بسم
الله الر حما ن الر حيم
Islam
datang ke Muka Bumi dengan Rasulullah, Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sebagai Rujukan Utama dan penyampai berita-berita
yang datang dari langit. Melalui
Rasulullah semua masalah diadukan kepadanya dijawab dan melaluinya pula segala
khabar yang tidak sanggup dicari oleh manusia sekitarnya disampaikan.
Kedudukannya di tengah masyarakat Islam pada saat itu tak
ubahnya seperti keadaan seorang Guru di tengah murid-muridnya. Mereka, murid-murid yang dimaksud, dikenal
sebagai Sahabat-sahabat Sang Rasul. Di
antara mereka, ada yang berasal dari Kaum Muhajirin. Ada yang berasal dari Kaum Anshar. Ada pula Sahabat-sahabat lain dari luar dua
kelompok itu.
Proses belajar mereka berlangsung dengan teori dan praktek,
baik dalam ruangan tertentu seperti di dalam Masjid maupun di luar ruangan
seperti ditengah perjalanan atau di tanah lapang. Demikian pula pelajaran dapat berlangsung
dalam bentuk pertemuan rutin atau justru dadakan. Dalam semua keadaan, transfer ajaran dapat
berlangsung. Karena itu, ajaran-ajaran
Islam berkembang pada awalnya melalui Tradisi Hubungan Guru – Murid.
Keadaan seperti itu ternyata terus berlanjut, meski Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah wafat. Murid-muridnya, para
Sahabat Rasulullah , itulah yang menjadi Agen-agen penyebar Ajaran Islam. Mereka semua mewariskan Islam kepada
murid-murid mereka masing-masing.
Murid-murid tersebut kemudian mewariskan lagi ke masyarakat secara luas
melalui cara yang serupa.
Biasanya, dalam hubungan guru-murid yang lebih intens tercipta
ikatan batin yang akrab, sehingga adakalanya seorang murid tidak dikenal, tidak
pula disebut, dengan istilah murid – sebuah istilah yang semula diambil dari perkumpulan orang-orang Sufi. Murid
yang dimaksud biasanya justru dikenal dengan sebutan “Sahabat” untuk
menunjukkan jarak yang dekat antara Guru dan Murid.
Misalkan seorang guru bernama Abu Hanifah, maka
murid-muridnya dikenal dengan sebutan para sahabat Abu Hanifah atau Ashab
Abi Hanifah. Bagi sesama murid pun
penyebutan yang kerap dipakai ketika membicarakan rekan seguru adalah “Ashabuna.”
Penamaan seperti yang terakhir itu lebih mengesankan
pertemanan yang akrab ketimbang hubungan yang bersifat akademis. Biasanya sejumlah murid lebih memilih
pendapat gurunya daripada pendapat orang lain.
Hal ini dapat diwajari, mengingat pola hubungan yang telah
terbentuk. Bentuk hubungan Guru – Murid
itulah yang dikenal dengan istilah Talaqqi.
Dari mejelis-majelis talaqqi, pendapat-pendapat sang
guru dalam pelbagai masalah diketahui banyak orang. Para murid adalah agen-agennya. Khalayak luas mengenal ucapan-ucapan guru
yang ada tersebut dari para muridnya.
Selain itu, dalam hubungan-hubungan tersebut, transfer yang
terjadi bukan sekedar Transfer Pengetahuan dari guru ke murid, tetapi juga bentuk-bentuk
etika yang ada pada guru. Sering
kali pula terjadi seorang murid tanpa sengaja menyerap sifat-sifat pembawaan
gurunya, seperti gaya bicara dan tertawa, gaya berjalan, sikap pribadi
ketika menghadapi masalah, bahkan terkadang juga pilihan-pilihan kata ketika
berbicara dan menulis sebuah makalah ilmiah.
Adalah suatu yang wajar jika yang terjadi kemudian justru
kecenderungan-kecenderungan untuk mengedepankan guru-guru yang memiliki
etika yang baik selain pengetahuan yang mumpuni. Adalah sesuatu yang wajar pula bila muncul
kecenderungan-kecenderungan untuk merasa berat untuk mendatangi guru yang tidak
memiliki etika yang baik meskipun memiliki kadar pengetahuan yang mumpuni.
Untuk melakukan talaqqi sering kali terjadi seorang
murid mesti melakukan perjalanan jauh dan lama.
Perjalanan untuk bertalaqqi seperti ini disebut juga dengan
istilah Rihlah.
Singkatnya, Rihlah di sini berarti suatu perjalanan
keluar daerah untuk mencari guru dan melakukan talaqqi kepadanya. Ar-rihlah fii thalabil ilmi adalah ungkapan umum yang semakna untuk mencari Ilmu Agama. Karena kedudukan Ilmu Agama yang sangat
penting, rihlah dipandang sebagai suatu bentuk ibadah tersendiri yang tidak kalah penting dengan ibadah-ibadah
yang lain.
Seorang murid yang telah menghabiskan waktunya untuk rihlah
biasanya dimuliakan oleh masyarakat tempatnya berdiam. Ia akan dihormati, bahkan disegani oleh
banyak pihak, termasuk oleh Penguasa Negeri Kaum Muslimin.
Dari hasil rihlah yang dilakukannya itu, ia akan
menyampaikan kembali berbagai pengetahuan Agama yang didapatkannya dalam
majelis-majelis talaqqi yang diadakan kelak. Ia akan didatangi orang-orang untuk
mendapatkan dan mempelajari Islam, meskipun mereka harus menempuh jarak yang jauh
dan menghabiskan waktu yang lama.
Dua konsep itu, Talaqqi dan Rihlah,
merupakan kunci utama untuk memahami kemunculan dan keberadaan kelompok Salafi
di Indonesia. Kemunculan mereka
beberapa dasawarsa ke belakang mengikuti pola yang sama. Ada proses untuk talaqqi dan rihlah,
ada persentuhan antara orang-orang Indonesia dengan komunitas Salafi di luar
Indonesia.
Persentuhan itu kemudian mereka lanjutkan dengan membangun
hubungan yang intens. Bertambah
lama hubungan itu terjalin, bertambah pula sejarah yang mereka bangun di
Indonesia. Mereka menyebarkan apa yang
mereka dapatkan dalam talaqqi dan rihlah mereka ke tengah-tengah
masyarakat kita. Mereka mencoba
mempengaruhi masyarakat untuk beragama dengan cara mereka beragama. Bahwa suatu pengaruh dapat pula dibawa oleh
orang-orang lokal, orang-orang Pribumi sendiri, setelah mereka bersentuhan
dengan sumber pengaruh yang ada di luar masyarakat mereka, adalah suatu
fakta yang patut dicatat terkhusus ketika kita berbicara tentang Islam di
Indonesia. Menariknya fakta seperti ini
telah berulang terus-menerus dalam Sejarah Indonesia.
DARI SEPENGGAL SALAFA
Kata Salafi sebenarnya berasal dari kata Salaf. Kata yang terakhir ini adalah bentuk mashdar
dari kata kerja salafa-yaslufu, artinya berlalu. Kata kerja ini dapat bersinonim dengan taqaddama-yataqaddamu
yang berarti medahului dan madha – yamdhi yang berarti pergi berlalu.
Dalam Al-Qur’an, kata Salafa berulang di lima
tempat. Pada masing-masing ayat, kata Salaf
memiliki makna yang telah berlalu, yang dulu, yang telah terjadi
dulu, yang telah terjadi pada masa lalu atau yang semisal dengan
itu.
Kelima tempat itu ada di ayat ke-275 surat
Al-Baqarah, ayat ke-22 dan ke-23 surat An-Nisa’, ayat ke-95 surat
Al-Maidah dan ayat ke-38 surat Al-Anfal.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ فَمَنْ جَاءَهُ
“Padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Maka, siapa saja yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya
kemudian berhenti (dari melakuklan riba), untuknya-lah apa yang telah
diambilnya dulu (sebelum datang larangan) dan urusannya diserahkan kepada
Allah.” (Al-Baqarah;
275)
“Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu kecuali yang telah terjadi pada
masa lalu. Sungguh, perbuatan
seperti itu amat keji dan dibenci Allah serta seburuk-buruk cara (yang
ditempuh).” (An-Nisa’; 22)
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Dan diharamkan
juga atas kalian(menikahi) mengumpulkan (dalam ikatan pernikahan) dua perempuan
bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lalu. Sungguh, Allah Mahapengampun lagi
Mahapenyayang.” (An-Nisa’; 23)
عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ
“Allah telah memaafkan apa
yang telah berlalu.” (Al-Maidah;
95)
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ
لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ
الْأَوَّلِينَ
“Katakan kepada
orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya
Allah akan mengampunkan untuk mereka dosa-dosa mereka yang sudah lalu.
Dan jika mereka kembali lagi,
sungguh akan berlaku (kepada mereka) ketetapan Allah pada orang-orang yang
terdahulu.” (Al-Anfal;
38)
Dalam salah satu hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita dapat pula menemukan kata
Salaf itu dalam hadits A’isyah Radhiyallahu ‘Anha. Lewat Riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim, A’isyah bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pernah bersabda (artinya),
“Maka bertakwalah kepada
Allah dan bersabarlah. Sebab, sesungguhnya
aku ini sebaik-baik pendahulu untuk dirimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5928 dan Muslim no. 2450)
Makna bahasa seperti yang
telah ditunjukkan itu dapat ditemukan dalam sejumlah rujukan. Dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an,
Ar-Raghib Al-Ashfahani mengartikan as-salaf sebagai al-mutaqaddim,
yang mendahului.
Demikian pula Al-Fairuz
Abadi. Dalam Al-Qamus Al-Muhith,
ia mengartikan as-salaf sebagai setiap yang telah mendahuluimu dari
kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu.
Keterangan yang serupa tetapi
lebih lengkap datang dari Ibnul Manzhur.
Dalam Lisan Al-Arab, ia mengartikan as-salaf sebagai siapa
saja yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu yang
mereka itu berada di atasmu dalam masalah usia dan keutamaan.
Dari arti yang diberikan
Ibnul Manzhur itu, dapat dilihat bahwa sifat mendahului yang ada pada
bapak-bapak dan kerabat tersebut bukan sekedar dari sisi waktu, tetapi
juga dari sisi kebaikan dan kelebihan yang mereka miliki. Artinya, ada nilai-nilai luhur tersendiri
pada mereka yang belum tentu dimiliki oleh generasi-generasi setelah mereka
sehingga patut untuk dicontoh dan diwariskan kembali kepada generasi-generasi
yang datang kemudian.
PARA PENDAHULU YANG BAIK
Semua itu menunjukkan makna
secara Bahasa. Dalam literatur-literatur
keislaman klasik, seperti sejumlah Antologi hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan komentar-komentar para ‘ulama terhadap hadits-hadits tersebut, kita bisa
melihat makna salaf yang jauh lebih spesifik.
Misalnya dalam Shahih
Al-Bukhari, Imam Al-Bukhari yang hidup pada 810 – 870 M (sekitar 200
tahun setelah Rasulullah wafat) pernah menyebut kata salaf di dalam
salah satu judul Bab yang dibuatnya.
Judul Bab yang dimaksud adalah “Bagaimana para Salaf Menghemat
Makanan, Daging dan yang Lainnya di Rumah-Rumah dan Perjalanan-perjalanan Mereka.”
Menarik diperhatikan, dalam
Bab tersebut Imam Al-Bukhari hanya meletakkan Dua Riwayat dari Sahabat
Rasulullah. Dua Riwayat itu adalah
Riwayat A’isyah dan Riwayat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Dari Abdurrahman bin Abis rahimahullah,
dari ayahnya, ia berkata,
“Aku bertanya kepada A’isyah Radhiyallahu
‘Anha, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melarang
untuk memakan daging-daging kurban setelah lewat tiga hari?’
A’isyah menjawab, ‘Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukan itu kecuali pada tahun paceklik, sehingga Beliau berharap orang-orang
kaya memberi makan kepada orang-orang miskin.
Sungguh, kami dulu biasa memakan lengan kambing setelah lewat limabelas
hari.’
Ada yang bertanya kemudian,
‘Apa yang mendorong kalian
sampai berbuat seperti itu?’
A’isyah pun tertawa, lalu
menjawab, ‘Keluarga Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah
kenyang makan roti atau gandum lebih dari tiga hari sampai Beliau bertemu
Allah.’” (HR. Al-Bukhari no. 5423)
Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata,
“Kami pernah membekali
diri-diri kami dengan daging-daging hadyu (daging sembelihan orang yang
berhaji).” (HR. Al-Bukhari no. 5424)
Dua Riwayat itu bercerita
tentang sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya
dalam hal makanan mereka, baik ketika sedang mukim maupun ketika melakukan
suatu perjalanan. Memperhatikan dua
redaksi dua riwayat tersebut, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memaksudkan
kata Salaf dalam bab itu kepada Rasulullah dan para Sahabatnya.
Selain itu, masih dalam karya
yang sama, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah juga pernah meletakkan
satu ucapan salah seorang Tabi’in sebagai notasi pendukung di dalam Bab
yang berjudul, “Menunggangi Kuda yang Sulit Dikendalikan.” Rasyid bin Sa’ad rahimahullah, Tabi’in
yang dimaksud, mengatakan, “Adalah para Salaf, yang mereka lebih
menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat berlari dan lebih berani.”
Perkataan Rasyid bin Sa’ad
itu termasuk yang dikomentari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
dalam “Fathul Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari”. Dikenal sebagai salah satu komentator Shahih
Al-Bukhari yang paling diterima sampai saat ini, Ibnu Hajar mengartikan
kata salaf yang dimaksud Rasyid bin Sa’ad itu sebagai orang-orang dari
kalangan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
setelahnya (Tabi’in).
Demikian pula yang bisa kita
temukan dalam “Muqaddimah” Shahih Muslim.
Di dalam karyanya itu, Imam Muslim meletakkan sebuah komentar
dari Abdullah bin Mubarak tentang
kredibilitas seorang periwayat hadits.
Waktu itu, ketika ditanya Ali bin Syaqiq tentang Riwayat-riwayat yang
berasal dari ‘Amr bin Tsabit, Abdullah bin Mubarak menjawab, “Tinggalkan hadits
(yang diriwayatkan) ‘Amr bin Tsabit – sebab ia telah mencerca para Salaf.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang hidup sekitar 100 tahun
setelah zaman kenabian termasuk kedalam Tabi’ut Tabi’in. Ketika ia mengucapkan pembelaannya terhadap Salaf
seperti itu, dapat kita ambil kesimpulan bersama, bahwa Salaf yang
dimaksud dalam ucapannya itu adalah orang-orang dari kalangan Sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Tabi’in.
Meski demikian, Salaf secara
umum diartikan sebagai Tiga Generasi Terbaik di tengah Umat Islam; (1)
Generasi Sahabat Rasulullah, (2) Generasi Tabi’in, dan (3)
Generasi Tabi’ut Tabi’in. Pengertian
seperti itu mengacu kepada dua hadits sebagai berikut (artinya),
“Sebaik-baik manusia
adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu,
kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam pernah ditanya, “Manusia mana yang paling baik?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
pun menjawab (artinya), “Aku dan siapa
saja yang bersamaku sekarang, setelah itu mereka yang mengikuti al-atsar
(sunnahku), setelah mereka adalah mereka yang mengikuti al-atsar
(sunnahku) kembali.” (HR. Ahmad, hadits ini dihasankan Syaikh
Al-Albani)
Dalam pengertian itu, yang
dimaksud Salaf bukan sekedar para Sahabat Rasulullah dan Tabi’in,
tetapi juga mencakup Rasulullah sendiri dan generasi Tabi’ut Tabi’in. Artinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam beserta para Sahabatnya kemudian para Tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in diistilahkan pula dengan Salafush-Shalih, para pendahulu
atau Tiga Generasi Pertama Yang Terbaik.
oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah
Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, 1433 H / 2012 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar