بسم
الله الر حمان الر حيم
Umumnya para ‘Ulama Rabbani sangat
menekankan Perkara Tauhid dalam landasan dakwah mereka. Sebut saja beberapa nama seperti Asy-Syaikh
Bin Baz , Asy-Syaikh Utsaimin, Asy-Syaikh Al-Albani , Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi rahimahumullah, dan beberapa Masyaikh yang masih hidup hingga sa’at ini seperti Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahumullahu Ta’ala
dan sederet nama-nama besar lainnya.
Kenapa demikian?
Karena Perkara Tauhid merupakan perkara yang paling penting dan paling mendasar dalam Syari’at
Islam, yang akan menentukan benar (shahih) / tidaknya pemahaman Agama
seseorang.
Umumnya para ‘Ulama Rabbani tersebut sangat
mementingkan Perkara Tauhid dalam berdakwah.
Tauhid yang benar adalah Prioritas Utama yang mesti dipegang Para Da’i. Tanpa itu semua, seperti ditulis Syaikh
Al-Albani dalam “Tauhid Awwalan Ya Du’at Al-Islam”, berkah dakwah tidak
akan pernah tercapai, terutama pada masa-masa sekarang ini (tuntutannya semakin terasa dan mendesak).
Dalam menjalankan itu semua, Syaikh Al-Albani mendakwahkan Prinsip
Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Berdasarkan Pemahaman para Salaf. Menampik pemahaman Para Salaf, Al-Qur’an
dan As-Sunnah hanya jadi semacam alat untuk melegalkan penyimpangan-penyimpangan
dalam kehidupan beragama.
(Baca artikel, MANHAJ)
Terkait permasalahan ini, penulis blog mengutip perkataan Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid tentang Fanatisme dan Hizbiyyah, "Tidak ada yang paling memudharatkan Dakwah secara umum dari saling Ta'awun (kerja sama) Da'i secara khusus, kecuali Sifat Hizbiyyah (Fanatik Kelompok), Madzhabiyyah (Fanatik Madzhab) yang sempit. Bahkan yang demikian itu tidaklah mengotori 'Kesucian Ukhuwah - Iman' dan tidak pula melemahkan 'Persatuan Islam' yang lebih besar dampaknya (darinya), ketimbang pengaruh hizbiyyah yang terkutuk dan fanatik Ras / Kesukuan yang dibenci." (Dari majalah "Al-Buhuts Al-Islamiyyah" no.51, dari bulan Rabi' awal hingga Jumada' Ats-Tsaniyah, 1418 H. Dari Makalah yang berjudul "At-Ta'awun baina Ad-Du'ah", hal. 221).
Bagaimanapun,
seperti yang diingatkan Syaikh
Al-Albani dalam sejumlah ceramah Beliau, “Setiap penyimpangan yang muncul
dalam Sejarah Islam, selalu dimulai dari kesalahan dalam memahami kedua sumber
Islam itu (Al-Qur'an dan As-Sunnah).” Yang ujung-ujungnya (puncaknya) menganggap halal "menumpahkan" Darah Kaum Muslimin dan Pemeluk Agama lain tanpa Haq.
(Baca artikel, KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN PERTAMA, dan KELOMPOK-KELOMPOK SEMPALAN LANJUTAN)
Beliau menunjuk sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi
landasan kuat tentang itu (maknanya),
“Dan siapa saja yang menyelisihi Rasulullah setelah
jelas baginya petunjuk, serta mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,
maka akan kami palingkan ia kepada sesuatu yang ia berpaling kepadanya dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. An-Nisaa’; 115)
Dalam ayat itu, Syaikh Al-Albani mengajak kita untuk
memperhatikan jalan selain jalan orang-orang beriman. Lewat frasa ini, Allah Subhanahu
wa Ta’ala ingin menunjukkan, bahwa siapa saja yang menyelisihi Rasulullah
dan jalan orang-orang beriman waktu itu, yakni Para Sahabat Rasulullah radhiyallahu
‘anhuma, maka akan Allah Subhanahu wa Ta’ala palingkan dia ke arah yang dikehendakinya. Ayat ini, kata
Syaikh Al-Albani, adalah dalil paling jelas tentang kewajiban mengikuti
pemahaman para Sahabat Rasulullah dalam beragama.
Adapun dari hadits shahih, maka Syaikh Al-Albani menunjuk
salah satu hadits yang menjadi dasar paling kuat, akan kewajiban untuk
mengikuti pemahaman Para Salaf. Hadits
yang dimaksud adalah (artinya),
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi
yang mengikuti mereka setelah itu, kemudian generasi yang mengikuti mereka
setelah itu.” (HR. Al-Bukhari-Muslim)
(Baca juga artikel, SHIRATHAL MUSTAQIM DUNIA DAN AKHIRAT)
Terkait dengan hadits-hadits, Syaikh Al-Albani sangat
menekankan keshahihan hadits yang dipakai sebagai dalil – yang karena inilah
Syaikh Bin Baz meyakini Beliau sebagai Pembaru Islam (Mujaddid) pada Abad ini. Bahwa tidak semua hadits itu shahih adalah
fakta kuat yang selalu diulang-ulang Syaikh Al-Albani. Ada yang berderajat Dha’if dan ada
pula yang Palsu.
Karena itulah, beliau terpacu untuk meneliti hadits-hadits
dalam kitab-kitab para ‘ulama terdahulu dan mencari derajat masing-masing
hadits. Dari hadits-hadits yang telah
diteliti itu, seorang da’i dapat berdalil dalam berdakwah; Dalil-dalil yang shahih menunjang sebuah
dakwah yang shahih pula.
Dalam istilah yang sering dipakai Syaikh Al-Albani, usaha
seperti itu disebut Tashfiyah dan
Tarbiyah. Beliau menekankan
adanya Tashfiyah – sebuah upaya untuk memurnikan, membersihkan dan
menyeleksi yang dalam hal ini adalah dalil-dalil yang digunakan (shahih atau tidaknya) – untuk kemudian
baru melakukan Tarbiyah, mendidik dan mengajarkan atau dengan kata lain
mendakwahkan kepada umat.
Men-tarbiyah umat juga menjadi jalan yang ditempuh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Dengan
bahasa dan kata yang mudah dapat dipahami orang banyak, contoh-contoh yang
ringan untuk dicerna, Syaikh Utsaimin banyak didatangi dan dihubungi para penuntut Ilmu Agama dan orang-orang yang
meminta fatwa dari banyak Negara.
Syaikh As-Sa’di adalah guru Syaikh Utsaimin yang paling
terkemuka. Setelah itu adalah Syaikh Bin
Baz. Kepada Syaikh Bin Baz Beliau
banyak mengambil manfaat. Beliau pernah
membacakan kitab Shahih Al-Bukhari dan Risalah-risalah yang ditulis Ibnu
Taimiyah. Singkatnya, dari Syaikh Bin
Baz, Syaikh Utsaimin banyak mendapatkan pengetahuan tentang Ilmu Hadits dan
Fikih berbagai Mazhab.
Dalam berdakwah, Syaikh Utsaimin meninggalkan
segala bentuk dakwah-dakwah yang berbau politis. Dakwah yang Beliau serukan adalah Dahwah
Tauhid yang mengajak orang-orang untuk mengikuti Shirathal Mustaqim,
yaitu jalan orang-orang yang diberi Nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari kalangan para Nabi, para Shiddiq, orang-orang yang diakui
kesyahidannya oleh Allah dan Rasul-Nya, juga orang-orang shalih. (Makna yang terkandung dalam Surat An-Nisa’; 69)
Dalam berdakwah seperti itu Syaikh Utsaimin sangat
menekankan sikap pertengahan. Sikap
pertengahan itu tidak lain dari sikap yang pernah dipegang oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Khulafa Ar-Rasyidin, para khalifah pengganti
Rasulullah yang empat dan khalifah Umar bin Abdil ‘Azis. Mereka itulah para pemuka Salaf yang
menjadi acuan beliau.
Dakwah seperti itu juga dijalani oleh Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i. Dikenal sebagai salah seorang
murid Syaikh Bin Baz.
Syaikh Muqbil mengakui bahwa tidak ada kemuliaan dan
pertolongan bagi kaum muslimin, kecuali dengan kembali kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Akan tetapi, dalam memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah Beliau mengatakan dalam Risalahnya (maknanya),
“Dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, kami mendasarkan
diri pada pemahaman para Salaf umat ini dari kalangan ahl al-hadits,
tanpa bersikap taklid kepada salah seorang mereka. Akan tetapi, kami menerima kebenaran dari
siapa saja yang datang membawanya. Dan
kami mengetahui bahwa ada orang-orang yang mengaku sebagai Salafi, sedangkan
Salafi berlepas diri dari mereka.”
Terkait dengan Dakwah, Beliau menegaskan, “Dakwah dan
Aqidah kami lebih kami cintai dari diri-diri kami, harta-harta kami, anak-anak
kami. Maka, kami bukanlah orang-orang
yang sanggup untuk menjual dakwah dan aqidah kami dengan emas dan uang.”
Permasalahan ini menjadi utama ketika Beliau melihat banyak
dari murid-muridnya dan Da’i-da’i Yaman,
termasuk menantu Beliau sendiri, tergiur untuk menggadaikan dakwah mereka
dengan dinar dan dirham yang ditawarkan yayasan-yayasan milik Muhammad Surur
dan Abdurrahman Abdul Khaliq (Jami’ah Al-Ihya At-Turats).
“Sesungguhnya,” tulis Beliau dalam Risalahnya, “dakwah
kami adalah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, untuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula dengan Aqidah. Cukuplah Allah sebagai Pencukup kami dan
sebaik-baik Penolong. Tiada daya dan
upaya kecuali dengan pertolongan Allah.”
oOo
(Disadur dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”,
Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar