بسم
الله الر حما ن الر حيم
Keyakinan Syaikh Bin Baz itu (pada tulisan sebelumnya,
“IMAM-IMAM SALAFI SEKARANG”) berdasarkan apa-apa yang pernah diwasiatkan para
Sahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in. Mereka adalah para Salaf yang
telah mewasiatkan dan menginginkan siapa pun untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, misalnya,
pernah suatu ketika menyampaikan satu wasiat singkat kepada salah seorang
muridnya, “Mengikutlah kalian (kepada Rasulullah),” pesan Abdullah bin
Mas’ud, “Dan jangan mengada-adakan perkara baru dalam Agama karena kalian
itu sebenarnya telah dicukupkan.”
Coba bandingkan dengan wasiatnya yang lain,
“Sesungguhnya kita ini hanya mencontoh dan bukan membuat
perkara baru. Kita ini hanya mengikuti
Sunnah Rasulullah yang ada (Ittiba’) dan bukan mengada-adakan perkara
baru dalam Agama (Ibtida’). Kita
ini tidak akan pernah sesat selama kita berpegang-teguh pada warisan Rasulullah
Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam (al atsar).”
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu ternyata juga
pernah mewasiatkan,
“Sebenarnya, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan sebaik-baik perkataan
adalah perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh kalian nanti akan mengada-adakan
perkara-perkara baru dalam Agama dan akan menimpa kalian pula perkara-perkara
baru yang dimaksud. Karena itu, setiap
perkara-perkara baru dalam Agama itu adalah kesesatan dan setiap kesesatan itu
di dalam Neraka.”
Dalam kesempatan yang lain, Ia Radhiyallahu ‘Anhu
mengatakan, “Sederhana di dalam Sunnah (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam) lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.” Kata Bid’ah seperti ini dimaksudkan
kepada segala perkara baru yang diada-adakan dalam Ibadah.
Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘Anhu seorang
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya, pernah pula
berpesan yang sama. Menujukkan pesan itu
kepada para Qurra’ yang mereka itu memiliki Pengetahuan terhadap Kitab
Allah pada zaman itu, Hudzaifah mengatakan,
“Wahai para Qurra’, istiqamah-lah kalian karena
kalian itu betul-betul telah didahului (oleh orang-orang sebelum kalian)
sejauh-jauhnya. Dan jika kalian
berpaling ke kanan atau ke kiri, niscaya kalian akan sesat sesesat-sesatnya.”
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, salah seorang
Sahabat Rasulullah yang pernah direkomendasikan Rasulullah dalam hal bacaan
Al-Qur’annya, menyampaikan hal yang sama.
Dalam salah satu Khutbahnya ia berpesan,
“Wahai manusia hendaklah kalian berilmu sebelum diangkat
Ilmu itu. Ketahuilah, diangkatnya Ilmu
itu terjadi dengan wafatnya orang-orang yang memiliki Ilmu. Dan hati-hatilah kalian dari segala perkara
baru dalam Ibadah (bid’ah), mengada-adakan perkara seperti itu, dan
berlebih-lebihan dalam masalah Agama.
Semestinyalah kalian beramal dengan segala yang telah ditetapkan dahulu.”
Mengikuti Sunnah Rasulullah dan menjauhi bid’ah
menjadi dua bagian pesan yang tak terpisahkan dalam pesan-pesan Sahabat
Rasulullah itu. Umar bin Al-Khaththab
pun demikian. Semasa hidupnya , Ia Radhiyallahu
‘Anhu pernah berpesan ke khalayak,
“Sesungguhnya, sebenar-benar perkataan adalah perkataan
Allah. Dan ketahuilah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dalam Ibadah,
sebab setiap perkara yang seperti itu
adalah kesesatan. Dan ketahuilah
pula, sesungguhnya manusia akan terus berada dalam kebaikan selama mereka
mengambil Ilmu dari orang-orang yang dituakan di tengah-tengah mereka dan tidak
mengambilnya dari orang-orang rendahan mereka.
Jika mereka mengambil Ilmu itu dari orang-orang rendahan tersebut
nisacaya Ilmu itu akan hilang.”
Pesan Umar tersebut tidak jauh berbeda dengan salah satu
pesan terkenal dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu “Anhu,
“Dan sederhana dalam Sabil (Jalan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, Shirath Al-Mustaqim) dan Sunnah Rasulullah sebenarnya
lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam menyelisihi Sabil dan
Sunnah itu. Maka, baik banyak maupun
sedikit, hendaklah diperhatikan oleh kalian amal-amal kalian itu agar selalu
mencocoki Sabil dan Sunnah para Nabi.”
Perhatikan redaksi terakhir pada pesan tersebut. Itu, jika kita cermati, serupa dengan
tafsiran Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu terhadap sejumlah ayat Al-Qur’an. Sebagai misal adalah, ayat ke-48 surat
Al-Maidah,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً
وَمِنْهَاجًا ۚ
“Kami telah jadikan untuk setiap kalian aturan
dan metode (jalan yang terang).” (Al-Maidah; 48)
Kata “Aturan dan Metode” dalam ayat itu
ditafsirkannya sebagai Sabil dan Sunnah.
Misal yang lain adalah Tafsir ayat ke-106 surat
Ali-Imran. Ketika menafsirkan (artinya),
“Hari ketika ada wajah-wajah yang memutih dan wajah-wajah
yang menghitam. adapun mereka yang
berwajah hitam ini (kepada mereka dikatakan), ‘Mengapa kalian kafir kembali
setelah beriman? Maka, rasakanlah
azab ini karena kekafiran kalian itu.” (Ali-Imran; 106)
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu memaksudkan “wajah-wajah
yang memutih” sebagai pengikut Sunnah Rasulullah dan Jama’ah para
Sahabat Rasulullah serta orang-orang yang berilmu tentang mereka (Ahl
As-Sunnah wa Al-Jama’ah wa Ulul ‘Ilmi), sedangkan wajah-wajah yang
menghitam sebagai pengikut Bid’ah dan kesesatan (Ahl Al-Bid’ah wa
Adh-Dhalalah)
Karena tafsirannya seperti itu, Abdullah bin Abbas akhirnya
pernah berpesan ke seseorang, “Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Istiqamah.
Mengikutlah (pada Sunnah Rasulullah) dan jangan kau ada-adakan perkara
baru dalam Agama (Bid’ah).”
Perhatikan tafsiran salah seorang murid Beliau, Said bin
Jubair, ketika menafsirkan ayat (artinya),
“Dan sesungguhnya Aku ini betul-betul Mahapengampun
bagi siapa saja yang bertaubat dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk.” (Thaha; 82)
Kata Said bin Jubair, siapa saja yang bertaubat dan beramal
shalih kemudian mengikuti petunjuk, adalah siapa saja yang mengikuti
Sunnah dan Jama’ah.
Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Tabi’in terkenal
sekaligus seorang Khalifah Bani Umayyah,
pernah suatu ketika ia menulis surat kepada sejumlah pegawainya sebagai
petunjuk penting buat mereka dalam menjalankan pemerintahan.
“Kuwasiatkan kepadamu,” tulisnya,
“Untuk bertakwa kepada Allah, sederhana dalam
menjalankan perintah-Nya, mengikuti Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan meninggalkan segala yang diada-adakan oleh para Pembuat Perkara Baru
(Ahlul Bid’ah) dalam Ibadah setelah tetap Sunnah Rasulullah itu. Teruslah berpegang dengan Sunnah itu. Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah
diada-adakan suatu perkara baru dalam Agama oleh seseorang, kecuali telah ada
sebelum itu hujatan dan kecaman terhadap perkara itu serta Ibrah tentangnya. Maka, hendaklah engkau pegang Sunnah
Rasulullah itu, sebab sesungguhnya ada penjagaan dari Allah - seizin-Nya - untukmu
nanti.”
Wasiat seperti wasiat Umar bin Abdul Aziz sudah menjadi
jamaknya pesan di tengah generasai
pertama Tabi’in waktu itu.
Sebagai bukti langsung, Tabi’in-tabi’in lain dari generasi
setelah mereka mempersaksikannya.
Dalam salah satu pesan Muhammad bin Muslim Az-Zuhri,
misalnya, disebutkan,
“Ulama kami terdahulu selalu mengingatkan, bahwa berpegang
teguh dengan Sunnah Rasulullah itu adalah keselamatan.” Az-Zuhri yang dimaksud adalah seorang Tabi’in
yang semasa dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Karena itu, yang dimaksud frasa Ulama
kami terdahulu tidak lain adalah para Tabi’in yang lebih senior darinya
atau bahkan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pesan lain yang sempat terekam dari generasi Tabi’in
adalah sebuah pesan dari Muhammad bin sirin. Dikenal sebagai salah seorang pemuka Thabaqah
Al-Wustha, Muhammad bin Sirin pernah berpesan,
“Seseorang yang mengada-adakan suatu perkara dalam Ibadah
tidak akan kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pesan serupa diulang di kemudian hari oleh seorang Tabi’in
dari Thabaqah Ash-Shugra yang terkenal, Ayyub As-Sakhtiyani. Ia mengatakan,
“Tidaklah seorang pelaku Bid’ah itu
bersungguh-sungguh dalam kebid’ahannya, melainkan akan semakin jauh pula
dirinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Salah seorang sahabat sekaligus muridnya Az-Zuhri adalah Abdullah
bin Amr Al-Auza’i, salah seorang pemuka Thabaqah Kibar Tabi’ut Tabi’in. Seperti gurunya dan para Tabi’in yang
lain, Al-Auza’i berpesan,
“Sabarkan dirimu di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Berhentilah kau
di atas apa-apa yang para Salaf berhenti. Katakanlah olehmu apa-apa yang pernah mereka katakan. Dan tahanlah olehmu pula apa-apa yang mereka
tahan. Titilah jalan mereka, sebab
sesungguhnya tidak diberikan kebebasan untukmu kecuali pada apa-apa yang
diberikan kepada mereka.”
Al-Auza’i menunjuk Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dan apa-apa yang
para Salaf berada di atasnya sebagai satu-satunya yang dipegang dalam
beragama.
Suatu hari Al-Auza’i pernah mengatakan pada orang-orang di
masanya,
“Kami berjalan kemana pun Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berjalan.” Lagi-lagi
Al-Auza’i memberi isyarat lembut dalam sebuah ujaran, bahwa berpegang dengan
Sunnah Rasulullah itu adalah sebuah keniscayaan, kapan pun dan dimana pun.
Pesan Al-Auza’i yang lain tetapi justru paling sering
dikutip oleh para pengikut Salaf di kemudian hari adalah,
“Berpeganglah dengan warisan para Salaf Ash-Shalih
meskipun semua manusia menolakmu dan jauhilah pandangan orang-orang (selain para
Salaf itu) meskipun mereka menghiasi untukmu perkataan-perkataan tersebut.”
Pemuka Tabi’ut Tabi’in lain yang semasa dengan
Al-Auza’i adalah Sufyan bin Said Ats-Tsauri rahimahullah. Dalam salah satu kesempatan Ia pernah mengatakan,
“Adalah para Ahli Fikih yang pernah mengatakan, ‘Tidak
akan lurus suatu perkataan kecuali dibuktikan dengan perbuatan. Tidaklah lurus pula suatu perkataan dan
perbuatan kecuali dengan niat. Dan
tidaklah lurus perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali jika mencocoki Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.’”
Pesan Ats-Tsauri ini mengulang apa yang pernah dipesankan oleh Hasan Al-Basri,
salah seorang pemuka Tabi’in dari Thabaqah Al-Wustha, beberapa
waktu sebelumnya. Pesan yang dimaksud
adalah,
“Tidak akan baik perkataan itu kecuali dengan
perbuatan. Tidak akan baik pula
perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat.
Dan tidak akan baik perkataan, perbuatan, dan niat itu kecuali dengan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”,
Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar