dunia, kopiah seseorang jatuh ke dalam kuburnya.  Lalu dia turun untuk mengambilnya, tiba-tiba ia mendapati kuburan itu melebar sejauh mata memandang.
Ibrahim At-Taymi pernah selama sebulan atau dua bulan selalu beribadah dan tidak memakan sesuatu apa pun[12].  Suatu hari ia keluar mencari makanan buat keluarganya, tetapi ia tidak mendapatkannya.  Kebetulan ia melewati dataran tanah merah, lalu ia mengambilnya sedikit.  Kemudian ia kembali ke keluarganya.  Keluarganya pun membuka bungkusan yang ia bawa, tahu-tahu tanah merah itu telah berubah menjadi gandum merah.  Sebagian dari biji gandum itu ia tanam, dan setiap kali panen, dari dasar tangkai sampai cabang-cabangnya mengeluarkan biji yang berlipat ganda.
Utbah Al-Ghulam meminta tiga hal kepada Tuhan-nya;  Suara yang merdu, Air mata yang deras, dan makanan tanpa harus bersusah payah.  Allah mengabulkan permintaannya.  Setiap kali membaca Al-Qur’an ia menangis, dan membuat orang yang mendengarkannya juga ikut menangis, air matanya terus mengalir deras.  Dan setiap dia kembali ke rumahnya, dia selalu mendapatkan makanan yang tidak dia ketahui dari mana datangnya.
Dikisahkan, bahwa Abdul Wahid bin Zaid terkena lumpuh separo pada anggota tubuhnya.  Dia memohon kepada Allah agar menguatkan anggota tubuh tersebut ketika berwudhu.  Dan ketika berwudhu, anggota tubuhnya yang lumpuh menjadi sehat, kemudian kembali lumpuh setelah itu.

Masalah karomah merupakan masalah yang sangat luas pembahasannya.  Dan pengarang buku (Ibnu Taimiyah) telah memaparkan secara panjang-lebar tentang karomah para Wali tidak hanya di dalam Bab ini.  Adapun karamah yang kami (Pengarang) ketahui dan lihat sendiri pada masa ini (semasa hidup Pengarang) cukup banyak jumlahnya.
Selamanya, karomah tidak dapat dipelajari.  Karena karomah adalah pemberian Allah 'Azza wa Jalla kepada para Wali-Nya pada saat-saat yang tidak bisa ditentukan.  Jadi, bila ada orang yang berusaha untuk mendapatkan kelebihan-kelebihan secara fisik, maka itu bukanlah karomah.  Termasuk juga dalam mempelajari Ilmu-Ilmu Tertentu, seperti ILMU KEBAL, TENAGA DALAM, PUKULAN JARAK JAUH, ILMU LADUNI (Tarikat Sufiyah), MEMBUNUH SESEORANG DARI JARAK JAUH, MENYEMBUHKAN SUATU PENYAKIT DARI JARAK JAUH, ILMU PENGASIHAN, TERBANG DI UDARA, BERJALAN DI ATAS AIR, MENARI-NARI DI ATAS PECAHAN KACA ATAU MEMAKAN PECAHAN KACA-TAPI TIDAK TERLUKA, MENEBAK APA YANG ADA DI DALAM HATI-ATAU YANG SEDANG DIPIKIRKAN OLEH ORANG LAIN, MENCERITAKAN SESUATU YANG SEDANG TERJADI DI SUATU TEMPAT PADA SAAT BERSAMAAN, BISA MENGHILANG, HADIR DI DUA ATAU TIGA TEMPAT YANG BERBEDA PADA WAKTU YANG  BERSAMAAN, DAN LAIN-LAIN.  Itu semua, sekalipun dipelajari dengan membaca ayat-ayat Al-Qur'an, Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ataupun mengamalkan amalan Sunnah, namun semuanya itu adalah ucapan-ucapan yang Mengatas-Namakan Allah, sedangkan Allah sama sekali tidak pernah menurunkan Hujjah untuk hal-hal tersebut.  Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya Shallallahu 'Allaihi wa Sallam berlepas Diri darinya.  Selain tidak ada landasannya dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, hal-hal tersebut juga mengharuskan seseorang melakukan amalan tertentu, pada waktu tertentu, dan dalam hitungan (jumlah) tertentu pula.  Jika pengamalannya tidak sesuai dengan yang disyaratkan (Iblis / Syaithan) tersebut, maka Ilmu yang dia pelajari akan gagal diperoleh.

oOo

(Disadur bebas dari kitab “Wali Allah versus Wali Setan”, Ibnu Taimiyah, Terj. Ikhwan El-Shafwa, Edt. H. Abduh Zulfidar Akaha, LC)
[1]  (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah)
[2]  Demikian yang tertulis dalam Kitab Aslinya.  Namun, mungkin yang benar adalah perang Khaibar.  Karena menurut Ibnu Hajar, setelah memaparkan berbagai pendapat, yang benar adalah perang Khaibar, bukan perang Tabuk, sebab inilah yang terdapat dalam Shahih Muslim (Edt.)
[3]  1 wasak = 60 sha’, 1 sha’ = kurang-lebih 2172 gram.
[4]  Safinah, seorang pembantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Konon namanya adalah Mahrah, tapi ada yang mengatakan Thahman dan ada juga yang mengatakan selain itu.  Berasal dari Persia, ketika masih sebagai budak, dia dibeli oleh Ummu Salamah.  Lalu Ummu Salamah membebaskannya dengan syarat dia bersedia mengabdi kepada Nabi.  Dia juga turut meriwayatkan hadits dari Beliau.
[5]  Diceritakan, bahwa Safinah pernah naik kapal, dan di tengah-tengah laut kapal itu pecah dan tenggelam.  Kemudian ia berpegangan pada sebilah kayu yang membawanya sampai ketepian pantai.  Di situ ia bertemu dengan seekor singa, lalu Safinah berkata kepada singa tersebut, “Aku adalah pembantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”  Singa itu pun tiba-tiba menundukkan pandangan dan kepalanya.  Kemudian singa itu mendorong-dorong Safinah dengan kepalanya, seolah-olah dia ingin menunjukkan jalan keluar dari hutan.  Safinah pun berjalan bersama-sama dengan singa tersebut.  Tatkala sampai di tepi jalan singa itu berhenti dan mengaum, seakan-akan dia mengucapkan selamat jalan kepada Safinah. (Lihat kisah ini di “Dalaa’il An-Nubuwwah”, Abu Nu’aim, hal 212. Edt.)
[6]  Zunairah, adalah mantan budak Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah dimerdekakan.
[7]  Abu Muslim pura-pura tidak mendengar (Edt.)
[8]  Dalam kitab “Jami’ Al’Ulum Al-Hikam”, Ibnu Rajab Al-Hambali menceritakan, bahwa ada orang Khawarij yang mengganggu majelis Hasan Al-Basri sehingga membuat dirinya dan murid-muridnya marah.  Dan ketika dia semakin menjadi-jadi dalam menjelek-jelekkan orang-orang yang ada di majelis itu, Hasan berdo’a, “Ya Allah, sungguh Engkau Tahu terhadap apa yang dilakukannya terhadap kami.  Oleh karena itu hindarkanlah kami dari orang ini sekehendak-Mu.”  Tiba-tiba orang tersebut berteriak dan jatuh tersungkur.  Kemudian dia dibawa pulang ke rumahnya dalam keadaan mati.
[9]  Hari pengepungan Madinah, adalah hari-hari ketika Madinah dikepung dan ditaklukkan secara paksa oleh pasukan Yazid bin Mu’awiyah dibawah pimpinan Muslim bin Uqbah.  Pada saat itu, banyak penduduk Madinah yang mati terbunuh, sebaagian diantaranya adalah para Sahabat yang mulia, dan harta benda serta penduduk Madinah – baik laki-laki maupun perempuan diperlakukan layaknya ghanimah dan tawanan perang.  Peristiwa ini terjadi pada tahun 69 H.  Dan ini adalah sebuah Noda Hitam dalam sejarah Islam yang tidak boleh terulang (Edt.)
[10]  Ketika itu, tidak ada seorang pun yang berani pergi ke masjid selain Said bin Al-Musayyab.  Sehingga tidak ada orang yang menyerukan adzan.  Namun sebagai gantinya, tetap ada suara adzan yang berasal dari kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang didengar oleh Said (Edt.)
[11]  Orang Arab sering mengistilahkan sebuah cahaya yang kecil dengan pucuk cemeti, karena kalau kita melecutkan sebuah cemeti (cambuk) dengan keras, maka akan muncul sekelebat cahaya dari ujung cemeti tersebut (Edt.)
[12]  Agak janggal memang, ada orang yang tidak makan sampai dua bulan.  Namun bila mengingat bahwa ia adalah Karomah, maka hal itu bukan merupakan sesuatu yang mustahil.  Lagi pula Imam Ahmad menyebutkan kisah ini dalam kitab “Az-Zuhud”, dan Ibnul Jauzi dalam “Shifatu Ash-Shafwah” (Edt.)

Senin, 21 Mei 2018

PARA SALAF MELIHAT KEMUNGKARAN



 بسم الله الر حمان الر حيم 


Kesempurnaan Islam membuat para Sahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in betul-betul menjaga Islam dari segala perkara baru yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah.  Perkara-perkara baru yang dimaksud dan itu adalah perkara-perkara baru dalam Ibadah, oleh para Salaf, terkadang diistilahkan dengan muhdats atau muhdatsat.  Meski demikian, istilah yang justru sering dipakai mereka adalah Bid’ah.
Siapa pun yang melakukan Bid’ah atau Mubtadi’ tidak semua disikapi sama oleh para Salaf.  Bagaimana pun, ada yang melakukan suatu Bid’ah hanya karena tidak mengetahui bahwa itu bid’ah, baik disebabkan lingkungan atau pun keterbatasan pengetahuan.  Ada pula yang melakukan bid’ah karena keyakinannya bahwa itu baik dan harus, meskipun telah diberitahu berkali-kali dengan dalil-dalil yang jelas.
Bagi para Salaf, siapa saja yang melakukan suatu Bid’ah dengan kesadaran bahwa itu tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaaihi wa Sallam tetapi menganggapnya baik dan meyakininya sebagai sebuah Ibadah sementara nasihat dan pengetahuan telah sampai kepadanya berulang kali, di istilahkan dengan Ahl  Al-Bid’ah.  Terkadang para Salaf menyebut mereka dengan Ahl Al-Ahwa’, para pengikut Hawa Nafsu.
Menasihati Ahl Al-Bid’ah dan memperingatkan orang lain dari Ahl Al-Bid’ah, para Salaf bersikap dan menyatakan sikap seperti itu di depan khalayak sebagai bentuk maklumat agar orang-orang di sekitar mereka mengetahui dan menjauhi bid’ah itu.  Para Salaf mencontohkan sikap seperti itu dalam rangka menjaga Agama mereka.
Sebuah contoh yang berupa peringatan dari kalangan Sahabat Rasulullah adalah apa yang pernah ditunjukkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu.  Waktu itu Yahya bin Ya’mar dan Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari sengaja datang ke Makkah guna bertanya kepada Abdullah bin Umar perihal Ma’bad Al-Juhani yang mengenalkan pemahaman Qadariyah di Bashrah.
Mendengar khabar yang disampaikan itu, Abdullah bin Umar menjawab, “Jika engkau bertemu dengan mereka, khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka telah berlepas diri dariku.  Demi yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, kalau salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud untuk diinfakkan, niscaya Allah tidak akan menerima infak itu.”
Al-Auza’i seorang Tabi’ut Tabi’in senior, pernah pula ditanya soal kelompok Qadariyah itu.  Ia lalu menjawab, “Jangan duduk-duduk dengan mereka.”
Kelompok Qadariyah memang sudah dikenal sebagai kelompok penolak Takdir Allah dan ini bertentangan dengan apa yang telah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Menurut para pengikut Ma’bad Al-Juhani itu, semua yang dilakukan oleh manusia adalah hasil usaha mereka sendiri.  Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penguasa Alam Semesta tidak ikut campur tangan sama sekali.
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu pernah memperingati orang-orang dari bahaya Kaum Rasionalis atau sering diistilahkan dengan Kelompok Pengagung Akal.  Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Hati-hati kalian dari para pengagung akal.  Sebab, sesungguhnya mereka itu musuh-musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Engkau pahamkan hadits-hadits kepada mereka agar mereka pegang, mereka justru katakan, ‘Dengan Akal.’  Maka, mereka pun sesat dan menyesatkan.”
Muhammad bin Sirin dan Hasan Al-Bashri, masing-masing pernah berkata, “Jangan kalian duduk-duduk dengan pengikut Hawa Nafsu.  Jangan mendebat mereka.  Jangan pula mendengarkan perkataan mereka.”  Mereka berdua adalah dua orang Pemuka Tabi’in terkenal.
Tabi’in lain yang lebih belakangan, Ayyub As-Sakhtiayni, pernah mendapat wasiat serupa dari salah seorang gurunya, Abu Qilabah.  Wasiat yang dimaksud berbunyi, “Jangan kau tempatkan telingamu perkataan-perkataan Ahl Al-Ahwa’.”
Abu Qilabah sang guru termasuk salah seorang Tabi’in dari Thabaqah Al-Wustha.  Dilain waktu ia pernah berkata, “Tidaklah satu kaum mengadakan suatu bid’ah, kecuali mereka juga akan menghalalkan pedang.”  Memang pada masa itu kelompok Khawarij karena bid’ah yang dilakukan mereka telah banyak menumpahkan darah orang-orang tak berdosa.
Terkait dengan kelompok Khawarij, dalam suatu riwayat terkenal, Sufyan Ats-Tasuri pernah memasuki masjid Jami’ guna menunaikan shalat Jum’at.  Belum lama detik berlalu, tiba-tiba ia mengucapkan, “Na’udzu billah min khusyu’ Al-Munafiq,” kami berlindung kepada Allah dari khusyu’ orang munafik.
Ucapan itu terlontar ketika Sufyan Ats-Tsauri melihat Shalih bin Hayy sedang mengerjakan shalat.  Orang yang terakhir ini dikenal sebagai seorang yang meyakini bolehnya menumpahkan darah kaum muslimin dan ini termasuk salah satu ciri kelompok Khawarij sejak pertama kali muncul dalam sejarah Islam.
Seperti Sufyan Ats-Tsauri dari generasi Tabi’ut-Tabi’in, Abdullah bin Mubarak memperingatkan muridnya agar tidak duduk-duduk dengan Ahl  Al-Bid’ah.  Kepada Isma’il At-Thusi, misalnya, Abdullah bin Mubarak mengingatkan,  “Jadikan duduk-dudukmu itu dengan orang-orang miskin, tapi hati-hatilah kau dari duduk-duduk dengan Ahl Al-Bid’ah.”
Tabi’ut-Tabi’in yang lain, Fudhail bin Iyadh, pernah mengatakan, “Aku dapati bahwa sebaik-baik manusia adalah Ahl As-Sunnah, sedangkan mereka itu selalu melarang manusia dari bergaul dengan Ahl Al-Bid’ah.  Lebih lanjut lagi, Fudhail bin Iyadh berpesan agar mencari jalan lain jika akan berpapasan dengan Ahl Al-Bid’ah di satu jalan.
Pesan seperti ini semisal dengan pesan dari Yahya bin Abi Katsir, seorang Tabi’in dari Tahabaqah Ash-Shugra, yang pernah berpesan kepada Al-Auza’i, “Jika kau bertemu dengan Ahl Al-Bid’ah itu di satu jalan, maka carilah jalan lain.”  Baik Fudhail bin Iyadh maupun Yahya bin Abi Katsir, masing-masing mengkhawatirkan seseorang yang selalu mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan tertimpa laknat dari Allah karena duduk dengan Ahl Al-Bid’ah.
Kekhawatiran seperti itu di tengah parta Salaf, jelas tidak mengada-ada.  Terlebih lagi jika mengingat pesan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu suatu hari,
“Siapa saja yang ingin memuliakan Agamanya, hendaklah meninggalkan duduk-duduk dengan Ahl Al-Ahwa’,”
Ibrahim An-Nakh’i, salah seorang Tabi’in yang paling mirip pembawaannya dengan Abdullah bin Mas’ud, juga pernah berpesan,
“Jangan duduk-duduk dengan Ahl Al-Ahwa’ sebab, sungguh perbuatan seperti itu dapat melenyapkan cahaya iman dari dalam hati, menghilangkan keelokan wajah dan mewariskan kebencian ke dalam hati (orang-orang beriman).”
Sampai di sini, semua upaya yang para Salaf lakukan itu, sebagaimana yang mereka yakini, adalah salah satu Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan itu termasuk ke dalam Ibadah.  Mereka melihat dan mencontoh langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
A’isyah Radhiyallahu ‘Anha bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca (ayat, artinya),
   “Dia-lah Allah Yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu.  Di antara isi Al-Kitab itu, ada ayat-ayat yang Muhkamat – itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an – dan yang lain (ayat-ayat) Mutasyabihat.  Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari Takwilnya.  Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya kecuali Allah.  Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat.  Semua itu dari sisi Tuhan kami.’  Dan tidaklah dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.”  (Ali-Imran;  7)
Kemudian A’isyah menambahkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata (artinya),
‘Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang telah Allah sebutkan.  Waspadalah kalian dari mereka itu’.”  (HR. Al-Bukhari no.4547 dan Muslim no. 2665)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah secara terang-terangan memperingati para Sahabatnya, ketika ada seorang Munafik yang dengan lancang menyanggah hasil keputusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah pembagian harta (ghanimah).  Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu Sahabat Rasulullah yang menceritakan kejadian itu berkata,
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, berlaku adillah, kau!”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaaaihi wa Sallam pun menjawab (artinya),
“Celaka kau!  Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil?!  Sungguh engkau telah mengalami keburukan dan kerugian, jika aku saja tidak bisa berbuat adil.’
Lalu Umar Radhiyallahu ‘Anhu pun menimpali, ‘Wahai Rasulullah izinkan aku memenggal batang lehernya!’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab (artinya),
‘Biarkan dia.  Sebab dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka.  Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai ketenggorokan mereka.  Mereka keluar dari Agama seperti melesatnya anak panah dari bidikannya (hewan buruan).  (Karena sangat cepatnya anak panah yang dilesatkan), maka ketika diteliti ujung panahnya tidak ditemukan suatu bekas apa pun.  Diteliti batang panahnya, namun tidak ditemukan suatu apa pun.  Ternyata anak panah itu sangat cepat menembus kotoran dan darah.  Ciri-ciri mereka adalah laki-laki berkulit hitam yang salah satu dari dua lengan atasnya seperti payudara perempuan atau bagian potongan daging yang bergerak-gerak.  Mereka akan muncul pada waktu terjadinya perpecahan’.”  (HR. Al-Bukhari no. 3610 dan Muslim no. 1064)
Orang-orang yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu adalah orang-orang yang kita kenal sekarang sebagai kelompok Khawarij.  Terhadap kelompok ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhitung keras dalam memperingatkan bahaya mereka.
Dalam kesempatan lain , bahkan, dengan sangat keras Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam menjuluki mereka sebagai,
“Seburuk-buruk manusia yang dibunuh dibawah kolong langit ini.  Dan sebaik-baik manusia yang dibunuh adalah orang yang dibunuh mereka.  Mereka itu adalah anjing-anjing penduduk Neraka.  Mereka itu dulunya Muslimin lalu mereka menjadi orang-orang kafir.”  (HR. At-Tirmidzi no. 3000, Ibnu Majah no. 176, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Dari beberapa hadits shahih tersebut, kita dapat melihat sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak berdiam diri dalam melihat sesuatu yang menyelisihi Agama, tetapi mencegahnya, termasuk dalam bentuk nasihat dan peringatan.

oOo

(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)

Minggu, 20 Mei 2018

WASIAT-WASIAT PARA SALAF



بسم الله الر حما ن الر حيم


Keyakinan Syaikh Bin Baz itu (pada tulisan sebelumnya, “IMAM-IMAM SALAFI SEKARANG”) berdasarkan apa-apa yang pernah diwasiatkan para Sahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in.  Mereka adalah para Salaf yang telah mewasiatkan dan menginginkan siapa pun untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, misalnya, pernah suatu ketika menyampaikan satu wasiat singkat kepada salah seorang muridnya, “Mengikutlah kalian (kepada Rasulullah),” pesan Abdullah bin Mas’ud, “Dan jangan mengada-adakan perkara baru dalam Agama karena kalian itu sebenarnya telah dicukupkan.”
Coba bandingkan dengan wasiatnya yang lain,
“Sesungguhnya kita ini hanya mencontoh dan bukan membuat perkara baru.  Kita ini hanya mengikuti Sunnah Rasulullah yang ada (Ittiba’) dan bukan mengada-adakan perkara baru dalam Agama (Ibtida’).  Kita ini tidak akan pernah sesat selama kita berpegang-teguh pada warisan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam (al atsar).”
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu ternyata juga pernah mewasiatkan,
“Sebenarnya, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Sungguh kalian nanti akan mengada-adakan perkara-perkara baru dalam Agama dan akan menimpa kalian pula perkara-perkara baru yang dimaksud.  Karena itu, setiap perkara-perkara baru dalam Agama itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu di dalam Neraka.”
Dalam kesempatan yang lain, Ia Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Sederhana di dalam Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”  Kata Bid’ah seperti ini dimaksudkan kepada segala perkara baru yang diada-adakan dalam Ibadah.
Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘Anhu seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya, pernah pula berpesan yang sama.  Menujukkan pesan itu kepada para Qurra’ yang mereka itu memiliki Pengetahuan terhadap Kitab Allah pada zaman itu, Hudzaifah mengatakan,
“Wahai para Qurra’, istiqamah-lah kalian karena kalian itu betul-betul telah didahului (oleh orang-orang sebelum kalian) sejauh-jauhnya.  Dan jika kalian berpaling ke kanan atau ke kiri, niscaya kalian akan sesat sesesat-sesatnya.”
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, salah seorang Sahabat Rasulullah yang pernah direkomendasikan Rasulullah dalam hal bacaan Al-Qur’annya, menyampaikan hal yang sama.  Dalam salah satu Khutbahnya ia berpesan,
“Wahai manusia hendaklah kalian berilmu sebelum diangkat Ilmu itu.  Ketahuilah, diangkatnya Ilmu itu terjadi dengan wafatnya orang-orang yang memiliki Ilmu.  Dan hati-hatilah kalian dari segala perkara baru dalam Ibadah (bid’ah), mengada-adakan perkara seperti itu, dan berlebih-lebihan dalam masalah Agama.  Semestinyalah kalian beramal dengan segala yang telah ditetapkan dahulu.”
Mengikuti Sunnah Rasulullah dan menjauhi bid’ah menjadi dua bagian pesan yang tak terpisahkan dalam pesan-pesan Sahabat Rasulullah itu.  Umar bin Al-Khaththab pun demikian.  Semasa hidupnya , Ia Radhiyallahu ‘Anhu pernah berpesan ke khalayak,
“Sesungguhnya, sebenar-benar perkataan adalah perkataan Allah.  Dan ketahuilah,  sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dalam Ibadah, sebab setiap perkara yang seperti itu  adalah kesesatan.  Dan ketahuilah pula, sesungguhnya manusia akan terus berada dalam kebaikan selama mereka mengambil Ilmu dari orang-orang yang dituakan di tengah-tengah mereka dan tidak mengambilnya dari orang-orang rendahan mereka.  Jika mereka mengambil Ilmu itu dari orang-orang rendahan tersebut nisacaya Ilmu itu akan hilang.”
Pesan Umar tersebut tidak jauh berbeda dengan salah satu pesan terkenal dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu “Anhu,
“Dan sederhana dalam Sabil (Jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Shirath Al-Mustaqim) dan Sunnah Rasulullah sebenarnya lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi Sabil dan Sunnah itu.  Maka, baik banyak maupun sedikit, hendaklah diperhatikan oleh kalian amal-amal kalian itu agar selalu mencocoki Sabil dan Sunnah para Nabi.”
Perhatikan redaksi terakhir pada pesan tersebut.  Itu, jika kita cermati, serupa dengan tafsiran Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu terhadap sejumlah ayat Al-Qur’an.  Sebagai misal adalah, ayat ke-48 surat Al-Maidah,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ 
“Kami telah jadikan untuk setiap kalian aturan dan metode (jalan yang terang).”  (Al-Maidah;  48)
Kata “Aturan dan Metode” dalam ayat itu ditafsirkannya sebagai Sabil dan Sunnah.
Misal yang lain adalah Tafsir ayat ke-106 surat Ali-Imran.  Ketika menafsirkan (artinya),
“Hari ketika ada wajah-wajah yang memutih dan wajah-wajah yang menghitam.  adapun mereka yang berwajah hitam ini (kepada mereka dikatakan), ‘Mengapa kalian kafir kembali setelah beriman?  Maka, rasakanlah azab ini karena kekafiran kalian itu.”  (Ali-Imran;  106)
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu memaksudkan “wajah-wajah yang memutih” sebagai pengikut Sunnah Rasulullah dan Jama’ah para Sahabat Rasulullah serta orang-orang yang berilmu tentang mereka (Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah wa Ulul ‘Ilmi), sedangkan wajah-wajah yang menghitam sebagai pengikut Bid’ah dan kesesatan (Ahl Al-Bid’ah wa Adh-Dhalalah)
Karena tafsirannya seperti itu, Abdullah bin Abbas akhirnya pernah berpesan ke seseorang, “Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Istiqamah.  Mengikutlah (pada Sunnah Rasulullah) dan jangan kau ada-adakan perkara baru dalam Agama (Bid’ah).”
Perhatikan tafsiran salah seorang murid Beliau, Said bin Jubair, ketika menafsirkan ayat (artinya),
“Dan sesungguhnya Aku ini betul-betul Mahapengampun bagi siapa saja yang bertaubat dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk.”  (Thaha;  82)
Kata Said bin Jubair, siapa saja yang bertaubat dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk, adalah siapa saja yang mengikuti Sunnah dan Jama’ah.
Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Tabi’in terkenal sekaligus seorang Khalifah Bani Umayyah,  pernah suatu ketika ia menulis surat kepada sejumlah pegawainya sebagai petunjuk penting buat mereka dalam menjalankan pemerintahan.
“Kuwasiatkan kepadamu,” tulisnya,
“Untuk bertakwa kepada Allah, sederhana dalam menjalankan perintah-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan meninggalkan segala yang diada-adakan oleh para Pembuat Perkara Baru (Ahlul Bid’ah) dalam Ibadah setelah tetap Sunnah Rasulullah itu.  Teruslah berpegang dengan Sunnah itu.  Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah diada-adakan suatu perkara baru dalam Agama oleh seseorang, kecuali telah ada sebelum itu hujatan dan kecaman terhadap perkara itu serta Ibrah tentangnya.  Maka, hendaklah engkau pegang Sunnah Rasulullah itu, sebab sesungguhnya ada penjagaan dari Allah - seizin-Nya - untukmu nanti.”
Wasiat seperti wasiat Umar bin Abdul Aziz sudah menjadi jamaknya  pesan di tengah generasai pertama Tabi’in waktu itu.  Sebagai bukti langsung, Tabi’in-tabi’in lain dari generasi setelah mereka mempersaksikannya.
Dalam salah satu pesan Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, misalnya, disebutkan,
“Ulama kami terdahulu selalu mengingatkan, bahwa berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah itu adalah keselamatan.”  Az-Zuhri yang dimaksud adalah seorang Tabi’in yang semasa dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.  Karena itu, yang dimaksud frasa Ulama kami terdahulu tidak lain adalah para Tabi’in yang lebih senior darinya atau bahkan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pesan lain yang sempat terekam dari generasi Tabi’in adalah sebuah pesan dari Muhammad bin sirin.  Dikenal sebagai salah seorang pemuka Thabaqah Al-Wustha, Muhammad bin Sirin pernah berpesan,
“Seseorang yang mengada-adakan suatu perkara dalam Ibadah tidak akan kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pesan serupa diulang di kemudian hari oleh seorang Tabi’in dari Thabaqah Ash-Shugra yang terkenal, Ayyub As-Sakhtiyani.  Ia mengatakan,
“Tidaklah seorang pelaku Bid’ah itu bersungguh-sungguh dalam kebid’ahannya, melainkan akan semakin jauh pula dirinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Salah seorang sahabat sekaligus muridnya Az-Zuhri adalah Abdullah bin Amr Al-Auza’i, salah seorang pemuka Thabaqah Kibar Tabi’ut Tabi’in.  Seperti gurunya dan para Tabi’in yang lain, Al-Auza’i berpesan,
“Sabarkan dirimu di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Berhentilah kau di atas apa-apa yang para Salaf berhenti.  Katakanlah olehmu apa-apa yang pernah mereka katakan.  Dan tahanlah olehmu pula apa-apa yang mereka tahan.  Titilah jalan mereka, sebab sesungguhnya tidak diberikan kebebasan untukmu kecuali pada apa-apa yang diberikan kepada mereka.”
Al-Auza’i menunjuk Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  dan apa-apa yang para Salaf berada di atasnya sebagai satu-satunya yang dipegang dalam beragama.
Suatu hari Al-Auza’i pernah mengatakan pada orang-orang di masanya,
“Kami berjalan kemana pun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan.”  Lagi-lagi Al-Auza’i memberi isyarat lembut dalam sebuah ujaran, bahwa berpegang dengan Sunnah Rasulullah itu adalah sebuah keniscayaan, kapan pun dan dimana pun.
Pesan Al-Auza’i yang lain tetapi justru paling sering dikutip oleh para pengikut Salaf di kemudian hari adalah,
“Berpeganglah dengan warisan para Salaf Ash-Shalih meskipun semua manusia menolakmu dan jauhilah pandangan orang-orang (selain para Salaf itu) meskipun mereka menghiasi untukmu perkataan-perkataan tersebut.”
Pemuka Tabi’ut Tabi’in lain yang semasa dengan Al-Auza’i adalah Sufyan bin Said Ats-Tsauri rahimahullah.  Dalam salah satu kesempatan Ia pernah mengatakan,
“Adalah para Ahli Fikih yang pernah mengatakan, ‘Tidak akan lurus suatu perkataan kecuali dibuktikan dengan perbuatan.  Tidaklah lurus pula suatu perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat.  Dan tidaklah lurus perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali jika mencocoki Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.’”
Pesan Ats-Tsauri ini mengulang apa  yang pernah dipesankan oleh Hasan Al-Basri, salah seorang pemuka Tabi’in dari Thabaqah Al-Wustha, beberapa waktu sebelumnya.  Pesan yang dimaksud adalah,
“Tidak akan baik perkataan itu kecuali dengan perbuatan.  Tidak akan baik pula perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat.  Dan tidak akan baik perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)