بسم الله الر حمان الر حيم
Terkait dengan Penguasa dan Pemerintah suatu negeri, para Salaf
memiliki sikap tersendiri dalam menasihati.
Mereka akan mengacu pada sebuah hadits shahih dari Sahabat Rasulullah
yang bernama Iyadh bin Ghanm Radiyallahu ‘Anhu (artinya),
“Siapa saja yang ingin menasihati Penguasa, maka jangan
sampaikan nasihat itu secara terang-terangan.
Akan tetapi hendaklah ia “ambil tangan” Penguasa itu dan menyendiri (menasihatinya). Jika nasihat diterima, itulah. Jika tidak, maka yang menasihati itu telah
menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Selain itu Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu
pernah menyampaikan kepada Tabi’in, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah bersabda (artinya),
“Sebaik-baik Jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar
di sisi Penguasa yang lalim.” (HR.
Abu daud, At-Tirmidzi dan An-Nasai, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Keterangan di sisi menunjukkan sebuah
penekanan, bahwa nasihat tersebut disampaikan langsung, sebagaimana isi hadits
Iyadh bin Ghanm. Bukan dengan
terang-terangan di depan khalayak.
Kesimpulan seperti itu dipertegas juga oleh sikap yang
pernah diajarkan Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu. Bermula dari pertanyaan seorang yang
bertanya, “Tidakkah anda masuk dan mendatangi Utsman (bin Affan, pen.) dan menasihatinya?”, maka
Usamah bin Zaid lekas menjawab, “Apakah kalian kira aku ini tidak menasihatinya
kecuali harus didengarkan pula kepada kalian?!
Demi Allah, aku sudah berbicara dengannya, hanya antara aku dan
dia. Tanpa perlu kusebarkan perkaranya,
sedangkan aku tak suka jika akulah yang pertama kali menyebarkannya.”
Demikian pula Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika suatu hari ditanya tentang bentuk Amar
ma’ruf Nahi munkar kepada Penguasa dan Pemerintah, ia menjawab, “Jika
engkau hendak menasihatinya, maka cukuplah antara engkau dan dia saja.”
Sebenarnya, ada banyak perintah untuk menaati sebagaimana
ada banyak pula larangan untuk menentang Penguasa yang mereka dapati dalam
Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semua dalil-dalil yang ada itu menjadi
acuan mereka dalam menyikapi Penguasa.
Yang paling utama para Salaf menunjuk ayat berikut
sebagai dalil dari Al-Qur’an tentang sikap mereka itu,
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kalian.”
(An-Nisa’; 59)
Tentang ayat ini, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu
mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan perkara Abdullah bin Hadzafah bin
Qais As-Sahmi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya
dalam sebuah ekspedisi untuk perang.”
Perihal perkara tersebut dapat kita ketahui lewat salah satu
hadits shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. “Sesungguhnya,” cerita Ali bin Abu Thalib,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim satu pasukan
dan mengangkat seorang laki-laki menjadi komandannya. Kemudian ia menyalakan api (Unggun) seraya
berkata, “Masuklah kalian kedalam api tersebut.”
Maka sebagian anak buahnya hendak masuk ke dalam api tersebut. Sebagian anak buahnya yang lain mengatakan, “Kita
harus menjauhi api itu.”
Peristiwa itu pun dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Kemudian Beliau
bersabda kepada orang-orang yang hendak melompat ke dalam api tersebut (artinya),
“Sekiranya kalian masuk ke dalam api itu, maka kalian akan
senantiasa di dalamnya hingga Hari Kiamat.”
Kemudian Beliau berkata pula kepada yang lain dengan
lemah-lembut,
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang
baik.” (HR. Al-Bukhari no. 4340; Muslim no.
1840)
Selain hadits tersebut, masih terdapat sejumlah hadits lain yang
shahih dan menjadi sikap para Salaf.
Di antara sejumlah itu, misalnya, adalah hadits shahih yang
disampaikan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu (artinya),
“Siapa yang mentaatiku, sungguh, dia telah mentaati
Allah. Dan siapa yang bermaksiat
kepadaku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja mentaati seorang Pemimpin, sungguh
ia telah mentaatiku. Dan siapa saja
bermaksiat kepada seorang Pemimpin , maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari no. 7137; Muslim; no. 1835)
Hadits yang juga pernah menjadi landasan sikap mereka itu
adalah hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu,
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, “Dari Usaid
bin Khudair Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa seorang laki-laki Anshar menemui
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata, “Tidakkah anda
mengangkatku menjadi pegawai sebagaimana anda mengangkat fulan (menjadi
pegawai)?”
Beliau bersabda (artinya),
“Sesungguhnya sepeninggalku kelak, kalian akan menjumpai (Penguasa)
yang mementingkan diri sendiri. Maka, bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga nanti.” (HR. Al-Bukhari no. 3792; Muslim no.1845)
Juga dua hadits berikut termasuk landasan sikap para Salaf,
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Sungguh, sepeninggalku nanti akan ada para Penguasa yang
mementingkan diri sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak kalian
sukai.”
Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang
anda perintahkan kepada kami ketika mengalami peristiwa seperti itu?”
Beliau menjawab,
Tunaikan kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada
Allah.” (HR. Muslim no. 1843)
Selain perintah (untuk taat), para Salaf mendapati ancaman
keras dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi siapa saja yang
memberontak kepada Penguasa kaum Muslimin.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘Anhu, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda (artinya),
“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka
ia akan menemui Allah di Hari Kiamat nanti dalam keadaan tidak memiliki
dalih. Dan siapa saja yang mati dalam
keadaan tidak berbai’at, maka ia mati seperti mati jahiliyyah.” (HR.
Muslim 1851)
Hadits yang mirip dengan itu adalah satu hadits shahih yang
disampaikan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu kepada Abu Raja’.
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Siapa saja yang tidak menyukai sesuatu dari Pemimpinnya,
hendaklah bersabar. Sebab sesungguhnya
tidak ada seorang manusia pun yang keluar dari ketaatan kepada Penguasa, walau sejengkal
kemudian mati, kecuali matinya itu mati Jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari no. 7053 dan Muslim no.
1849)
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam pernah bersabda,” (artinya)
‘Tidak halal darah seorang Muslim, yang bersaksi bahwa
tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya aku ini
Rasulullah, kecuali satu dari tiga orang; yang sudah menikah tapi berzina,
orang yang membunuh jiwa lain, dan orang yang meninggalkan Agamanya menyelisihi
jama'ah kaum Muslimin.’” (HR. Muslim no.
1676)
Termasuk pula beberapa hadits shahih berikut ini,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu, “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
‘Hendaklah kalian itu bersama jamaah (Kaum Muslimin) dan
hati-hatilah dari perpecahan. Sebab,
siapa saja yang menginginkan rerumpunan Surga, hendaklah ia bersama jama'ah.’” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani)
Dari Fadhalah bin Ubaid, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
Tiga jenis manusia yang tidak akan ditanya nanti (di Hari
Kiamat); (Salah satunya) seorang yang memisahkan diri dari kesatuan Kaum
Muslimin dan menentang Penguasanya – ia mati dalam keadaan bermaksiat.’” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)
Di mata para Salaf, memberontak kepada Penguasa baru
dibolehkan ketika terpenuhi beberapa syarat, sebagaimana disinggung dalam
hadits shahih yang disampaikan Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘Anhu.
Ubadah bin Shamit berkata (artinya),
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
memanggil kami, lantas kami membaiatnya.
Dan diantara yang kami janjikan adalah berbaiat untuk selalu taat dan
mendengar baik dalam keadaan lapang atau terpaksa, mementingkan kepentingannya
daripada kepentingan diri sendiri, dan tidak memberontak kepada Pemerintahan
yang Berwenang.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
(artinya),
“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, dan
kalian memiliki Hujjah di sisi Allah.”
(HR. Al-Bukhari no. 7055; Muslim no. 1709)
Karena itu, memberontak kepada Penguasa diperbolehkan selama;
(1) Penguasa itu kafir dengan kekafiran
yang sejelas-jelasnya, (2) Kaum Muslimin memiliki pengetahuan pasti tentang
kekafiran Penguasa itu, (3) Jelas manfaat dalam usaha memberontak itu, dan (4)
Kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk menyingkirkan Penguasa yang kafir itu. Pengetahuan pasti itu diperoleh dari Para ‘Ulama
yang memiliki kadar ke-Ilmuan yang mumpuni, sehingga Vonis Kafir itu Tidak
Datang dari Sembarang Orang.
Selain hal-hal itu, mesti diperhatikan juga, kemanfaatan
yang diperoleh dari memberontak itu dapat dipastikan, bukan sekedar hal yang
samar-samar (dugaan-dugaan). Ada pun tentang kemampuan,
kaum Muslimin harus mempunyai kemampuan untuk menyingkirkan Penguasa itu. Hanya bermodal semangat, usaha itu tidak
memenuhi syarat yang diterangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Meskipun demikian, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin menasihatkan kepada Kaum Muslimin untuk tidak tergesa-gesa
mengorganisasi pemberontakan seperti itu.
Sebaliknya , Syaikh justru menasihatkan Kaum Muslimin agar mereka Mendakwahi atau Menyampaikan Dakwah yang bijak kepada Penguasa tersebut.
oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”,
Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 1433 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar