Jumat, 18 Mei 2018

PARA SALAF, MAZHAB SALAF




بسم الله الر حما ن الر حيم


Islam  datang ke Muka Bumi dengan Rasulullah, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Rujukan Utama dan penyampai berita-berita yang datang dari langit.  Melalui Rasulullah semua masalah diadukan kepadanya dijawab dan melaluinya pula segala khabar yang tidak sanggup dicari oleh manusia sekitarnya disampaikan.
Kedudukannya di tengah masyarakat Islam pada saat itu tak ubahnya seperti keadaan seorang Guru di tengah murid-muridnya.  Mereka, murid-murid yang dimaksud, dikenal sebagai Sahabat-sahabat Sang Rasul.  Di antara mereka, ada yang berasal dari Kaum Muhajirin.  Ada yang berasal dari Kaum Anshar.  Ada pula Sahabat-sahabat lain dari luar dua kelompok itu.
Proses belajar mereka berlangsung dengan teori dan praktek, baik dalam ruangan tertentu seperti di dalam Masjid maupun di luar ruangan seperti ditengah perjalanan atau di tanah lapang.  Demikian pula pelajaran dapat berlangsung dalam bentuk pertemuan rutin atau justru dadakan.  Dalam semua keadaan, transfer ajaran dapat berlangsung.  Karena itu, ajaran-ajaran Islam berkembang pada awalnya melalui Tradisi Hubungan Guru – Murid.
Keadaan seperti itu ternyata terus berlanjut, meski  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat.  Murid-muridnya, para Sahabat Rasulullah , itulah yang menjadi Agen-agen penyebar Ajaran Islam.  Mereka semua mewariskan Islam kepada murid-murid mereka masing-masing.  Murid-murid tersebut kemudian mewariskan lagi ke masyarakat secara luas melalui cara yang serupa.
Biasanya, dalam hubungan guru-murid yang lebih intens tercipta ikatan batin yang akrab, sehingga adakalanya seorang murid tidak dikenal, tidak pula disebut, dengan istilah murid – sebuah istilah yang semula diambil  dari perkumpulan orang-orang  Sufi.  Murid yang dimaksud biasanya justru dikenal dengan sebutan “Sahabat” untuk menunjukkan jarak yang dekat antara Guru dan Murid.
Misalkan seorang guru bernama Abu Hanifah, maka murid-muridnya dikenal dengan sebutan para sahabat Abu Hanifah atau Ashab Abi Hanifah.  Bagi sesama murid pun penyebutan yang kerap dipakai ketika membicarakan rekan seguru adalah “Ashabuna.”
Penamaan seperti yang terakhir itu lebih mengesankan pertemanan yang akrab ketimbang hubungan yang bersifat akademis.  Biasanya sejumlah murid lebih memilih pendapat gurunya daripada pendapat orang lain.  Hal ini dapat diwajari, mengingat pola hubungan yang telah terbentuk.  Bentuk hubungan Guru – Murid itulah yang dikenal dengan istilah Talaqqi.
Dari mejelis-majelis talaqqi, pendapat-pendapat sang guru dalam pelbagai masalah diketahui banyak orang.  Para murid adalah agen-agennya.  Khalayak luas mengenal ucapan-ucapan guru yang ada tersebut dari para muridnya.
Selain itu, dalam hubungan-hubungan tersebut, transfer yang terjadi bukan sekedar Transfer Pengetahuan dari guru ke murid, tetapi juga bentuk-bentuk etika yang ada pada guru.  Sering kali pula terjadi seorang murid tanpa sengaja menyerap sifat-sifat pembawaan gurunya, seperti gaya bicara dan tertawa, gaya berjalan, sikap pribadi ketika menghadapi masalah, bahkan terkadang juga pilihan-pilihan kata ketika berbicara dan menulis sebuah makalah ilmiah.
Adalah suatu yang wajar jika yang terjadi kemudian justru kecenderungan-kecenderungan untuk mengedepankan guru-guru yang memiliki etika yang baik selain pengetahuan yang mumpuni.  Adalah sesuatu yang wajar pula bila muncul kecenderungan-kecenderungan untuk merasa berat untuk mendatangi guru yang tidak memiliki etika yang baik meskipun memiliki kadar pengetahuan yang mumpuni.
Untuk melakukan talaqqi sering kali terjadi seorang murid mesti melakukan perjalanan jauh dan lama.  Perjalanan untuk bertalaqqi seperti ini disebut juga dengan istilah Rihlah.
Singkatnya, Rihlah di sini berarti suatu perjalanan keluar daerah untuk mencari guru dan melakukan talaqqi kepadanya.  Ar-rihlah fii thalabil ilmi adalah ungkapan umum yang semakna untuk mencari Ilmu Agama.  Karena kedudukan Ilmu Agama yang sangat penting, rihlah dipandang sebagai suatu bentuk ibadah tersendiri  yang tidak kalah penting dengan ibadah-ibadah yang lain.
Seorang murid yang telah menghabiskan waktunya untuk rihlah biasanya dimuliakan oleh masyarakat tempatnya berdiam.  Ia akan dihormati, bahkan disegani oleh banyak pihak, termasuk oleh Penguasa Negeri Kaum Muslimin.
Dari hasil rihlah yang dilakukannya itu, ia akan menyampaikan kembali berbagai pengetahuan Agama yang didapatkannya dalam majelis-majelis talaqqi yang diadakan kelak.  Ia akan didatangi orang-orang untuk mendapatkan dan mempelajari Islam, meskipun mereka harus menempuh jarak yang jauh dan menghabiskan waktu yang lama.
Dua konsep itu, Talaqqi dan Rihlah, merupakan kunci utama untuk memahami kemunculan dan keberadaan kelompok Salafi di Indonesia.  Kemunculan mereka beberapa dasawarsa ke belakang mengikuti pola yang sama.  Ada proses untuk talaqqi dan rihlah, ada persentuhan antara orang-orang Indonesia dengan komunitas Salafi di luar Indonesia.
Persentuhan itu kemudian mereka lanjutkan dengan membangun hubungan yang intens.  Bertambah lama hubungan itu terjalin, bertambah pula sejarah yang mereka bangun di Indonesia.  Mereka menyebarkan apa yang mereka dapatkan dalam talaqqi dan rihlah mereka ke tengah-tengah masyarakat kita.  Mereka mencoba mempengaruhi masyarakat untuk beragama dengan cara mereka beragama.  Bahwa suatu pengaruh dapat pula dibawa oleh orang-orang lokal, orang-orang Pribumi sendiri, setelah mereka bersentuhan dengan sumber pengaruh yang ada di luar masyarakat mereka, adalah suatu fakta yang patut dicatat terkhusus ketika kita berbicara tentang Islam di Indonesia.  Menariknya fakta seperti ini telah berulang terus-menerus dalam Sejarah Indonesia.

DARI SEPENGGAL SALAFA
Kata Salafi sebenarnya berasal dari kata Salaf.  Kata yang terakhir ini adalah bentuk mashdar dari kata kerja salafa-yaslufu, artinya berlalu.  Kata kerja ini dapat bersinonim dengan taqaddama-yataqaddamu yang berarti medahului dan madha – yamdhi yang berarti pergi berlalu.
Dalam Al-Qur’an, kata Salafa berulang di lima tempat.  Pada masing-masing ayat, kata Salaf memiliki makna yang telah berlalu, yang dulu, yang telah terjadi dulu, yang telah terjadi pada masa lalu atau yang semisal dengan itu.
Kelima tempat itu ada di ayat ke-275 surat Al-Baqarah, ayat ke-22 dan ke-23 surat An-Nisa’, ayat ke-95 surat Al-Maidah dan ayat ke-38 surat Al-Anfal.
 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 
 مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ  فَمَنْ جَاءَهُ 
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.  Maka, siapa saja yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya kemudian berhenti (dari melakuklan riba), untuknya-lah apa yang telah diambilnya dulu (sebelum datang  larangan) dan urusannya diserahkan kepada Allah.”  (Al-Baqarah;  275)
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu kecuali yang telah terjadi pada masa lalu.  Sungguh, perbuatan seperti itu amat keji dan dibenci Allah serta seburuk-buruk cara (yang ditempuh).”  (An-Nisa’;  22)
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
 “Dan diharamkan juga atas kalian(menikahi) mengumpulkan (dalam ikatan pernikahan) dua perempuan bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lalu.  Sungguh, Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”  (An-Nisa’;  23)
عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ 
“Allah telah memaafkan apa yang telah berlalu.”  (Al-Maidah;  95)
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ
“Katakan kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampunkan untuk mereka dosa-dosa mereka yang sudah lalu.  Dan jika mereka kembali lagi, sungguh akan berlaku (kepada mereka) ketetapan Allah pada orang-orang yang terdahulu.”  (Al-Anfal;  38)
Dalam salah satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita dapat pula menemukan kata Salaf itu dalam hadits A’isyah Radhiyallahu ‘Anha.  Lewat Riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, A’isyah bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda (artinya),
“Maka bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.  Sebab, sesungguhnya aku ini sebaik-baik pendahulu untuk dirimu.”  (HR. Al-Bukhari no. 5928 dan Muslim no. 2450)
Makna bahasa seperti yang telah ditunjukkan itu dapat ditemukan dalam sejumlah rujukan.  Dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, Ar-Raghib Al-Ashfahani mengartikan as-salaf sebagai al-mutaqaddim, yang mendahului.
Demikian pula Al-Fairuz Abadi.  Dalam Al-Qamus Al-Muhith, ia mengartikan as-salaf sebagai setiap yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu.
Keterangan yang serupa tetapi lebih lengkap datang dari Ibnul Manzhur.  Dalam Lisan Al-Arab, ia mengartikan as-salaf sebagai siapa saja yang telah mendahuluimu dari kalangan bapak-bapakmu dan kerabatmu yang mereka itu berada di atasmu dalam masalah usia dan keutamaan.
Dari arti yang diberikan Ibnul Manzhur itu, dapat dilihat bahwa sifat mendahului yang ada pada bapak-bapak dan kerabat tersebut bukan sekedar dari sisi waktu, tetapi juga dari sisi kebaikan dan kelebihan yang mereka miliki.  Artinya, ada nilai-nilai luhur tersendiri pada mereka yang belum tentu dimiliki oleh generasi-generasi setelah mereka sehingga patut untuk dicontoh dan diwariskan kembali kepada generasi-generasi yang datang kemudian.

PARA PENDAHULU YANG BAIK
Semua itu menunjukkan makna secara Bahasa.  Dalam literatur-literatur keislaman klasik, seperti sejumlah Antologi hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan komentar-komentar para ‘ulama  terhadap hadits-hadits tersebut, kita bisa melihat makna salaf yang jauh lebih spesifik.
Misalnya dalam Shahih Al-Bukhari, Imam Al-Bukhari yang hidup pada 810 – 870 M (sekitar 200 tahun setelah Rasulullah wafat) pernah menyebut kata salaf di dalam salah satu judul Bab yang dibuatnya.  Judul Bab yang dimaksud adalah “Bagaimana para Salaf  Menghemat Makanan, Daging dan yang Lainnya di Rumah-Rumah dan Perjalanan-perjalanan Mereka.”
Menarik diperhatikan, dalam Bab tersebut Imam Al-Bukhari hanya meletakkan Dua Riwayat dari Sahabat Rasulullah.  Dua Riwayat itu adalah Riwayat A’isyah dan Riwayat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Dari Abdurrahman bin Abis rahimahullah, dari ayahnya, ia berkata,
“Aku bertanya kepada A’isyah Radhiyallahu ‘Anha, ‘Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melarang untuk memakan daging-daging kurban setelah lewat tiga hari?’
A’isyah menjawab, ‘Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukan itu kecuali pada tahun  paceklik, sehingga Beliau berharap orang-orang kaya memberi makan kepada orang-orang miskin.  Sungguh, kami dulu biasa memakan lengan kambing setelah lewat limabelas hari.’
Ada yang bertanya kemudian,
‘Apa yang mendorong kalian sampai berbuat seperti itu?’
A’isyah pun tertawa, lalu menjawab, ‘Keluarga Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah kenyang makan roti atau gandum lebih dari tiga hari sampai Beliau bertemu Allah.’  (HR. Al-Bukhari no. 5423)
Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata,
“Kami pernah membekali diri-diri kami dengan daging-daging hadyu (daging sembelihan orang yang berhaji).”  (HR.  Al-Bukhari no. 5424)
Dua Riwayat itu bercerita tentang sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Sahabatnya dalam hal makanan mereka, baik ketika sedang mukim maupun ketika melakukan suatu perjalanan.  Memperhatikan dua redaksi dua riwayat tersebut, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memaksudkan kata Salaf dalam bab itu kepada Rasulullah dan para Sahabatnya.
Selain itu, masih dalam karya yang sama, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah juga pernah meletakkan satu ucapan salah seorang Tabi’in sebagai notasi pendukung di dalam Bab yang berjudul, “Menunggangi Kuda yang Sulit Dikendalikan.”  Rasyid bin Sa’ad rahimahullah, Tabi’in yang dimaksud, mengatakan, “Adalah para Salaf, yang mereka lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat berlari dan lebih berani.”
Perkataan Rasyid bin Sa’ad itu termasuk yang dikomentari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam “Fathul Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari”.  Dikenal sebagai salah satu komentator Shahih Al-Bukhari yang paling diterima sampai saat ini, Ibnu Hajar mengartikan kata salaf yang dimaksud Rasyid bin Sa’ad itu sebagai orang-orang dari kalangan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan setelahnya (Tabi’in).
Demikian pula yang bisa kita temukan dalam “Muqaddimah” Shahih Muslim.  Di dalam karyanya itu, Imam Muslim meletakkan sebuah komentar dari  Abdullah bin Mubarak tentang kredibilitas seorang periwayat hadits.  Waktu itu, ketika ditanya Ali bin Syaqiq tentang Riwayat-riwayat yang berasal dari ‘Amr bin Tsabit, Abdullah bin Mubarak menjawab, “Tinggalkan hadits (yang diriwayatkan) ‘Amr bin Tsabit – sebab ia telah mencerca para Salaf.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah yang hidup sekitar 100 tahun setelah zaman kenabian termasuk kedalam Tabi’ut Tabi’in.  Ketika ia mengucapkan pembelaannya terhadap Salaf seperti itu, dapat kita ambil kesimpulan bersama, bahwa Salaf yang dimaksud dalam ucapannya itu adalah orang-orang dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Tabi’in.
Meski demikian, Salaf secara umum diartikan sebagai Tiga Generasi Terbaik di tengah Umat Islam; (1) Generasi Sahabat Rasulullah, (2) Generasi Tabi’in, dan (3) Generasi Tabi’ut Tabi’in.  Pengertian seperti itu mengacu kepada dua hadits sebagai berikut (artinya),
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu, kemudian generasi yang mengikuti mereka setelah itu.”  (HR.  Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya, “Manusia mana yang paling baik?”  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menjawab (artinya), “Aku dan  siapa saja yang bersamaku sekarang, setelah itu mereka yang mengikuti al-atsar (sunnahku), setelah mereka adalah mereka yang mengikuti al-atsar (sunnahku) kembali.”  (HR.  Ahmad, hadits ini dihasankan Syaikh Al-Albani)
Dalam pengertian itu, yang dimaksud Salaf bukan sekedar para Sahabat Rasulullah dan Tabi’in, tetapi juga mencakup Rasulullah sendiri dan generasi Tabi’ut Tabi’in.  Artinya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beserta para Sahabatnya kemudian para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in diistilahkan pula dengan Salafush-Shalih, para pendahulu atau Tiga Generasi Pertama Yang Terbaik.

oOo
(Disalin dari kitab “Sejarah Salafi di Indonesia”, Abu Mujahid, 1433 H / 2012 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar