{Keadaan Bani Israil Sepeninggal Fir’aun (Berputar-putar / Tersesat di Padang Tiih 40 Tahun)}
بسم الله الر حما ن الر حيم
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya),
“Kemudian Kami hukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka
di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu.
Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas
itu, negeri-negeri bagian Timur bumi dan bagian Baratnya yang telah Kami beri berkah
padanya. Dan telah sempurnalah
keberkahan Tuhan-mu yang baik (sebagai janji) bagi Bani Israil disebabkan
kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa
yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya serta apa yang telah mereka bangun.
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan
itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala
mereka, Bani Israil berkata, ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian ini
adalah kaum yang tidak mengetahui (Sifat-sifat Tuhan).
Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan
yang mereka anut, dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.
Musa menjawab, ‘Patutkah aku mencari Tuhan untuk kalian
selain daripada Allah, padahal Dia-lah yang telah melebihkan kalian atas segala
ummat.’
Dan (ingatlah,
hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan kalian dari (Fir’aun) dan
kaumnya, yang mengadzab kalian dengan adzab yang sangat jahat, yaitu mereka membunuh
anak laki-laki kalian dan membiarkan hidup wanita-wanita kalian. Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar
dari Tuhan-mu.” (Al-A’raf; 136-141)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang ketenggelaman
yang dialami Fir’aun dan bala tentaranya, juga menceritakan bagaimana Dia
mengambil kembali kehormatan, harta kekayaan dari diri mereka. Lalu Dia mewariskan semua kekayaan mereka itu
kepada Bani Israil, sebagaimana yang difirmankan-Nya berikut ini (artinya),
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang
yang tertindas di Bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (Bumi).” (Al-Qashash; 5)
Disini Allah Azza wa Jalla berfirman (artinya),
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas
itu, Negeri-negeri bahagian Timur Bumi dan Bahagian Baratnya yang telah Kami
beri berkah padanya. Dan telah
sempurnalah perkataan Tuhan-mu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil
disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami
hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya serta apa yang telah mereka
bangun.” Maksudnya, Allah Ta’ala
membinasakan semuanya itu, Dia ambil kembali kekuasaan, kehormatan, kewibawaan,
kerajaan dan bala tentaranya, sehingga tidak ada yang tersisa di Mesir kecuali
Rakyat Jelata.
Di dalam buku Sejarah Mesir, Ibnu Abdul Hakam menyebutkan,
“Pada saat itu, kaum wanita bercampur- baur dengan kaum laki-laki, disebabkan
karena para wanita mereka adalah anak-anak para umara dan pembesar
negeri yang menikah dengan rakyat jelata, sedangkan para wanita tersebut
berlaku sewenang-wenang terhadap kaum laki-laki mereka. Keadaan ini akhirnya menjadi kebiasaan para
wanita Mesir sampai sekarang ini.
Mereka (Bani Israil) mengatakan, ketika Allah Ta’ala
menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka pada saat itu pula Musa ‘alaihissalam
bertasbih dengan mengucapkan, “Kami mensucikan Tuhan Yang Mahaindah, yang telah
mengalahkan pasukan bala tentara, melenyapkan para penunggang kuda dari
kalangan mereka ke laut. Dia Mahamenolak
lagi Mahaterpuji.”
Lebih lanjut mereka mengemukakan, kemudian Maryam An-Nabiyah,
saudara perempuan Harun mengambil rebana, lalu kaum wanita pun berhamburan
keluar dengan memegang rebana dan gendang.
Dan Maryam mengumandangkan, “Mahasuci Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa Yang
telah membinasakan pasukan penunggang kuda dan mencampakkan mereka ke laut.”
Demikian itulah yang penulis baca dalam kitab mereka. Dan mungkin itu pula yang disinyalir oleh
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurdzi, dimana ia mengemukakan, bahwa Maryam binti Imran yang
merupakan Ibunda Isa adalah saudara
perempuan Harun (Menurut Ibnu Katsir, Harun yang dimaksud adalah saudara laki-laki senasab dengan Maryam, yang sangat ta'at beribadah dan banyak berbuat kebajikan, bukan Nabi Harun, karena antara keduanya; Nabi Harun dan Maryam terpaut jarak yang sangat jauh, pen.). Yang mana hal tersebut didasarkan oleh Muhammad bin Ka'ab Al-Qurdzi pada firman
Allah Ta’ala,
“Hai saudara perempuan Harun.” (Maryam; 28)
Sebutan mereka An-Nabiyah, adalah seperti sebutan Malikah
bagi wanita yang tinggal di kerajaan, atau Amirah bagi wanita yang
tinggal di Emirat, meskipun mereka tidak berkaitan langsung dengan kerajaan
tersebut. Dengan demikian , sebutan itu
sifatnya hanya sebatas sebutan saja dan Bukan Nabi yang sebenarnya yang
mendapatkan wahyu dari Tuhan.
Mereka menceritakan, bahwa mereka berhasil menyeberangi laut
dan pergi menuju ke Negeri Syam (Syiria) dan tinggal selama tiga hari tanpa
mendapatkan air sama sekali. Lalu mereka
mendapatkan air beracun sehingga mereka tidak dapat meminumnya. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh
Musa ‘alaihissalam untuk mengambil sepotong kayu dan meletakkannya ke
dalam air tersebut, sehingga air itu menjadi manis dan enak untuk diminum. Di tempat itu Allah Ta’ala mengajarkan
berbagai kewajiban dan hal-hal yang sunnah serta berbagai wasiat yang sangat
banyak.
Di dalam kitab-Nya Al-Qur’an , Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga telah berfirman (artinya),
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan
itu, maka setelah mereka sampai ke suatu kaum yang tetap menyembah berhala
mereka, Bani Israil berkata, “Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah tuhan
(berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab, “Sesungguhnya kalian ini
adalah kaum yang tidak mengetahui (Sifat-Sifat Tuhan).”
“Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan
yang mereka anut dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-A’raf; 138-139)
Mereka (sebahagian dari mereka) mengatakan suatu kebodohan
dan kesesatan, padahal mereka telah menyaksikan dan melihat sendiri Tanda-Tanda
Kekuasaan dan Kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla, yang menunjukkan kebenaran
apa yang dibawa oleh Rasul-Nya, Musa ‘alaihissalam. Yang demikian itu hanya karena mereka
berkesempatan melihat suatu kaum yang menyembah berhala. Ada yang mengatakan, bahwa berhala itu
berbentuk seekor sapi. Dan seakan-akan
mereka bertanya kepada para penyembah
berhala itu, “Kenapa mereka menyembah berhala?”
Lalu mereka menjawab, bahwa berhala-berhala itu dapat memberikan manfaat
dan madharat kepada mereka. Dan
mereka juga meminta rezeki kepada berhala-berhala itu jika membutuhkan. Sayangnya, diantara orang-orang bodoh dari
kalangan Bani Israil itu mempercayai hal tersebut. Lalu mereka meminta Nabi mereka, Musa ‘alaihissalam
untuk membuatkan tuhan-tuhan bagi mereka, seperti tuhan-tuhan (para penyembah
berhala) itu. Maka dengan maksud
memberikan penjelasan kepada mereka, Nabi Musa mengatakan, seraya menyebutkan
bahwa mereka itu tidak berakal dan tidak mendapat petunjuk, “Sesungguhnya
mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang
selalu mereka kerjakan.”
Selanjutnya Musa ‘alaihissalam mengingatkan mereka
akan nikmat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah dikaruniakan kepada
mereka, yaitu berupa pengutamaan mereka atas orang-orang lainnya pada masa itu
dengan ilmu dan syari’at serta seorang Rasul yang berada di tengah-tengah
mereka. Yang lebih jelas lagi adalah
penyelamatan mereka dari kekuasaan dan kekejaman Fir’aun dan bala tentaranya,
serta pembinasaan mereka oleh Allah Ta’ala sedangkan mereka ikut menyaksikan
secara langsung. Selain itu, mereka juga
telah dijadikan sebagai pewaris harta kekayaan Fir’aun serta bala tentaranya.
Setelah meninggalkan Negeri Mesir, dan mereka memasuki Kota Baitul
Maqdis, Musa ‘alaihissalam
mendapati di dalam kota tersebut suatu kaum dari kalangan orang-orang perkasa
(kuat) lagi tegar yang berasal dari suku Hitsan, Fazar, Kan’an, dan
lain-lain.
“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Hai
kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian, ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi di antara
kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa
yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara ummat-ummat yang
lain.” (Al-Maidah; 20)
Maksudnya, setiap kali seorang Nabi wafat, maka aka nada Nabi
lain yang mucul dari kalangan kalian, yang berlangsung sejak Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
dan Nabi-Nabi setelahnya. Di
tengah-tengah mereka terus tetap ada Nabi yang menyeru mereka kepada Allah
serta memperingatkan mereka akan adzab-Nya, hingga ditutup oleh Nabi Isa bin
Maryam ‘alaihissalam.
“Hai kaumku, masuklah
ke Tanah Suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan
janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian
menjadi orang-orang yang merugi.”
“Mereka berkata, ‘Hai Musa, sesungguhnya di dalam
negeri itu ada orang-orang yang perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak
akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.’”
“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya berkata, ‘Serbulah mereka
dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kalian memasukinya niscaya
kalian akan menang. Dan hanya kepada
Allah hendaknya kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang-orang yang
beriman.’”
“Mereka berkata, ‘Hai Musa, kami sekali-kali tidak
akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu
pergilah kamu bersama Tuhan-mu, dan berperanglah kalian berdua, sesungguhnya
kami hanya duduk menanti di sini saja.’”
(Al-Maidah; 21-24)
Mereka takut kepada orang-orang perkasa tersebut, padahal
mereka telah menyaksikan sendiri kebinasaan Fir’aun, sedang dia itu (Fir’aun)
lebih perkasa dan lebih kejam dari mereka (orang-orang perkasa tersebut), dan
memiliki pasukan yang lebih banyak. Dan
ini menunjukkan, bahwa mereka dicela dalam ungkapan ini dan terhina dengan
kondisi seperti itu.
Padahal mereka juga telah diberi petunjuk oleh dua orang
yang shalih dari kalangan mereka, agar mereka berani, dan melarang mereka
bersikap pengecut. Ada yang berpendapat,
kedua orang tersebut adalah Yusha’ bin Nun dan Khalib bin Yaufana. Demikian yang dikatakan Ibnu Abbas, Mujahid,
Ikrimah, Athiyyah, Rabi’ bin Anas dan lain-lain.
Kedua orang tersebut berkata, “Serbulah mereka dengan
melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kalian memasukinya niscaya kalian
akan menang. Dan hanya kepada Allah
hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.” Maksudnya, jika kalian benar-benar
bertawakkal kepada Allah dan kalian juga mau menta’ati perintah-Nya serta
mengikuti Rasul-Nya, pasti Allah akan memenangkan kalian atas musuh-musuh
kalian, mendukung dan memperkuat kalian dalam melawan mereka, sehingga kalian
dapat memasuki negeri yang oleh Allah Ta’ala
telah ditetapkan menjadi milik kalian. Namun seruan itu tidak membawa manfaat sama
sekali.
Yang demikian itu merupakan bentuk penolakan mereka untuk
berjihad, sekaligus sebagai bentuk penentangan terhadap Rasul mereka. Dan mereka enggan memerangi musuh.
“Musa berkata, ‘Ya Tuhan-ku, aku tidak menguasai
kecuali diriku sendiri atau saudaraku.
Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.’” (Al-Maidah; 25)
Maksudnya, berikanlah keputusan antara diriku dengan mereka. Yakni, ketika Bani Israil enggan berperang,
maka Musa ‘alaihissalam marah kepada mereka. Dengan mendo’akan keburukan bagi mereka, Musa
berucap, “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri atau
saudaraku.” Maksudnya, tidak ada
seorang pun dari mereka yang menta’atiku, lalu melaksanakan perintah Allah
serta menyambut seruanku, kecuali aku dan saudaraku Harun. “Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan
orang-orang yang fasik itu.” Dari
Ibnu Abbas, Al-Aufi menceritakan, “Yakni, putuskanlah persoalan antara kami
dengan mereka, serta buatlah tabir antara kami dengan mereka.” Hal senada juga dikemukakan oleh Ali bin Abi
Thalhah, dari Ibnu Abbas. Demikian yang
dikatakan oleh Ad-Dhahak, “Berikanlah putusan antara kami dan mereka.” Sedangkan ‘ulama lainnya berkata, “Pisahkanlah
antara kami dan mereka.”
“Allah berfirman, ‘(Jika demikian), maka sesungguhnya
negeri itu diharamkan atas mereka selama 40 Tahun, (selama itu) mereka akan
berputar-putar kebingungan di Bumi( Padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan
nasib) orang-orang yang fasik itu.’” (Al-Maidah; 26)
Setelah Musa ‘alaihissalam mendo’akan keburukan bagi
mereka karena mereka enggan berperang, maka Allah mengharamkan mereka memasuki
Baitul Maqdis selama 40 Tahun. Hingga
akhirnya mereka terdampar di Padang Tiih, mereka terus-menerus berjalan dan tidak
menemukan jalan keluar dari Padang Tiih tersebut.
Kisah ini mengandung celaan bagi orang-orang Yahudi,
sekaligus menjelaskan rahasia mereka, keingkaran mereka kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan keengganan mereka menta’ati apa yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya kepada mereka, yaitu perintah berjihad, sehingga diri mereka tidak
mampu bersabar menghadapi, bersikap keras, dan
menyerang semua musuh. Padahal di
tengah-tengah mereka terdapat Rasul
sekaligus Kalimat Allah pada zaman Nabi Musa ‘alaihissalam. Dia menjanjikan pertolongan dan kemenangan
atas musuh-musuh mereka. Hal itu terjadi
bersamaan dengan apa yang dilakukan Allah ‘Azza wa Jalla terhadap musuh
mereka, yaitu Fir’aun, berupa adzab, siksaan, dan ketenggelaman Fir’aun bersama
bala tentaranya ke dasar laut, sedang mereka melihat, agar mata mereka merasa
puas, dan jejak langkah Fir’aun sangat dekat sekali dengan Bani israil
tersebut.
Mereka diberi siksaan berupa pencampakan mereka ke Padang
Pasir yang tandus. Mereka berjalan kesana-kemari tanpa arah dan tujuan, pada siang maupun malam
hari, sore dan pagi harinya selama 40 Tahun.
Ada yang mengatakan, tidak ada seorang pun yang masuk ke Padang tersebut
dapat keluar. Dan akhirnya mereka semua
mati dalam 40 Tahun, dan tidak seorang pun yang tersisa kecuali Yusha' bin Nun
dan Khalib ‘alaihimussalam. Segala
Puja dan Puji hanya milik-Nya.
(Bersambung, In-sya Allah)
oOo
(Disadur bebas dari kitab “Kisah para Nabi”, Al-Imam
Ibnu Katsir rahimahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar