Sabtu, 19 Mei 2018

SAHABAT, TABI'IN, TABI'UT-TABI'IN



بسم الله الر حما ن الر حيم


Yang dimaksud dengan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah setiap orang yang bertemu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam semasa Beliau hidup kemudian mengimani apa-apa yang Beliau bawa dan meninggal dunia dalam keadaan beriman seperti itu.  Karenanya bukan sekedar melihat, sebab dengan kata bertemu akan masuk pula setiap orang buta yang ada waktu itu seperti Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu ‘Anhu, salah seorang Mu’azzin Masjid Nabi.
Dengan pengertian tersebut, akan teranggap sebagai seorang Sahabat Rasulullah setiap orang yang masih berusia kanak-kanak waktu itu.  Mereka biasanya  diistilahkan dengan Sahabat-Sahabat Kecil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhu yang berumur 11 Tahun, atau Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang berumur 13 Tahun, atau bahkan Mahmud bin Labid Radhiyallahu ‘Anhu yang berumur 5 Tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat.
Juga dengan pengertian tersebut akan tidak dikatakan sebagai Sahabat Rasulullah siapa saja yang waktu itu bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kemudian beriman tetapi akhirnya meninggal dalam keadaan kafir atau murtad.  Bahkan tetap tidak bisa dikatakan sebagai Sahabat Rasulullah yang murtad atau kafir kembali.
Contoh yang seperti itu adalah Ubaidullah bin Yahsyin yang semula beriman kemudian ikut berhijrah ke negeri Abessynia (Habasyah) tetapi akhirnya kembali memeluk Kristen di sana.  Sampai meninggal dunianya, Ubaidullah bin Yahsyin tetap dalam keadaan seperti itu.  Jandanya Ummu Habibah Radihiyallahu ‘Anha, kemudian menjadi salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun 11 H.
Sebaliknya, siapa saja yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beriman kemudian murtad tetapi akhirnya masuk Islam kembali dan memegangnya sampai meninggal dunia, maka ia tetap dikatakan sebagai Sahabat Rasulullah.  Inilah yang harus menjadi catatan khusus buat kita.
Seperti Al-Asyats bin Qais Al-Kindi Radhiyallahu ‘Anhu, yang masuk Islam ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hidup dan sempat murtad pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.  Al-Asyats bin Qais Radhiyallahu ‘Anhu akhirnya masuk Islam kembali dihadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu dan hidup sebagai muslim yang baik setelah itu.  Ia tetap terkatakan sebagai seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hampir serupa dengan definisi Sahabat Rasulullah, sebutan Tabi’in disematkan kepada siapa saja yang pernah bertemu dengan salah seorang Sahabat Rasulullah kemudian mempelajari Islam dari Sahabat tersebut dan meninggal dunia dalam keadaan berIslam sebagaimana Islam yang didakwahkan para Sahabat Rasulullah.
Karena itulah, misalnya, tidak dikatakan sebagai seorang Tabi’in jika seseorang itu menjalani Islam seperti yang diajarkan oleh Ma’bad Al-juhani.  Orang terakhir ini adalah seorang penduduk Bashrah yang menolak keberadaan takdir Allah.  Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu yang masih hidup waktu itu mencela Ma’bad Al-Juhani, menjelaskan kesesatan keyakinan itu dan berlepas diri darinya.
Akan tetapi, berbeda dengan generasi Sahabat Rasulullah, para Tabi’in dikelompokkan menjadi beberapa jenjang generasi.  Dalam “Taqrib At-Tahdzib”, sebagai contoh, Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah membagi generasi Tabi’in yang meriwayatkan hadits-hadits menjadi,  (1) Thabaqah Kibar At-Tabi’in, (2)  Thabaqah Al-Wustha, (3)  Thabaqah Tali  Al-Wustha, dan ditambah (4)  Thabaqah Ash-Shugra.
Masing-masing Thabaqah Tabi’in memiliki sejumlah tokoh yang diakui kaum muslimin sampai sekarang.  Dari kalangan Thabaqah Kibar At-Tabi’in;  Sa’id bin Musayyib adalah salah seorang tokoh terkemuka yang paling dikenal .  Dari Thabaqah Al-Wustha, ada Hasan Bashri dan Muhammad bin Sirin sebagai pemuka thabaqah.  Dari Thabaqah Tali Al-Wustha, muncul sebagai pemuka mereka Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.  Dari Thabaqah Shugra, dikenal Al-A’masy, seorang Tabi’in Periwayat hadits yang nyentrik.
Karena Islam itu diwariskan secara berantai dari zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lewat proses bertemu dan belajar langsung, maka dari generasi Tabi’in itu kemudian muncul kembali orang-orang yang mendakwahkan dan mengajarkan Islam ke tengah-tengah masyarakat mereka waktu itu.  Orang-orang yang mempelajari Islam dari para Tabi’in itu kemudian memegangnya sampai meninggal dunia dikenal sebagai Atba’ At-Tabi’in atau jamak diistilahkan sebagai Tabi’ut-Tabi’in.
Seperti para Tabi’in, generasi Tabi’ut-Tabi’in pun terdiri dari beberapa jenjang generasi.  Ibnu Hajar membaginya menjadi; (1)  Thabaqah Kibar Atba’ Tabi’in, (2)  Thabaqah Al-Wustha, dan (3) Thabaqah Ash-Shugra.  Masing-masing Thabaqah ini memiliki tokoh-tokoh pemuka mereka.

oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar