Rabu, 16 Mei 2018

PARA SALAF MENYIKAPI PENGUASA



بسم الله الر حمان الر حيم


Terkait dengan Penguasa dan Pemerintah suatu negeri, para Salaf memiliki sikap tersendiri dalam menasihati.  Mereka akan mengacu pada sebuah hadits shahih dari Sahabat Rasulullah yang bernama Iyadh bin Ghanm Radiyallahu ‘Anhu (artinya),
“Siapa saja yang ingin menasihati Penguasa, maka jangan sampaikan nasihat itu secara terang-terangan.  Akan tetapi hendaklah ia “ambil tangan” Penguasa itu dan menyendiri (menasihatinya).  Jika nasihat diterima, itulah.  Jika tidak, maka yang menasihati itu telah menunaikan kewajibannya.”  (HR.  Ahmad dan Ibnu Abi Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Selain itu Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu pernah menyampaikan kepada Tabi’in, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
“Sebaik-baik Jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di sisi Penguasa yang lalim.”  (HR. Abu daud, At-Tirmidzi dan An-Nasai, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Keterangan di sisi menunjukkan sebuah penekanan, bahwa nasihat tersebut disampaikan langsung, sebagaimana isi hadits Iyadh bin Ghanm.  Bukan dengan terang-terangan di depan khalayak.
Kesimpulan seperti itu dipertegas juga oleh sikap yang pernah diajarkan Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu.  Bermula dari pertanyaan seorang yang bertanya, “Tidakkah anda masuk dan mendatangi Utsman (bin Affan, pen.) dan menasihatinya?”, maka Usamah bin Zaid lekas menjawab, “Apakah kalian kira aku ini tidak menasihatinya kecuali harus didengarkan pula kepada kalian?!  Demi Allah, aku sudah berbicara dengannya, hanya antara aku dan dia.  Tanpa perlu kusebarkan perkaranya, sedangkan aku tak suka jika akulah yang pertama kali menyebarkannya.”
Demikian pula Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu.  Ketika suatu hari ditanya tentang bentuk Amar ma’ruf Nahi munkar kepada Penguasa dan Pemerintah, ia menjawab, “Jika engkau hendak menasihatinya, maka cukuplah antara engkau dan dia saja.”
Sebenarnya, ada banyak perintah untuk menaati sebagaimana ada banyak pula larangan untuk menentang Penguasa yang mereka dapati dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Semua dalil-dalil yang ada itu menjadi acuan mereka dalam menyikapi Penguasa.
Yang paling utama para Salaf menunjuk ayat berikut sebagai dalil dari Al-Qur’an tentang sikap mereka itu,
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kalian.”  (An-Nisa’;  59)
Tentang ayat ini, Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan perkara Abdullah bin Hadzafah bin Qais As-Sahmi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya dalam sebuah ekspedisi untuk perang.”
Perihal perkara tersebut dapat kita ketahui lewat salah satu hadits shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu.  “Sesungguhnya,” cerita Ali bin Abu Thalib, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki menjadi komandannya.  Kemudian ia menyalakan api (Unggun) seraya berkata, “Masuklah kalian kedalam api tersebut.”
Maka sebagian anak buahnya hendak masuk ke dalam api tersebut.  Sebagian anak buahnya yang lain mengatakan, “Kita harus menjauhi api itu.”
Peristiwa itu pun dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Kemudian Beliau bersabda kepada orang-orang yang hendak melompat ke dalam api tersebut (artinya),
“Sekiranya kalian masuk ke dalam api itu, maka kalian akan senantiasa di dalamnya hingga Hari Kiamat.”
Kemudian Beliau berkata pula kepada yang lain dengan lemah-lembut,
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah.  Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang baik.”  (HR. Al-Bukhari no. 4340; Muslim no. 1840)
Selain hadits tersebut, masih terdapat sejumlah hadits lain yang shahih dan menjadi sikap para Salaf.  Di antara sejumlah itu, misalnya, adalah hadits shahih yang disampaikan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu  (artinya),
“Siapa yang mentaatiku, sungguh, dia telah mentaati Allah.  Dan siapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia telah bermaksiat kepada Allah.  Siapa saja mentaati seorang Pemimpin, sungguh ia telah mentaatiku.  Dan siapa saja bermaksiat kepada seorang Pemimpin , maka dia telah bermaksiat kepadaku.”  (HR. Al-Bukhari no. 7137; Muslim; no. 1835)
Hadits yang juga pernah menjadi landasan sikap mereka itu adalah hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu,
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, “Dari Usaid bin Khudair Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa seorang laki-laki Anshar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata, “Tidakkah anda mengangkatku menjadi pegawai sebagaimana anda mengangkat fulan (menjadi pegawai)?”
Beliau bersabda (artinya),
“Sesungguhnya sepeninggalku kelak, kalian akan menjumpai (Penguasa) yang mementingkan diri sendiri.  Maka, bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga nanti.”  (HR. Al-Bukhari no. 3792;  Muslim  no.1845)
Juga dua hadits berikut termasuk landasan sikap para Salaf,
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Sungguh, sepeninggalku nanti akan ada para Penguasa yang mementingkan diri sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak kalian sukai.”
Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika mengalami peristiwa seperti itu?”
Beliau menjawab,
Tunaikan kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.”  (HR.  Muslim no. 1843)
Selain perintah (untuk taat), para Salaf mendapati ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi siapa saja yang memberontak kepada Penguasa kaum Muslimin.
Dari Ibnu Umar  Radhiyallahu ‘Anhu, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah di Hari Kiamat nanti dalam keadaan tidak memiliki dalih.  Dan siapa saja yang mati dalam keadaan tidak berbai’at, maka ia mati seperti mati jahiliyyah.”  (HR.  Muslim 1851)
Hadits yang mirip dengan itu adalah satu hadits shahih yang disampaikan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu kepada Abu Raja’.
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (artinya),
“Siapa saja yang tidak menyukai sesuatu dari Pemimpinnya, hendaklah bersabar.  Sebab sesungguhnya tidak ada seorang manusia pun yang keluar dari ketaatan kepada Penguasa, walau sejengkal kemudian mati, kecuali matinya itu mati Jahiliyah.”  (HR. Al-Bukhari no. 7053 dan Muslim no. 1849)
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam pernah bersabda,” (artinya)
‘Tidak halal darah seorang Muslim, yang bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya aku ini Rasulullah, kecuali satu dari tiga orang; yang sudah menikah tapi berzina, orang yang membunuh jiwa lain, dan orang yang meninggalkan Agamanya menyelisihi jama'ah kaum Muslimin.’”  (HR. Muslim no. 1676)
Termasuk pula beberapa hadits shahih berikut ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
‘Hendaklah kalian itu bersama jamaah (Kaum Muslimin) dan hati-hatilah dari perpecahan.  Sebab, siapa saja yang menginginkan rerumpunan Surga, hendaklah ia bersama jama'ah.’”  (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Dari Fadhalah bin Ubaid, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
Tiga jenis manusia yang tidak akan ditanya nanti (di Hari Kiamat); (Salah satunya) seorang yang memisahkan diri dari kesatuan Kaum Muslimin dan menentang Penguasanya – ia mati dalam keadaan bermaksiat.’”  (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Di mata para Salaf, memberontak kepada Penguasa baru dibolehkan ketika terpenuhi beberapa syarat, sebagaimana disinggung dalam hadits shahih yang disampaikan Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘Anhu. 
Ubadah bin Shamit berkata (artinya),
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memanggil kami, lantas kami membaiatnya.  Dan diantara yang kami janjikan adalah berbaiat untuk selalu taat dan mendengar baik dalam keadaan lapang atau terpaksa, mementingkan kepentingannya daripada kepentingan diri sendiri, dan tidak memberontak kepada Pemerintahan yang Berwenang.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (artinya),
“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, dan kalian memiliki Hujjah di sisi Allah.”  (HR. Al-Bukhari no. 7055; Muslim no. 1709)
Karena itu, memberontak kepada Penguasa diperbolehkan selama; (1) Penguasa itu kafir dengan  kekafiran yang sejelas-jelasnya, (2) Kaum Muslimin memiliki pengetahuan pasti tentang kekafiran Penguasa itu, (3) Jelas manfaat dalam usaha memberontak itu, dan (4) Kaum Muslimin memiliki kemampuan untuk menyingkirkan Penguasa yang kafir itu.  Pengetahuan pasti itu diperoleh dari Para ‘Ulama yang memiliki kadar ke-Ilmuan yang mumpuni, sehingga Vonis Kafir itu Tidak Datang dari Sembarang Orang.
Selain hal-hal itu, mesti diperhatikan juga, kemanfaatan yang diperoleh dari memberontak itu dapat dipastikan, bukan sekedar hal yang samar-samar (dugaan-dugaan).  Ada pun tentang kemampuan, kaum Muslimin harus mempunyai kemampuan untuk menyingkirkan Penguasa itu.  Hanya bermodal semangat, usaha itu tidak memenuhi syarat yang diterangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Meskipun demikian, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menasihatkan kepada Kaum Muslimin untuk tidak tergesa-gesa mengorganisasi pemberontakan seperti itu.  Sebaliknya , Syaikh justru menasihatkan Kaum Muslimin agar mereka Mendakwahi atau Menyampaikan Dakwah yang bijak kepada Penguasa tersebut.

oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 1433 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar