Minggu, 20 Mei 2018

WASIAT-WASIAT PARA SALAF



بسم الله الر حما ن الر حيم


Keyakinan Syaikh Bin Baz itu (pada tulisan sebelumnya, “IMAM-IMAM SALAFI SEKARANG”) berdasarkan apa-apa yang pernah diwasiatkan para Sahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in.  Mereka adalah para Salaf yang telah mewasiatkan dan menginginkan siapa pun untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, misalnya, pernah suatu ketika menyampaikan satu wasiat singkat kepada salah seorang muridnya, “Mengikutlah kalian (kepada Rasulullah),” pesan Abdullah bin Mas’ud, “Dan jangan mengada-adakan perkara baru dalam Agama karena kalian itu sebenarnya telah dicukupkan.”
Coba bandingkan dengan wasiatnya yang lain,
“Sesungguhnya kita ini hanya mencontoh dan bukan membuat perkara baru.  Kita ini hanya mengikuti Sunnah Rasulullah yang ada (Ittiba’) dan bukan mengada-adakan perkara baru dalam Agama (Ibtida’).  Kita ini tidak akan pernah sesat selama kita berpegang-teguh pada warisan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam (al atsar).”
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu ternyata juga pernah mewasiatkan,
“Sebenarnya, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Sungguh kalian nanti akan mengada-adakan perkara-perkara baru dalam Agama dan akan menimpa kalian pula perkara-perkara baru yang dimaksud.  Karena itu, setiap perkara-perkara baru dalam Agama itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu di dalam Neraka.”
Dalam kesempatan yang lain, Ia Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Sederhana di dalam Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”  Kata Bid’ah seperti ini dimaksudkan kepada segala perkara baru yang diada-adakan dalam Ibadah.
Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘Anhu seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya, pernah pula berpesan yang sama.  Menujukkan pesan itu kepada para Qurra’ yang mereka itu memiliki Pengetahuan terhadap Kitab Allah pada zaman itu, Hudzaifah mengatakan,
“Wahai para Qurra’, istiqamah-lah kalian karena kalian itu betul-betul telah didahului (oleh orang-orang sebelum kalian) sejauh-jauhnya.  Dan jika kalian berpaling ke kanan atau ke kiri, niscaya kalian akan sesat sesesat-sesatnya.”
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, salah seorang Sahabat Rasulullah yang pernah direkomendasikan Rasulullah dalam hal bacaan Al-Qur’annya, menyampaikan hal yang sama.  Dalam salah satu Khutbahnya ia berpesan,
“Wahai manusia hendaklah kalian berilmu sebelum diangkat Ilmu itu.  Ketahuilah, diangkatnya Ilmu itu terjadi dengan wafatnya orang-orang yang memiliki Ilmu.  Dan hati-hatilah kalian dari segala perkara baru dalam Ibadah (bid’ah), mengada-adakan perkara seperti itu, dan berlebih-lebihan dalam masalah Agama.  Semestinyalah kalian beramal dengan segala yang telah ditetapkan dahulu.”
Mengikuti Sunnah Rasulullah dan menjauhi bid’ah menjadi dua bagian pesan yang tak terpisahkan dalam pesan-pesan Sahabat Rasulullah itu.  Umar bin Al-Khaththab pun demikian.  Semasa hidupnya , Ia Radhiyallahu ‘Anhu pernah berpesan ke khalayak,
“Sesungguhnya, sebenar-benar perkataan adalah perkataan Allah.  Dan ketahuilah,  sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dalam Ibadah, sebab setiap perkara yang seperti itu  adalah kesesatan.  Dan ketahuilah pula, sesungguhnya manusia akan terus berada dalam kebaikan selama mereka mengambil Ilmu dari orang-orang yang dituakan di tengah-tengah mereka dan tidak mengambilnya dari orang-orang rendahan mereka.  Jika mereka mengambil Ilmu itu dari orang-orang rendahan tersebut nisacaya Ilmu itu akan hilang.”
Pesan Umar tersebut tidak jauh berbeda dengan salah satu pesan terkenal dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu “Anhu,
“Dan sederhana dalam Sabil (Jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Shirath Al-Mustaqim) dan Sunnah Rasulullah sebenarnya lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi Sabil dan Sunnah itu.  Maka, baik banyak maupun sedikit, hendaklah diperhatikan oleh kalian amal-amal kalian itu agar selalu mencocoki Sabil dan Sunnah para Nabi.”
Perhatikan redaksi terakhir pada pesan tersebut.  Itu, jika kita cermati, serupa dengan tafsiran Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu terhadap sejumlah ayat Al-Qur’an.  Sebagai misal adalah, ayat ke-48 surat Al-Maidah,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ 
“Kami telah jadikan untuk setiap kalian aturan dan metode (jalan yang terang).”  (Al-Maidah;  48)
Kata “Aturan dan Metode” dalam ayat itu ditafsirkannya sebagai Sabil dan Sunnah.
Misal yang lain adalah Tafsir ayat ke-106 surat Ali-Imran.  Ketika menafsirkan (artinya),
“Hari ketika ada wajah-wajah yang memutih dan wajah-wajah yang menghitam.  adapun mereka yang berwajah hitam ini (kepada mereka dikatakan), ‘Mengapa kalian kafir kembali setelah beriman?  Maka, rasakanlah azab ini karena kekafiran kalian itu.”  (Ali-Imran;  106)
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu memaksudkan “wajah-wajah yang memutih” sebagai pengikut Sunnah Rasulullah dan Jama’ah para Sahabat Rasulullah serta orang-orang yang berilmu tentang mereka (Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah wa Ulul ‘Ilmi), sedangkan wajah-wajah yang menghitam sebagai pengikut Bid’ah dan kesesatan (Ahl Al-Bid’ah wa Adh-Dhalalah)
Karena tafsirannya seperti itu, Abdullah bin Abbas akhirnya pernah berpesan ke seseorang, “Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Istiqamah.  Mengikutlah (pada Sunnah Rasulullah) dan jangan kau ada-adakan perkara baru dalam Agama (Bid’ah).”
Perhatikan tafsiran salah seorang murid Beliau, Said bin Jubair, ketika menafsirkan ayat (artinya),
“Dan sesungguhnya Aku ini betul-betul Mahapengampun bagi siapa saja yang bertaubat dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk.”  (Thaha;  82)
Kata Said bin Jubair, siapa saja yang bertaubat dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk, adalah siapa saja yang mengikuti Sunnah dan Jama’ah.
Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Tabi’in terkenal sekaligus seorang Khalifah Bani Umayyah,  pernah suatu ketika ia menulis surat kepada sejumlah pegawainya sebagai petunjuk penting buat mereka dalam menjalankan pemerintahan.
“Kuwasiatkan kepadamu,” tulisnya,
“Untuk bertakwa kepada Allah, sederhana dalam menjalankan perintah-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan meninggalkan segala yang diada-adakan oleh para Pembuat Perkara Baru (Ahlul Bid’ah) dalam Ibadah setelah tetap Sunnah Rasulullah itu.  Teruslah berpegang dengan Sunnah itu.  Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah diada-adakan suatu perkara baru dalam Agama oleh seseorang, kecuali telah ada sebelum itu hujatan dan kecaman terhadap perkara itu serta Ibrah tentangnya.  Maka, hendaklah engkau pegang Sunnah Rasulullah itu, sebab sesungguhnya ada penjagaan dari Allah - seizin-Nya - untukmu nanti.”
Wasiat seperti wasiat Umar bin Abdul Aziz sudah menjadi jamaknya  pesan di tengah generasai pertama Tabi’in waktu itu.  Sebagai bukti langsung, Tabi’in-tabi’in lain dari generasi setelah mereka mempersaksikannya.
Dalam salah satu pesan Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, misalnya, disebutkan,
“Ulama kami terdahulu selalu mengingatkan, bahwa berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah itu adalah keselamatan.”  Az-Zuhri yang dimaksud adalah seorang Tabi’in yang semasa dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.  Karena itu, yang dimaksud frasa Ulama kami terdahulu tidak lain adalah para Tabi’in yang lebih senior darinya atau bahkan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pesan lain yang sempat terekam dari generasi Tabi’in adalah sebuah pesan dari Muhammad bin sirin.  Dikenal sebagai salah seorang pemuka Thabaqah Al-Wustha, Muhammad bin Sirin pernah berpesan,
“Seseorang yang mengada-adakan suatu perkara dalam Ibadah tidak akan kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pesan serupa diulang di kemudian hari oleh seorang Tabi’in dari Thabaqah Ash-Shugra yang terkenal, Ayyub As-Sakhtiyani.  Ia mengatakan,
“Tidaklah seorang pelaku Bid’ah itu bersungguh-sungguh dalam kebid’ahannya, melainkan akan semakin jauh pula dirinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Salah seorang sahabat sekaligus muridnya Az-Zuhri adalah Abdullah bin Amr Al-Auza’i, salah seorang pemuka Thabaqah Kibar Tabi’ut Tabi’in.  Seperti gurunya dan para Tabi’in yang lain, Al-Auza’i berpesan,
“Sabarkan dirimu di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Berhentilah kau di atas apa-apa yang para Salaf berhenti.  Katakanlah olehmu apa-apa yang pernah mereka katakan.  Dan tahanlah olehmu pula apa-apa yang mereka tahan.  Titilah jalan mereka, sebab sesungguhnya tidak diberikan kebebasan untukmu kecuali pada apa-apa yang diberikan kepada mereka.”
Al-Auza’i menunjuk Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  dan apa-apa yang para Salaf berada di atasnya sebagai satu-satunya yang dipegang dalam beragama.
Suatu hari Al-Auza’i pernah mengatakan pada orang-orang di masanya,
“Kami berjalan kemana pun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan.”  Lagi-lagi Al-Auza’i memberi isyarat lembut dalam sebuah ujaran, bahwa berpegang dengan Sunnah Rasulullah itu adalah sebuah keniscayaan, kapan pun dan dimana pun.
Pesan Al-Auza’i yang lain tetapi justru paling sering dikutip oleh para pengikut Salaf di kemudian hari adalah,
“Berpeganglah dengan warisan para Salaf Ash-Shalih meskipun semua manusia menolakmu dan jauhilah pandangan orang-orang (selain para Salaf itu) meskipun mereka menghiasi untukmu perkataan-perkataan tersebut.”
Pemuka Tabi’ut Tabi’in lain yang semasa dengan Al-Auza’i adalah Sufyan bin Said Ats-Tsauri rahimahullah.  Dalam salah satu kesempatan Ia pernah mengatakan,
“Adalah para Ahli Fikih yang pernah mengatakan, ‘Tidak akan lurus suatu perkataan kecuali dibuktikan dengan perbuatan.  Tidaklah lurus pula suatu perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat.  Dan tidaklah lurus perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali jika mencocoki Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.’”
Pesan Ats-Tsauri ini mengulang apa  yang pernah dipesankan oleh Hasan Al-Basri, salah seorang pemuka Tabi’in dari Thabaqah Al-Wustha, beberapa waktu sebelumnya.  Pesan yang dimaksud adalah,
“Tidak akan baik perkataan itu kecuali dengan perbuatan.  Tidak akan baik pula perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat.  Dan tidak akan baik perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar