بسم الله الر حمان الر حيم
Kesempurnaan Islam membuat para Sahabat Rasulullah, Tabi’in
dan Tabi’ut-Tabi’in betul-betul menjaga Islam dari segala perkara baru
yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah.
Perkara-perkara baru yang dimaksud dan itu adalah perkara-perkara baru
dalam Ibadah, oleh para Salaf, terkadang diistilahkan dengan muhdats
atau muhdatsat.
Meski demikian, istilah yang justru sering dipakai mereka adalah Bid’ah.
Siapa pun yang melakukan Bid’ah atau Mubtadi’
tidak semua disikapi sama oleh para Salaf. Bagaimana pun, ada yang melakukan suatu Bid’ah
hanya karena tidak mengetahui bahwa itu bid’ah, baik disebabkan
lingkungan atau pun keterbatasan pengetahuan.
Ada pula yang melakukan bid’ah karena keyakinannya bahwa itu baik
dan harus, meskipun telah diberitahu berkali-kali dengan dalil-dalil yang
jelas.
Bagi para Salaf, siapa saja yang melakukan suatu Bid’ah
dengan kesadaran bahwa itu tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaaihi
wa Sallam tetapi menganggapnya baik dan meyakininya sebagai sebuah Ibadah
sementara nasihat dan pengetahuan telah sampai kepadanya berulang kali, di
istilahkan dengan Ahl Al-Bid’ah. Terkadang para Salaf menyebut mereka dengan Ahl
Al-Ahwa’, para pengikut Hawa Nafsu.
Menasihati Ahl Al-Bid’ah dan memperingatkan orang
lain dari Ahl Al-Bid’ah, para Salaf bersikap dan menyatakan sikap
seperti itu di depan khalayak sebagai bentuk maklumat agar orang-orang di
sekitar mereka mengetahui dan menjauhi bid’ah itu. Para Salaf mencontohkan sikap seperti
itu dalam rangka menjaga Agama mereka.
Sebuah contoh yang berupa peringatan dari kalangan Sahabat
Rasulullah adalah apa yang pernah ditunjukkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘Anhu. Waktu itu Yahya bin Ya’mar dan
Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari sengaja datang ke Makkah guna bertanya kepada
Abdullah bin Umar perihal Ma’bad Al-Juhani yang mengenalkan pemahaman Qadariyah
di Bashrah.
Mendengar khabar yang disampaikan itu, Abdullah bin Umar
menjawab, “Jika engkau bertemu dengan mereka, khabarkanlah bahwa aku
berlepas diri dari mereka dan mereka telah berlepas diri dariku. Demi yang Abdullah bin Umar bersumpah
dengan-Nya, kalau salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud
untuk diinfakkan, niscaya Allah tidak akan menerima infak itu.”
Al-Auza’i seorang Tabi’ut Tabi’in senior,
pernah pula ditanya soal kelompok Qadariyah itu. Ia lalu menjawab, “Jangan duduk-duduk
dengan mereka.”
Kelompok Qadariyah memang sudah dikenal sebagai kelompok
penolak Takdir Allah dan ini bertentangan dengan apa yang telah diturunkan
Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menurut para pengikut Ma’bad Al-Juhani
itu, semua yang dilakukan oleh manusia adalah hasil usaha mereka sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai
Penguasa Alam Semesta tidak ikut campur tangan sama sekali.
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu
pernah memperingati orang-orang dari bahaya Kaum Rasionalis atau sering
diistilahkan dengan Kelompok Pengagung Akal.
Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Hati-hati kalian dari
para pengagung akal. Sebab, sesungguhnya
mereka itu musuh-musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Engkau pahamkan hadits-hadits kepada mereka
agar mereka pegang, mereka justru katakan, ‘Dengan Akal.’ Maka, mereka pun sesat dan menyesatkan.”
Muhammad bin Sirin dan Hasan Al-Bashri, masing-masing
pernah berkata, “Jangan kalian duduk-duduk dengan pengikut Hawa Nafsu. Jangan mendebat mereka. Jangan pula mendengarkan perkataan mereka.” Mereka berdua adalah dua orang Pemuka Tabi’in
terkenal.
Tabi’in lain yang lebih belakangan, Ayyub
As-Sakhtiayni, pernah mendapat wasiat serupa dari salah seorang gurunya,
Abu Qilabah. Wasiat yang dimaksud
berbunyi, “Jangan kau tempatkan telingamu perkataan-perkataan Ahl Al-Ahwa’.”
Abu Qilabah sang guru termasuk salah seorang Tabi’in
dari Thabaqah Al-Wustha. Dilain
waktu ia pernah berkata, “Tidaklah satu kaum mengadakan suatu bid’ah,
kecuali mereka juga akan menghalalkan pedang.”
Memang pada masa itu kelompok Khawarij karena bid’ah
yang dilakukan mereka telah banyak menumpahkan darah orang-orang tak berdosa.
Terkait dengan kelompok Khawarij, dalam suatu riwayat terkenal,
Sufyan Ats-Tasuri pernah memasuki masjid Jami’ guna menunaikan shalat
Jum’at. Belum lama detik berlalu,
tiba-tiba ia mengucapkan, “Na’udzu billah min khusyu’ Al-Munafiq,” kami
berlindung kepada Allah dari khusyu’ orang munafik.
Ucapan itu terlontar ketika Sufyan Ats-Tsauri melihat Shalih
bin Hayy sedang mengerjakan shalat.
Orang yang terakhir ini dikenal sebagai seorang yang meyakini bolehnya
menumpahkan darah kaum muslimin dan ini termasuk salah satu ciri kelompok Khawarij
sejak pertama kali muncul dalam sejarah Islam.
Seperti Sufyan Ats-Tsauri dari generasi Tabi’ut-Tabi’in,
Abdullah bin Mubarak memperingatkan muridnya agar tidak duduk-duduk
dengan Ahl Al-Bid’ah. Kepada Isma’il At-Thusi, misalnya, Abdullah
bin Mubarak mengingatkan, “Jadikan
duduk-dudukmu itu dengan orang-orang miskin, tapi hati-hatilah kau dari
duduk-duduk dengan Ahl Al-Bid’ah.”
Tabi’ut-Tabi’in yang lain, Fudhail bin Iyadh, pernah
mengatakan, “Aku dapati bahwa sebaik-baik manusia adalah Ahl As-Sunnah,
sedangkan mereka itu selalu melarang manusia dari bergaul dengan Ahl Al-Bid’ah. Lebih lanjut lagi, Fudhail bin Iyadh berpesan
agar mencari jalan lain jika akan berpapasan dengan Ahl Al-Bid’ah di satu
jalan.
Pesan seperti ini semisal dengan pesan dari Yahya bin Abi
Katsir, seorang Tabi’in dari Tahabaqah Ash-Shugra, yang pernah
berpesan kepada Al-Auza’i, “Jika kau bertemu dengan Ahl Al-Bid’ah itu
di satu jalan, maka carilah jalan lain.” Baik Fudhail bin Iyadh maupun Yahya bin Abi
Katsir, masing-masing mengkhawatirkan seseorang yang selalu mengikuti Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan tertimpa laknat dari Allah
karena duduk dengan Ahl Al-Bid’ah.
Kekhawatiran seperti itu di tengah parta Salaf, jelas tidak
mengada-ada. Terlebih lagi jika
mengingat pesan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu suatu hari,
“Siapa saja yang ingin memuliakan Agamanya, hendaklah
meninggalkan duduk-duduk dengan Ahl Al-Ahwa’,”
Ibrahim An-Nakh’i, salah seorang Tabi’in yang
paling mirip pembawaannya dengan Abdullah bin Mas’ud, juga pernah berpesan,
“Jangan duduk-duduk dengan Ahl Al-Ahwa’ sebab,
sungguh perbuatan seperti itu dapat melenyapkan cahaya iman dari dalam hati,
menghilangkan keelokan wajah dan mewariskan kebencian ke dalam hati (orang-orang
beriman).”
Sampai di sini, semua upaya yang para Salaf lakukan
itu, sebagaimana yang mereka yakini, adalah salah satu Amar Ma’ruf Nahi
Munkar dan itu termasuk ke dalam Ibadah. Mereka melihat dan mencontoh langsung dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
A’isyah Radhiyallahu ‘Anha bercerita, “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah membaca (ayat, artinya),
“Dia-lah Allah Yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an)
kepada kamu. Di antara isi Al-Kitab itu,
ada ayat-ayat yang Muhkamat – itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an – dan yang lain
(ayat-ayat) Mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari
Takwilnya. Padahal tidak ada yang
mengetahui Takwilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang
Mutasyabihat. Semua itu dari sisi Tuhan
kami.’ Dan tidaklah dapat mengambil
pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali-Imran; 7)
Kemudian A’isyah menambahkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam berkata (artinya),
‘Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat
Mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang telah Allah sebutkan. Waspadalah kalian dari mereka itu’.” (HR. Al-Bukhari no.4547 dan Muslim no. 2665)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
secara terang-terangan memperingati para Sahabatnya, ketika ada seorang Munafik
yang dengan lancang menyanggah hasil keputusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dalam masalah pembagian harta (ghanimah). Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu
Sahabat Rasulullah yang menceritakan kejadian itu berkata,
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta), datang Dzul
Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, berlaku adillah, kau!”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaaaihi wa Sallam pun
menjawab (artinya),
“Celaka kau! Siapa
yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil?! Sungguh engkau telah mengalami keburukan dan
kerugian, jika aku saja tidak bisa berbuat adil.’
Lalu Umar Radhiyallahu ‘Anhu pun menimpali, ‘Wahai
Rasulullah izinkan aku memenggal batang lehernya!’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab
(artinya),
‘Biarkan dia.
Sebab dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian
memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa
mereka. Mereka membaca Al-Qur’an namun
tidak sampai ketenggorokan mereka.
Mereka keluar dari Agama seperti melesatnya anak panah dari bidikannya (hewan
buruan). (Karena sangat cepatnya anak
panah yang dilesatkan), maka ketika diteliti ujung panahnya tidak ditemukan
suatu bekas apa pun. Diteliti batang
panahnya, namun tidak ditemukan suatu apa pun.
Ternyata anak panah itu sangat cepat menembus kotoran dan darah. Ciri-ciri mereka adalah laki-laki berkulit
hitam yang salah satu dari dua lengan atasnya seperti payudara perempuan atau
bagian potongan daging yang bergerak-gerak.
Mereka akan muncul pada waktu terjadinya perpecahan’.” (HR. Al-Bukhari no. 3610 dan Muslim no. 1064)
Orang-orang yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam itu adalah orang-orang yang kita kenal sekarang sebagai kelompok
Khawarij. Terhadap kelompok ini,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhitung keras dalam
memperingatkan bahaya mereka.
Dalam kesempatan lain , bahkan, dengan sangat keras
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam menjuluki mereka sebagai,
“Seburuk-buruk manusia yang dibunuh dibawah kolong langit
ini. Dan sebaik-baik manusia yang dibunuh
adalah orang yang dibunuh mereka. Mereka
itu adalah anjing-anjing penduduk Neraka.
Mereka itu dulunya Muslimin lalu mereka menjadi orang-orang kafir.” (HR. At-Tirmidzi no. 3000, Ibnu Majah no.
176, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Dari beberapa hadits shahih tersebut, kita dapat melihat
sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak berdiam diri
dalam melihat sesuatu yang menyelisihi Agama, tetapi mencegahnya, termasuk
dalam bentuk nasihat dan peringatan.
oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”,
Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar