بسم
الله الر حما ن الر حيم
Yang dimaksud dengan Sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah setiap orang yang bertemu Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam semasa Beliau hidup kemudian mengimani apa-apa yang Beliau
bawa dan meninggal dunia dalam keadaan beriman seperti itu. Karenanya bukan sekedar melihat, sebab dengan
kata bertemu akan masuk pula setiap orang buta yang ada waktu itu
seperti Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘Anhu, salah seorang Mu’azzin
Masjid Nabi.
Dengan pengertian tersebut, akan teranggap sebagai seorang Sahabat
Rasulullah setiap orang yang masih berusia kanak-kanak waktu itu. Mereka biasanya diistilahkan dengan Sahabat-Sahabat Kecil
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Abdullah bin Zubair Radhiyallahu
‘Anhu yang berumur 11 Tahun, atau Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu
yang berumur 13 Tahun, atau bahkan Mahmud bin Labid Radhiyallahu ‘Anhu yang berumur 5 Tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
wafat.
Juga dengan pengertian tersebut akan tidak dikatakan sebagai
Sahabat Rasulullah siapa saja yang waktu itu bertemu dengan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan kemudian beriman tetapi akhirnya meninggal dalam
keadaan kafir atau murtad. Bahkan tetap
tidak bisa dikatakan sebagai Sahabat Rasulullah yang murtad atau kafir
kembali.
Contoh yang seperti itu adalah Ubaidullah bin Yahsyin yang
semula beriman kemudian ikut berhijrah ke negeri Abessynia (Habasyah) tetapi
akhirnya kembali memeluk Kristen di sana.
Sampai meninggal dunianya, Ubaidullah bin Yahsyin tetap dalam keadaan
seperti itu. Jandanya Ummu Habibah Radihiyallahu
‘Anha, kemudian menjadi salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sampai meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pada tahun 11 H.
Sebaliknya, siapa saja yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan beriman kemudian murtad tetapi akhirnya masuk Islam
kembali dan memegangnya sampai meninggal dunia, maka ia tetap dikatakan sebagai
Sahabat Rasulullah. Inilah yang harus
menjadi catatan khusus buat kita.
Seperti Al-Asyats bin Qais Al-Kindi Radhiyallahu ‘Anhu,
yang masuk Islam ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hidup
dan sempat murtad pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Asyats bin Qais Radhiyallahu ‘Anhu
akhirnya masuk Islam kembali dihadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu
dan hidup sebagai muslim yang baik setelah itu.
Ia tetap terkatakan sebagai seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam.
Hampir serupa dengan definisi Sahabat Rasulullah, sebutan Tabi’in
disematkan kepada siapa saja yang pernah bertemu dengan salah seorang
Sahabat Rasulullah kemudian mempelajari Islam dari Sahabat tersebut dan meninggal
dunia dalam keadaan berIslam sebagaimana Islam yang didakwahkan para Sahabat
Rasulullah.
Karena itulah, misalnya, tidak dikatakan sebagai seorang Tabi’in
jika seseorang itu menjalani Islam seperti yang diajarkan oleh Ma’bad Al-juhani. Orang terakhir ini adalah seorang penduduk
Bashrah yang menolak keberadaan takdir Allah.
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu yang masih hidup waktu
itu mencela Ma’bad Al-Juhani, menjelaskan kesesatan keyakinan itu dan
berlepas diri darinya.
Akan tetapi, berbeda dengan generasi Sahabat Rasulullah,
para Tabi’in dikelompokkan menjadi beberapa jenjang generasi. Dalam “Taqrib At-Tahdzib”, sebagai
contoh, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah membagi generasi Tabi’in
yang meriwayatkan hadits-hadits menjadi, (1) Thabaqah Kibar At-Tabi’in, (2) Thabaqah Al-Wustha, (3) Thabaqah Tali Al-Wustha, dan ditambah (4) Thabaqah Ash-Shugra.
Masing-masing Thabaqah Tabi’in memiliki sejumlah
tokoh yang diakui kaum muslimin sampai sekarang. Dari kalangan Thabaqah Kibar At-Tabi’in; Sa’id bin Musayyib adalah salah seorang tokoh
terkemuka yang paling dikenal . Dari Thabaqah
Al-Wustha, ada Hasan Bashri dan Muhammad bin Sirin sebagai pemuka
thabaqah. Dari Thabaqah Tali Al-Wustha,
muncul sebagai pemuka mereka Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri dan
Qatadah bin Di’amah As-Sadusi. Dari Thabaqah
Shugra, dikenal Al-A’masy, seorang Tabi’in Periwayat hadits yang
nyentrik.
Karena Islam itu diwariskan secara berantai dari zaman
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lewat proses bertemu dan
belajar langsung, maka dari generasi Tabi’in itu kemudian muncul kembali
orang-orang yang mendakwahkan dan mengajarkan Islam ke tengah-tengah masyarakat
mereka waktu itu. Orang-orang yang
mempelajari Islam dari para Tabi’in itu kemudian memegangnya sampai
meninggal dunia dikenal sebagai Atba’ At-Tabi’in atau jamak
diistilahkan sebagai Tabi’ut-Tabi’in.
Seperti para Tabi’in, generasi Tabi’ut-Tabi’in
pun terdiri dari beberapa jenjang generasi.
Ibnu Hajar membaginya menjadi; (1) Thabaqah Kibar Atba’ Tabi’in, (2) Thabaqah Al-Wustha, dan (3) Thabaqah
Ash-Shugra. Masing-masing Thabaqah
ini memiliki tokoh-tokoh pemuka mereka.
oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”,
Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar