Jumat, 11 Mei 2018

Kisah Nabi IBRAHIM 'Alaihissalam (8)


Pujian Allah dan Rasul-Nya Terhadap Hamba & Kekasih-Nya, IBRAHIM

بسم الله الر حما ن الر حيم


Setelah Ibrahim ‘alaihissalam berhasil menyelesaikan seluruh tugas penting yang diperintahkan Allah Subahanu wa Ta’ala kepada Beliau, maka Allah Ta’ala menjadikan Beliau sebagai Imam bagi seluruh ummat Manusia, yang dapat dijadikan sebagai Panutan.  Kemudian Ibrahim memohon kepada Rabb-nya, agar IMAMAH yang dianugerahkan kepada Beliau tersebut juga diberikan kepada anak-keturunannya.  Maka permohonan Beliau itu pun dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.  Namun Dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala) mengecualikan, bahwa Imamah (Kepemimpinan dalam agama Islam) itu tidak akan diberikan kepada orang-orang yang zhalim.
Sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub.  Dan Kami jadikan Kenabian dan Al-Kitab kepada keturunannya, serta Kami berikan kepadanya balasan di dunia, dan sesungguhnya di akhirat ia (Ibrahim) benar-benar termasuk orang-orang yang shalih.”  (Al-Ankabut;  27)
Dan firman-Nya (artinya),
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami jadikan pada keturunan keduanya Kenabian dan Al-Kitab, maka diantara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak diantara mereka yang fasik.”  (Al-Hadid;  26)
Dengan demikian, setiap kitab yang diturunkan dari atas langit ke tujuh kepada seorang Nabi setelah Ibrahim ‘alaihissalam adalah termasuk dari keturunan Beliau.  Yang demikian itu merupakan tingkatan yang sangat tinggi yang tidak tertandingi.  Dimana melalui diri Beliau 'alaihissalam lahir dua orang anak laki-laki yang sangat Agung;  Isma’il dari isterinya Hajar, dan kemudian Ishaq dari Isterinya Sarah.  Kemudian dari Ishaq lahirlah Ya’qub, lalu darinya lahirlah berbagai generasi yang juga dianugerahkan Kenabian kepada salah seorang diantara mereka, hingga berakhir pada Isa Putera Maryam 'alaihissalam dari kalangan Bani Israil.
Sedangkan dari Isma’il lahir Bangsa Arab dengan berbagai Kabilahnya, sebagaimana yang akan kami kemukakan lebih lanjut, In-sya Allah.  Dan dari silsilah keturunan Isma’il, tidak ada seorang pun yang menjadi Nabi kecuali satu orang yang menjadi penutup seluruh para Nabi dan Rasul, yakni MUHAMMAD shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Yang karena Beliaulah anak cucu Adam ‘alaihissalam ini benar-benar bangga dan sangat bersyukur atas limpahan Karunia-Nya.  Ia adalah, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib bin Hasyim Al-Quraisyi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-hasil, Allah ‘Azza wa Jalla telah  memenuhi semua permohonan Ibrahim 'Alaihissalam.
Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhan-ku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang yang mati.’   Allah berfirman, ‘Belum yakinkah kamu?’  Ibrahim menjawab, ‘Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan Imanku).’
Lalu Dia (Allah) menyuruh Ibrahim mengambil empat ekor burung.  Ibrahim diperintahkan untuk memotong-motong daging burung tersebut serta bulu-bulunya, kemudian mencampur adukkan antara daging dan bulu burung yang satu dengan yang lainnya.  Selanjutnya ia diperintahkan untuk meletakkan bagian-bagian dari potongan-potongan daging itu di beberapa bukit, dan ia pun melakukannya dengan penuh keta’atan.  Setelah itu, Ibrahim diperintahkan untuk memanggil burung-burung itu dengan seidzin Rabb-nya.  Setelah memanggil burung-burung itu, maka setiap potongan-potongan itu terbang ke pasangannya masing-masing dan setiap bulu pun melekatkan diri pada asalnya, sehingga semuanya berkumpul menjadi satu badan burung, masing-masing utuh seperti sedia kala.  Dengan demikian Ibrahim telah menyaksikan Kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla Yang Maha Agung, Yang jika mengehendaki sesuatu hanya mengatakan, “Jadilah”, maka jadilah ia.  Maka semua burung itu datang kepadanya dengan bersegera.
Sebenarnya Ibrahim ‘alaihissalam telah mengetahui Kekuasaan Allah Ta’ala dalam menghidupkan orang mati itu secara yakin, tanpa sedikitpun keraguan padanya, tetapi Beliau ingin menyaksikan hal itu secara langsung dengan kedua matanya.  Dan dengan demikian, ia akan beranjak dari ‘Ilmul Yaqin kepada ‘Ainul Yaqin.  Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonannya.
Lalu, tentang firman Allah Ta’ala (artinya),
“Hai Ahlul Kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan[1] tentang hal  Ibrahim , padahal Taurat dan Injil itu tidak diturunkan melainkan setelah Ibrahim.  Apakah kalian tidak berpikir?  Beginilah kalian, kalian ini (sewajarnya) berbantah-bantahan tentang hal yang kalian ketahui (Maka kenapa kalian berbantah-bantahan tentang hal yang tidak kalian ketahui).  Allah Mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.  Ibrahim itu bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali ia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.”
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad).  Dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.”  (Ali-Imran;  65-68)
Allah ‘Azza wa Jalla membantah Klaim Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani terhadap pengakuan mereka, bahwa Ibrahim itu adalah pemeluk agama mereka masing-masing.  Allah Ta’ala berlepas Diri dari keyakinan mereka itu.  Dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala) menjelaskan kebodohan dan lemahnya akal mereka, yaitu melalui firman-Nya (artinya), “Padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan setelah Ibrahim.”  Maksudnya, bagaiman mungkin ia akan memeluk agama kalian, sedang apa yang disyari’at-kan kepada kalian itu ditetapkan jauh setelahnya (Ibrahim)?  Oleh karena itu, Dia melanjutkan, “Apakah kalian tidak berpikir?  Beginilah kalian, kalian ini (sewajarnya) berbantah-bantahan tentang hal yang kalian  ketahui...”
Dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan, bahwa Ibrahim berada di dalam Agama-Nya yang Hanif, yaitu jalan yang menuju kepada keikhlasan, dan menyimpang dari kebathilan, dimana hal itu jelas-jelas bertentangan dengan Agama Yahudi, Nasrani, dan juga bentuk-bentuk kemusyrikan lainnya.
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula kepada Ya’qub[2].  Ibrahim berkata, “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih Agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk Agama Islam.”  (Al-Baqarah;  132)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, ‘Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani.’  Katakanlah, ‘Tidak, bahkan kami mengikuti Agama Ibrahim yang lurus.  Dan bukanlah ia (Ibrahim) dari golongan orang-orang musyrik.’”  
 “Katakanlah, hai orang-orang Mukmin (Beriman), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, serta apa yang diberikan kepada Musa, Isa, serta apa yang diturunkan kepada Nabi-Nabi dari Tuhan mereka.  Kami tidak membeda-bedakan seorang pun diantara mereka, dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’”
“Shibghah[3] Allah.  Dan siapakah yang lebih baik Shibghah-nya daripada Alah?  Dan hanya kepada-Nya kami menyembah.”
“Katakanlah, ‘Apakah kalian memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian.  Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian.  Dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.  Ataukah kalian, hai orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?  Katakanlah, “Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang menyembunyikan Syahadat[4] dari Allah yang ada padanya?’  Dan sekali-kali Allah tidak akan lengah dari apa yang kalian kerjakan.’”
“Itu adalah ummat yang telah lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagi kalian apa yang telah kalian usahakan.  Dan kalian tidak akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.”  (Al-Baqarah;  138-141)
Dengan demikian, Allah ‘Azza wa Jalla telah menjauhkan Kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam dari pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.  Selanjutnya Dia menjelaskan, bahwa Ibrahim itu benar-benar lurus dan seorang Muslim, dan bukan termasuk orang-orang musyrik seperti mereka.  Oleh sebab itu,  Dia berfirman (artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya,” yakni para pengikutnya yang memeluk Agama-Nya yang hidup pada zamannya, serta orang-orang setelahnya yang berpegang teguh pada Agama-Nya.  “Dan Nabi ini,” yakni  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mensyari’atkan pada Beliau Agama yang hanif yang juga disyari’atkan bagi Ibrahim, dan Dia sempurnakan Agama itu untuk Beliau (Muhammad) beserta ummatnya.  Dan Dia juga memberikan kepada Beliau apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang Nabi dan Rasul pun sebelum Beliau.  Seperti  makna firman-Nya ,
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhan-ku ke jalan yang lurus, yaitu Agama yang benar; Agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.’  Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, Ibadahku, Hidupku dan Mati-ku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.  Tiada sekutu bagi-Nya.  Dan yang demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’”  (Al-An’am;  161-163)
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah Agama Ibrahim, seorang yang Hanif.’  Dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”  (An-Nahl;  123)
Firman-Nya, “Ummatan,” berarti teladan sekaligus Imam yang memberikan petunjuk serta menyeru kepada kebaikan, yang patut diteladani.
“Dan patuh kepada Allah,” yakni senantiasa khusyu’ dalam segala keadaan, gerakan dan diamnya. 
“Dan Hanif,” yaitu tulus ikhlas dan benar-benar berada dibawah petunjuk.
“Dan sekali-kali ia bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah lagi yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah,” maksudnya Beiau selalu bersyukur kepada Tuhan-nya dengan seluruh anggota tubuhnya, hati, lisan, dan amal perbuatan Beliau.
“Ijtabaahu,” artinya, Allah telah memilih Beliau untuk mengemban Risalah-Nya, dan mengambilnya sebagai Kekasih.  Dan Dia satukan baginya berbagai kebaikan dunia dan akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya),
“Dan siapakah yang lebih baik Agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti Agama Ibrahim yang lurus?  Dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.”  (An-Nisa; 125)
Allah ‘Azza wa Jalla menganjurkan agar mengikuti Ibrahim ‘alaihissalam, karena ia memeluk Agama yang lurus dan berada di jalan yang lurus pula.  Dan ia telah pula menunaikan semua perintah Tuhan-nya dengan penuh keta’atan.  Dan karena itu Allah Ta’ala memujinya dengan firman-Nya (artinya),
“Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.”  (An-Najm;  37)
Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan Beliau sebagai kekasih-Nya.
Dan tingkatan itu juga dicapai oleh penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga kitab-kitab lainnya, dari Jundab Al-Bajali, Abdullah bin Amr, dan Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Hai sekalian Manusia, Allah telah mengambilku sebagai Kekasih.”
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Ibrahim termasuk salah satu dari Rasul Ulul Azmi (yang paling utama) yang berjumlah lima orang, secara khusus mereka telah diistimewakan atas para Rasul dan Nabi-Nabi lainnya, sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Ahzab dan surat Asy-Syura, yaitu;
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi dan dari kamu sendiri (Muhammad), Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa Putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”  (Al-Ahzab;  7). Dan,
“Dia telah mensyari’atkan bagi kalian tentang Agama  apa  yang telah diwasiatkan-Nya  kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, tegakkanlah Agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.  Teramat berat bagi orang-orang musyrik Agama yang kamu seru mereka kepadanya.  Allah menarik kepada Agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (Agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”  (Asy-Syuura;  13)
Dan Ibrahim ‘alaihissalam adalah Rasul Ulul Azmi yang paling Mulia setelah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau (Muhammad) adalah orang yang menemukan Ibrahim di langit ke tujuh dalam keadaan bersandar di Baitullah yang setiap harinya masuk ke dalamnya (Baitullah / Baitul Ma’mur) 70.000 Malaikat Allah untuk beribadah, kemudian mereka keluar dan tidak pernah kembali lagi, demikian terjadi setiap hari.
Imam Ahmad juga menceritakan, Yahya memberitahu kami, dari Sufyan, Mughirah bin Nu’man memberitahu kami, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda (artinya),
“Manusia akan digiring dalam keadaan telanjang.  Dan orang yang pertama kali dipakaikan baju adalah Ibrahim ‘alaihissalam.”  Kemudian Beliau membacakan ayat (artinya),
“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.”  (Al-Ambiya’;  104)
Setelah diketahui, bahwa Ibrahim menjadi Rasul  yang paling baik dan juga termasuk Ulul Azmi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang yang mengerjakan shalat diperintahkan untuk mengucapkan dalam Tasyahud-nya apa yang ditegaskan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab Shahihain yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab bin Ajrah dan yang lainnya, ia bercerita;
“Kami tanyakan, ‘Ya Rasulullah, (pengucapan) salam untukmu kami telah mengetahuinya, lalu bagaimana bershalawat kepadamu?’  Beliau bersabda, Ucapkanlah; ‘Ya Tuhanku, berilah rahmat kepada  Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.  Dan berilah karunia kepada Muhammad dan keluarga  Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.  Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.’  (HR. Al-Bukhari-Muslim)
Firman Allah Ta’ala (artinya),
“Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.”  (An-Najm;  37)
Para ‘ulama mengatakan, yaitu dalam segala apa yang diperintahkan Allah Ta’ala kepadanya.  Ia tunaikan semua sisi dari cabang keimanan.  Pemeliharaannya terhadap masalah yang besar tidak menjadikannya lalai mengerjakan masalah-masalah yang kecil.
Mengenai makna firman-Nya, “Dan ingatlah, ketika Ibrahim diuji Tuhan-Nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya,”  Abdurrazaq menceritakan, Mu’ammar memberitahu kami, dari Thawus, dari Ayahnya, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Ia (Ibrahim) diuji oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan Thaharah (bersuci), yaitu; lima dibagian kepala dan lima dibagian tubuh.  Yang dibagian kepala, adalah mencukur kumis, berkumur, bersiwak, Istinsyak (memasukkan air ke dalam lubang hidung dan mengeluarkannya kembali /membersihkannya), dan menggosok-gosok kepala.  Sedangkan pada bagian tubuh adalah, memotong kuku, mencukur rambut kemaluan, khitan (bersunat), mencabut bulu ketiak, serta mencuci bekas buang air besar dan kecil dengan air.”  (HR.  Ibnu Abi Hatim)
Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim dan beberapa kitab As-Sunan terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Waki’, dari Zakaria bin Abi Zaidah, dari Mush’ab bin Syaibah Al-Adbari Al Makki Al Hajji, dari Thalq bin Habib Al-Inazi, Dari Abdullah bin Zubair, dari A’isyah Radhiyallahu ‘Anha, ia bercerita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sepuluh hal yang termasuk fitrah; Mencukur kumis, Memanjangkan jenggot, Bersiwak, Istinsyak dengan air, dan memotong kuku, serta mencuci sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan Istinja’ (cebok).”
Maksudnya, pelaksanaan kewajiban dengan ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla dan penuh kekhusyu’an, tidak menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalai untuk memelihara kebersihan tubuhnya dan memberikan hak kepada masing-masing anggota tubuhnya berupa pemeliharaan dan perawatan.  Yang demikian itu merupakan kandungan dari makna firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.”  (An-Najm;  37)
Akhirnya, sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat sebuah Istana aku kira Beliau berkata, dari Mutiara yang padanya tidak terdapat kehancuran dan kerusakan.  Istana yang disediakan oleh Allah untuk Kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam sebagai tempat tinggal.
(Bersambung, In-sya Allah)

oOo
[1]  Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu menganggap Ibrahim ‘alaihissalam adalah golongan dari mereka.  Lalu Allah Ta’ala membantah mereka dengan Hujjah, bahwa Ibrahim itu datang jauh sebelum zaman mereka.
[2]  Nabi Ya’qub merupakan “Kakek Moyang” Orang-orang Yahudi dan Nasrani.
[3]  Shibghah berarti celupan.  Makna “Shibghah Allah” adalah, celupan Allah yang berarti beriman kepada Allah (Agama-Nya) tanpa disertai dengan kesyirikan.
[4]  Syahadat dari Allah, adalah kesaksian Allah yang disebutkan (tertera) dalam Taurat dan Injil, bahwa Ibrahim ‘alaihissalam beserta anak cucunya bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani, dan bahwa Allah akan mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Disadur bebas dari kitab “Kisah Para Nabi”, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar