Senin, 21 Mei 2018

PARA SALAF MELIHAT KEMUNGKARAN



 بسم الله الر حمان الر حيم 


Kesempurnaan Islam membuat para Sahabat Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in betul-betul menjaga Islam dari segala perkara baru yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah.  Perkara-perkara baru yang dimaksud dan itu adalah perkara-perkara baru dalam Ibadah, oleh para Salaf, terkadang diistilahkan dengan muhdats atau muhdatsat.  Meski demikian, istilah yang justru sering dipakai mereka adalah Bid’ah.
Siapa pun yang melakukan Bid’ah atau Mubtadi’ tidak semua disikapi sama oleh para Salaf.  Bagaimana pun, ada yang melakukan suatu Bid’ah hanya karena tidak mengetahui bahwa itu bid’ah, baik disebabkan lingkungan atau pun keterbatasan pengetahuan.  Ada pula yang melakukan bid’ah karena keyakinannya bahwa itu baik dan harus, meskipun telah diberitahu berkali-kali dengan dalil-dalil yang jelas.
Bagi para Salaf, siapa saja yang melakukan suatu Bid’ah dengan kesadaran bahwa itu tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaaihi wa Sallam tetapi menganggapnya baik dan meyakininya sebagai sebuah Ibadah sementara nasihat dan pengetahuan telah sampai kepadanya berulang kali, di istilahkan dengan Ahl  Al-Bid’ah.  Terkadang para Salaf menyebut mereka dengan Ahl Al-Ahwa’, para pengikut Hawa Nafsu.
Menasihati Ahl Al-Bid’ah dan memperingatkan orang lain dari Ahl Al-Bid’ah, para Salaf bersikap dan menyatakan sikap seperti itu di depan khalayak sebagai bentuk maklumat agar orang-orang di sekitar mereka mengetahui dan menjauhi bid’ah itu.  Para Salaf mencontohkan sikap seperti itu dalam rangka menjaga Agama mereka.
Sebuah contoh yang berupa peringatan dari kalangan Sahabat Rasulullah adalah apa yang pernah ditunjukkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu.  Waktu itu Yahya bin Ya’mar dan Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari sengaja datang ke Makkah guna bertanya kepada Abdullah bin Umar perihal Ma’bad Al-Juhani yang mengenalkan pemahaman Qadariyah di Bashrah.
Mendengar khabar yang disampaikan itu, Abdullah bin Umar menjawab, “Jika engkau bertemu dengan mereka, khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka telah berlepas diri dariku.  Demi yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, kalau salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud untuk diinfakkan, niscaya Allah tidak akan menerima infak itu.”
Al-Auza’i seorang Tabi’ut Tabi’in senior, pernah pula ditanya soal kelompok Qadariyah itu.  Ia lalu menjawab, “Jangan duduk-duduk dengan mereka.”
Kelompok Qadariyah memang sudah dikenal sebagai kelompok penolak Takdir Allah dan ini bertentangan dengan apa yang telah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Menurut para pengikut Ma’bad Al-Juhani itu, semua yang dilakukan oleh manusia adalah hasil usaha mereka sendiri.  Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penguasa Alam Semesta tidak ikut campur tangan sama sekali.
Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu pernah memperingati orang-orang dari bahaya Kaum Rasionalis atau sering diistilahkan dengan Kelompok Pengagung Akal.  Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Hati-hati kalian dari para pengagung akal.  Sebab, sesungguhnya mereka itu musuh-musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Engkau pahamkan hadits-hadits kepada mereka agar mereka pegang, mereka justru katakan, ‘Dengan Akal.’  Maka, mereka pun sesat dan menyesatkan.”
Muhammad bin Sirin dan Hasan Al-Bashri, masing-masing pernah berkata, “Jangan kalian duduk-duduk dengan pengikut Hawa Nafsu.  Jangan mendebat mereka.  Jangan pula mendengarkan perkataan mereka.”  Mereka berdua adalah dua orang Pemuka Tabi’in terkenal.
Tabi’in lain yang lebih belakangan, Ayyub As-Sakhtiayni, pernah mendapat wasiat serupa dari salah seorang gurunya, Abu Qilabah.  Wasiat yang dimaksud berbunyi, “Jangan kau tempatkan telingamu perkataan-perkataan Ahl Al-Ahwa’.”
Abu Qilabah sang guru termasuk salah seorang Tabi’in dari Thabaqah Al-Wustha.  Dilain waktu ia pernah berkata, “Tidaklah satu kaum mengadakan suatu bid’ah, kecuali mereka juga akan menghalalkan pedang.”  Memang pada masa itu kelompok Khawarij karena bid’ah yang dilakukan mereka telah banyak menumpahkan darah orang-orang tak berdosa.
Terkait dengan kelompok Khawarij, dalam suatu riwayat terkenal, Sufyan Ats-Tasuri pernah memasuki masjid Jami’ guna menunaikan shalat Jum’at.  Belum lama detik berlalu, tiba-tiba ia mengucapkan, “Na’udzu billah min khusyu’ Al-Munafiq,” kami berlindung kepada Allah dari khusyu’ orang munafik.
Ucapan itu terlontar ketika Sufyan Ats-Tsauri melihat Shalih bin Hayy sedang mengerjakan shalat.  Orang yang terakhir ini dikenal sebagai seorang yang meyakini bolehnya menumpahkan darah kaum muslimin dan ini termasuk salah satu ciri kelompok Khawarij sejak pertama kali muncul dalam sejarah Islam.
Seperti Sufyan Ats-Tsauri dari generasi Tabi’ut-Tabi’in, Abdullah bin Mubarak memperingatkan muridnya agar tidak duduk-duduk dengan Ahl  Al-Bid’ah.  Kepada Isma’il At-Thusi, misalnya, Abdullah bin Mubarak mengingatkan,  “Jadikan duduk-dudukmu itu dengan orang-orang miskin, tapi hati-hatilah kau dari duduk-duduk dengan Ahl Al-Bid’ah.”
Tabi’ut-Tabi’in yang lain, Fudhail bin Iyadh, pernah mengatakan, “Aku dapati bahwa sebaik-baik manusia adalah Ahl As-Sunnah, sedangkan mereka itu selalu melarang manusia dari bergaul dengan Ahl Al-Bid’ah.  Lebih lanjut lagi, Fudhail bin Iyadh berpesan agar mencari jalan lain jika akan berpapasan dengan Ahl Al-Bid’ah di satu jalan.
Pesan seperti ini semisal dengan pesan dari Yahya bin Abi Katsir, seorang Tabi’in dari Tahabaqah Ash-Shugra, yang pernah berpesan kepada Al-Auza’i, “Jika kau bertemu dengan Ahl Al-Bid’ah itu di satu jalan, maka carilah jalan lain.”  Baik Fudhail bin Iyadh maupun Yahya bin Abi Katsir, masing-masing mengkhawatirkan seseorang yang selalu mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan tertimpa laknat dari Allah karena duduk dengan Ahl Al-Bid’ah.
Kekhawatiran seperti itu di tengah parta Salaf, jelas tidak mengada-ada.  Terlebih lagi jika mengingat pesan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu suatu hari,
“Siapa saja yang ingin memuliakan Agamanya, hendaklah meninggalkan duduk-duduk dengan Ahl Al-Ahwa’,”
Ibrahim An-Nakh’i, salah seorang Tabi’in yang paling mirip pembawaannya dengan Abdullah bin Mas’ud, juga pernah berpesan,
“Jangan duduk-duduk dengan Ahl Al-Ahwa’ sebab, sungguh perbuatan seperti itu dapat melenyapkan cahaya iman dari dalam hati, menghilangkan keelokan wajah dan mewariskan kebencian ke dalam hati (orang-orang beriman).”
Sampai di sini, semua upaya yang para Salaf lakukan itu, sebagaimana yang mereka yakini, adalah salah satu Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan itu termasuk ke dalam Ibadah.  Mereka melihat dan mencontoh langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
A’isyah Radhiyallahu ‘Anha bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca (ayat, artinya),
   “Dia-lah Allah Yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu.  Di antara isi Al-Kitab itu, ada ayat-ayat yang Muhkamat – itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an – dan yang lain (ayat-ayat) Mutasyabihat.  Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari Takwilnya.  Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya kecuali Allah.  Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat.  Semua itu dari sisi Tuhan kami.’  Dan tidaklah dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.”  (Ali-Imran;  7)
Kemudian A’isyah menambahkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata (artinya),
‘Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat, maka mereka itulah orang-orang yang telah Allah sebutkan.  Waspadalah kalian dari mereka itu’.”  (HR. Al-Bukhari no.4547 dan Muslim no. 2665)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah secara terang-terangan memperingati para Sahabatnya, ketika ada seorang Munafik yang dengan lancang menyanggah hasil keputusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam masalah pembagian harta (ghanimah).  Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu Sahabat Rasulullah yang menceritakan kejadian itu berkata,
“Ketika kami sedang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, berlaku adillah, kau!”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaaaihi wa Sallam pun menjawab (artinya),
“Celaka kau!  Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil?!  Sungguh engkau telah mengalami keburukan dan kerugian, jika aku saja tidak bisa berbuat adil.’
Lalu Umar Radhiyallahu ‘Anhu pun menimpali, ‘Wahai Rasulullah izinkan aku memenggal batang lehernya!’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab (artinya),
‘Biarkan dia.  Sebab dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka.  Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak sampai ketenggorokan mereka.  Mereka keluar dari Agama seperti melesatnya anak panah dari bidikannya (hewan buruan).  (Karena sangat cepatnya anak panah yang dilesatkan), maka ketika diteliti ujung panahnya tidak ditemukan suatu bekas apa pun.  Diteliti batang panahnya, namun tidak ditemukan suatu apa pun.  Ternyata anak panah itu sangat cepat menembus kotoran dan darah.  Ciri-ciri mereka adalah laki-laki berkulit hitam yang salah satu dari dua lengan atasnya seperti payudara perempuan atau bagian potongan daging yang bergerak-gerak.  Mereka akan muncul pada waktu terjadinya perpecahan’.”  (HR. Al-Bukhari no. 3610 dan Muslim no. 1064)
Orang-orang yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu adalah orang-orang yang kita kenal sekarang sebagai kelompok Khawarij.  Terhadap kelompok ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhitung keras dalam memperingatkan bahaya mereka.
Dalam kesempatan lain , bahkan, dengan sangat keras Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam menjuluki mereka sebagai,
“Seburuk-buruk manusia yang dibunuh dibawah kolong langit ini.  Dan sebaik-baik manusia yang dibunuh adalah orang yang dibunuh mereka.  Mereka itu adalah anjing-anjing penduduk Neraka.  Mereka itu dulunya Muslimin lalu mereka menjadi orang-orang kafir.”  (HR. At-Tirmidzi no. 3000, Ibnu Majah no. 176, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Dari beberapa hadits shahih tersebut, kita dapat melihat sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak berdiam diri dalam melihat sesuatu yang menyelisihi Agama, tetapi mencegahnya, termasuk dalam bentuk nasihat dan peringatan.

oOo

(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2012 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar