Sabtu, 30 Mei 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (237)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Sebaik-baik kaum muslimin, adalah seorang yang dengan (sekuat tenaga)nya berupaya menghidupkan kembali satu Sunnah dari sekian banyak Sunnah Rasulullah yang banyak ditinggalkan manusia.
Oleh karena itu, bersabarlah wahai penebar Sunnah Nabi.  Semoga Allah merahmati kalian.
Sungguh, kalian merupakan kelompok manusia yang jumlahnya sedikit."

(Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah)


oOo

PENYIMPANGAN AJARAN SUFI


بسم الله الرحمان الرحيم

Ratusan, bahkan mungkin ribuan jenis Tarikat terdapat di seluruh dunia, termasuk di negeri yang kita cintai ini (Indonesia).
Terjemahan bebasnya, kata "Tarikat" dapat bermakna suatu ajaran / cara / jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (Mencari jalan sendiri).


Sehingga, ajaran Shufiyah (sufisme) tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dan para Sahabat Beliau semasa hidup, tidak pula dikenal pada masa Tabi’in, dan Tabi’it-tabi’in.  Ajaran tasawwuf, kaum sufi ini baru muncul setelah berlalu 3 (tiga) generasi utama (terbaik) tersebut.

▪️Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa awal mula munculnya shufiyah adalah di kota Bashrah, Irak. (Fatawa, 11/5)

▪️Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i berkata: “Bid’ah Tasawuf, baru muncul setelah tahun ke-200 H. Tasawuf tidak ada di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di zaman Sahabat maupun Tabi’in.” (Mushara’ah, hal. 376)

Sebagai ajaran yang baru dalam agama Islam, Tasawwuf atau Shufiyah mengajarkan berbagai macam penyimpangan (kesesatan), di antaranya:

1⃣ Shufiyah berpecah menjadi beberapa kelompok (Tarikat-tarikat). 
Di antara nama tarikat yang terkenal adalah:  Tarikat Tijaniyah, Tarikat Qadiriyah, Tarikat  Naqsyabandiyah, Tarikat Syadziliyah, Tarikat Rifa'iyah, Tarikat Syahrawardiyyah, Tarikat Jistiyyah, dan lain-lain.

Tidak sekedar berbeda nama, melainkan mereka juga berbeda dalam keyakinan, dan amaliyah.  Masing-masing tarikat berbeda-beda sesuai dengan pola pikir dan hawa nafsu setiap penganutnya. Demikianlah kaum shufi berpecah-belah, padahal Islam telah melarang perpecahan dan hanya mengenal satu saja jalan kebenaran, yaitu Ash-Shirathal Mustaqim. Jalan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam.

 2⃣ Sebagian Shufiyah Berdo'a Kepada Selain Allah.
Sebagian dari mereka berdoa kepada para Nabi, para Malaikat, dan para Wali, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Mereka menyeru wali wali mereka yang sudah meninggal itu di saat-saat sempit, "Wahai Sayyid Badawi", "Wahai Sayyid Rifa’i,  "Wahai Sayyid Idrus, "Wahai Syaikh Abdul Qodir Jailani, bantulah kami".
Padahal doa merupakan salah satu bentuk ibadah, yang hanya boleh (mutlak) harus ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahi ’Alaihi wa Sallam bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah.”
Maka, terjerembablah mereka (jatuh) kepada Syirkun Akbar (Syirik Besar) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam.

3⃣ Shufiyah meyakini adanya Badal dan Quthub, yakni orang-orang yang meyakini sebagian wali tersebut IKUT ANDIL MENGATUR ALAM SEMESTA.
Ini adalah bagian dari kesyirikan dalam Rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala, Sebagai Satu-Satunya Dzat Yang Maha Menciptakan, Mengatur Alam Semesta, Yang menentukan hukum, Yang memberikan rizki, Yang menghidupkan dan mematikan.  Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, serta siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab, 'Allah.'  Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?'"  (Yunus: 31)

4⃣ Sebagian shufiyah
meyakini WIHDATUL WUJUD (manunggaling kawula gusti / penyatuan Pencipta / Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan hamba / makhluk) 

Menurut mereka, tidak ada perbedaan antara Al-Khalik (Yang Maha Menciptakan) / Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya (yang diciptakan), semuanya adalah makhluk dan semuanya adalah Allah (Al-Khalik).  Jadi, pada hakikatnya mereka jauh lebih sesat lagi daripada orang-orang Nasrani dan orang-orang Yahudi yang hanya memiliki dua atau tiga sesembahan.

5⃣ Shufiyah membolehkan BERJOGET, BERNYANYI sambil menabuh rebana dan berdzikir dengan suara yang keras, hingga "Mabuk kepayang" / kesurupan.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kepada kita untuk berdoa dan berdzikir menyebut Nama-Nya dengan suara yang lembut, menyadari kehinaan diri sebagai makhluk (Tawadhu'), sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bukan dengan suara keras, tarian dan nyanyian (musik).

▪️Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad'i rahimahullah mengatakan bahwa, “Ibnul Qayyim  pernah menerangkan, bahwa beliau pernah melihat orang-orang shufiyah berjoget di Arafah. Beliau melihat mereka berjoget diiringi rebana. Juga melihat mereka berjoget di Masjid Khaif.” (Mushara’ah hal. 388 secara ringkas)

▪️Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi  juga mengatakan: “Pernah satu hari aku naik ke Masjidil Haram bagian atas. Aku dapati sekelompok besar manusia dari Turki, Sudan, dan Yaman, mereka berjoget sambil berputar-putar...” (Mushara'ah hal. 387)
Di antara mereka, ada yang menari sambil berputar-putar hingga tak sadarkan diri (pingsan).

7⃣ Sebagian Shufiyah Mengklaim Mengetahui Ilmu Ghaib 
Yang mereka istilahkan dengan ILMU LADUNI atau KASYSYAF

Padahal pengetahuan tentang ilmu ghaib hanya ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagaimana termaktub dalam makna firman-Nya,
"Katakanlah, 'Tidak ada seorang pun di langit maupun di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah.”  (An-Naml: 65)

8⃣ Shufiyah Mengklaim Bahwa ALLAH MENCIPTAKAN NABI MUHAMMAD DARI CAHAYA-NYA, kemudian Allah menciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad.  Dan Al-Qur’an telah membantah keyakinan mereka tersebut, antara lain dalam makna firman-Nya,
"Tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."  (Adz-Dzariyat;  56)
Bagaimana mungkin Cahaya (Dzat) Allah diperintahkan oleh Allah untuk menyembah Allah sendiri?  Apakah mereka tidak berpikir?

9⃣ Mereka Membagi Manusia Menjadi Tiga Tingkatan;
a. Tingkatan Syariat
b. Tingkatan Makrifat, dan
c. Tingkatan Hakikat.

Pada Tingkatan Syari'at masih ada kewajiban beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada Tingkatan Hakikat (tertinggi) seseorang tidak lagi terikat dengan beban Taklif (Kewajiban ibadah), tidak lagi terikat dengan masalah Halal dan Haram.  Mereka bebas berbuat apa saja yang mereka maui.
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."
Allah Subhanahu wa Ta'ala membantah Keyakinan sesat mereka itu dengan makna firman-Nya (antara lain),
"Dan, sembahlah Rabb-mu hingga datang kepadamu Al-Yaqin (Kematian)."  (Al-Ayah)

Dari sedikit catatan di atas, tampaklah pada kita betapa jauhnya penyimpangan kaum shufiyyah, dengan berbagai jenis tarikat yang terdapat di dalam kelompok mereka.
"Wabillahittaufiq." (Hanya dari Allah sematalah datangnya Taufik)

oOo

Disadur bebas dari;

📲share https://t.me/suaratauhidfm

🌐 https://problematikaumat.com/catatan-kelam-sufisme-dan-tarekat/



Jumat, 29 Mei 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (236)


بسم الله الرحمان الرحيم

Al-Imam Al-Hasan, bila menyebutkan hadits tentang tangis kerinduan sebongkah kayu - maka ia berkata,
"Wahai ummat Islam, kayu tersebut rindu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, rindu untuk bertemu dengan Beliau.  Dan, kalian lebih berhak untuk rindu kepada Beliau."


oOo

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (235)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Masing-masing diri, baik orang yang mencintai sesuatu karena Allah, maupun orang yang dicintai karena Allah - akan mengantarkan kepada Allah."
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

"Jika hati hamba telah terpaut karena Allah, maka ia akan mencintai segala sesuatu yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah, hal itu makin menambah kedekatan."
(Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Khudairy)


oOo

Rabu, 27 Mei 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (234)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Yang bermanfaat bagi hamba hanyalah cinta karena Allah terhadap orang-orang yang dicintai-Nya, seperti para Nabi, dan Shalihin - Karena mencintai mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah dan (meraih) cinta-Nya.  Sementara, mereka adalah orang-orang yang berhak mendapatkan cinta Allah."
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)


oOo

Senin, 25 Mei 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (233)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Hari Raya itu bukanlah milik orang yang berpakaian baru, akan tetapi milik orang yang keta'atannya bertambah (setelah Ramadhan).  Dan bukan pula milik orang yang berhias dengan pakaian yang indah, dan kendaraan yang bagus, akan tetapi Hari Raya itu adalah milik orang-orang yang diampuni dosa-dosanya."
(Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)


oOo

Minggu, 24 Mei 2020

"UCAPAN KHUSUS DARI PENULIS, UNTUK PARA PEMBACA BLOG 'BENANG MERAH - 129 BUAH ILMU' PADA MOMEN 'IDUL FITRI 1441 H / 2020 M DI SELURUH DUNIA"


بسم الله الرحمان الرحيم

اسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

"تقبل الله منا ومنكم"
(SEMOGA ALLAH MENERIMA SEMUA AMAL IBADAH KAMI, DAN PARA PEMBACA YANG MULIA)

oOo


Sabtu, 23 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441H / 2020 M (Hari ke-30)


بسم الله الرحمان الرحيم

MENYAMBUT IDUL FITRI 1441 H / 2020 M DI MASA COVID-19

1. Takbiran 'Ied
Beberapa pandangan para Fuqaha;
Mayoritas 'ulama kita berpendapat, bahwa Takbiran 'Ied di mulai Pagi hari sebelum shalat 'Ied, dan berhenti begitu shalat 'Ied di tegakkan (Waktu yang Afdhal). Sebagian lagi mengatakan bisa dimulai setelah tenggelamnya matahari (masuk 1 Syawal), dan berhenti ketika shalat 'Ied ditegakkan (Waktu yang Dibolehkan).  Yang membolehkan sejak terbenamnya matahari berdalil dengan Surat Al-Baqarah; 185 (artinya),
'Dan, hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."
Dalam ayat ini disebutkan;  Menyempurnakan bilangan dan takbir setelah itu.
* Lafazh Takbir bisa mengucapkan  الله اكبر  ("Allahu Akbar") secara berulang-ulang terus-menerus.
* Boleh juga dengan Lafazh yang disebutkan para Salaf;
الله اكبر  "(Allahu Akbar") sebanyak 2 (dua) kali, atau 3 (tiga) kali dalam atsar lain, kemudian dilanjutkan dengan,  لا اله الا الله والله اكبر   الله اكبر ولله الحمد  ("Laa ilaaha Illa Allahu wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil hamd"), demikian diulang-ulang.
* Boleh juga dengan Lafazh, الله اكبر  ("Allahu Akbar") 3 (tiga) kali, kemudian, الله اكبر كبيرا  (Allahu Akbar Kabiira), demikian diulang-ulang.
Maka, bila ada Atsar dari Salaf dipersilakan.  
Namun, disana ada penjelasan dari Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam bukunya "Fathul Baari", bahwa di zaman beliau telah ada Lafazh Takbir yang diada-adakan, apalagi di zaman kita sekarang.  Hendaklah hal itu dihindari,  "Sungguh, telah diada-adakan Lafazh Takbir yang tidak ada contohnya dari para Salaf (Muhdats / perkara baru)."
Pelaksanaannya dilakukan sendiri-sendiri (tidak dikomando / dipimpin seseorang).
Untuk kaum laki-laki Lafazh Takbir dikumandangkan secara lantang (Zhahar), mulai dari rumah, di masjid-masjid, di pasar-pasar, di jalan-jalan untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasa syukur, dengan penuh khidmat.
Diperbolehkan menggunakan pengeras suara - asal tidak mengganggu orang lain.
Adapun kaum wanita melafazhkannya dengan lirih (sirr), karena mereka diperintahkan untuk menutupi dirinya.
Adapun pada masa Covid-19 ini, Lafazh Takbir cukup dilakukan di rumah, berdasarkan anjuran Pemerintah.
Dan di pagi hari 1 Syawal dianjurkan untuk melaksanakan Shalat 'Ied.  Ada yang mengatakan hukumnya Sunnah Mu'aqadah, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya.
Dan, sekali lagi di masa Covid-19 ini pelaksanaan shalat 'ied cukup di rumah saja bersama keluarga inti, untuk menghindari resiko yang besar dari wabah penyakit bila diadakan di kerumunan-kerumunan.
Pelaksanaannya dilakukan seperti biasa, dengan 7 (tujuh) kali Takbir di raka'at pertama di luar Takbiratul Ihram, dan 5 (lima) kali Takbir pada raka'at kedua di luar Takbir bangkit dari sujud.
Pada raka'at pertama setelah membaca Al-Fatihah - membaca surat Sabbihis, dan pada raka'at yang kedua setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Ghasyiyah.
Dan dilaksanakan tanpa Khutbah.
Waktunya, setelah berlalu waktu larangan shalat Sunnah setelah shalat Fajar (Subuh).
Meskipun beberapa sunnah terluput untuk dikerjakan di masa Covid-19 ini - seperti melafazkan Takbir sejak keluar dari rumah hingga ke tanah lapang, mengambil jalan yang berbeda setelah pulang dari shalat 'ied, namun beberapa sunnah yang memungkinkan untuk dikerjakan tetap dilakukan seperti berhias, memakai pakaian yang paling bagus (tidak harus baru), mandi, memakai wangi-wangian, berbuka dulu sebelum shalat 'Ied.
Hal lain adalah ucapan saling mendoakan,  تقبل الله منا و منكم  /  "Taqabbalallahu Minna wa Minkum"  (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu).  Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, "Bahwa do'a ini diucapkan pada hari 'ied saja, tidak pada waktu sebelum dan sesudahnya, dan tidak pula  disunnahkan untuk saling meminta maaf."
Hal yang perlu diingatkan adalah, agar tidak merayakan 'ied dengan perkara-perkara sia-sia, hura-hura, dan maksiat, termasuk melanggar larangan Pemerintah.
Terakhir, yang sangat dianjurkan untuk melaksanakan puasa Sunnah dalam bulan Syawal selama 6 (enam) hari, sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 (enam) hari Syawal, maka seakan-akan dia telah berpuasa setahun penuh."  (HR. Muslim, dari Abu Ayyub Al-Anshary)
Teknisnya, dianjurkan untuk menyempurnakan dulu Puasa Ramadhan (bagi yang mengqadha) bila tidak ada udzur syar'i, baru kemudian puasa Syawal.  Karena mengqadha hukumnya wajib, sedangkan puasa Syawal hukumnya Sunnah.  Kecuali bila waktunya tidak memungkinkan, maka diperbolehkan dia mendahulukan puasa Syawal (dikarenakan waktunya terbatas pada bulan Syawal), sedangkan puasa Qadha waktunya panjang (Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
Puasa Syawal ini Afdhalnya dikerjakan tanggal 2 (dua) Syawal - berturut-turut selama 6 (enam) hari, tapi boleh juga diselang-seling hingga tercukupi enam hari.  Tetapi bila kurang dari enam hari, maka ganjarannya juga berkurang, tidak seperti orang yang berpuasa selama setahun penuh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mpertemukan kita kembali dengan bulan Ramadhan di tahun depan dengan kondisi yang normal, Amiin ya Rabbal 'Alamin.


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)


TIMBANGAN YANG TEPAT


بسم الله الرحمان الرحيم

Berbagai bendera dikibarkan oleh pihak / kelompok / para da'i yang menyeru umat kepada individu, kelompok, dan kekuasaan marak terjadi di zaman fitnah ini.
Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk menimbangnya dengan timbangan Syar'i yang benar (tepat).  Yakni, timbangan Ahlussunah wal Jama'ah.
Orang-orang yang menimbang dengan timbangan itu (Al-Qur'anul Karim, dan As-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), maka hasil timbangannya akan tepat, tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurang-kurangi.


Makna firman Allah 'Azza wa Jalla,
"Kami akan memasang timbangan (Mizan) yang tepat pada Hari Kiamat.  Maka, tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun."  
(QS. Al-Anbiya;  47)
Warisan yang ditinggalkan oleh generasi terbaik Islam terdahulu, yang dengannya mereka menimbang berbagai perkara, ucapan, pemikiran, tulisan, dan berbagai situasi (fitnah) yang bisa muncul setiap saat.
Dengan timbangan itu, mereka juga mampu menimbang bobot suatu perkara, ucapan, tulisan, maupun pemikiran seseorang.
Sebagaimana dijelaskan oleh para Imam Dakwah dan para Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, bahwa timbangan yang dimaksud memiliki beberapa kriteria;
1. Timbangan yang dengannya dapat dibedakan antara ajakan Islam yang lurus (benar), dan ajakan di luar Islam.
Bila suatu ajakan itu disandarkan kepada Islam, maka akan berlaku padanya hukum-hukum syar'i yang harus diterapkan, berdasarkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Timbangan yang dengannya dapat dibedakan antara ajakan Islam yang sempurna yang tidak mengandung penyimpangan sedikitpun, dengan ajakan yang mengandung penyimpangan yang tampak nyata atau yang terselubung (Syubhat; kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran).

Timbangan yang pertama akan menghasilkan penilaian berupa Keimanan atau Kekufuran (yang besar maupun yang kecil).  Yaitu, apakah ajakan itu bersumber dari Islam, atau selainnya.
Adapun, timbangan yang kedua menghasilkan penilaian apakah ajakan itu berada di atas petunjuk, yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, ataukah tidak.

Timbangan Pertama, yang dengannya dapat dibedakan antara keimanan dan kekufuran, meliputi 3 (tiga) kategori;
a. Harus dilihat, apakah di sana terkandung unsur pelaksanaan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya (Tauhidullah), atau tidak (bercampur dengan kesyirikan)?  Karena, pokok agama para Nabi dan Rasul adalah, bahwa mereka diutus tidak lain untuk menegakkan Tauhidullah.
Tauhid merupakan pondasi (dasar) penilaian atas setiap perkara, sekaligus merupakan akhir (muara) dari perkara agama ini (Islam).
(Baca artikel, TUJUAN PARA RASUL DIUTUS)
Maka, barangsiapa yang mengibarkan bendera Tauhid, dan mengikrarkan peribadatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata tanpa sekutu bagi-Nya, maka dia adalah seorang mukmin Muwahid.
Dengan timbangan pertama ini kita dapat melihat, apakah orang yang mengibarkan bendera Islam tersebut merealisasikan Tauhid atau tidak.  Atau, di sana terkandung peribadatan kepada selain Allah.
Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla,
ولقد بعثنا فى كل أمة رسولا  انعبدوا الله  واجتنبوا الطغوت
"Walaqad' ba'atsnaa fiy kulli ummatin rasuwlan ani'budullaha waj'tanibuw at-taghuwta"

"Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (agar menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja)', dan jauhilah thaghut itu.'"  
(QS. An-Nahl; 36), dan makna firman-Nya,
"(Yaitu) orang-orang yang apabila Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar;  Dan, kepada Allah-lah kembali segala perkara (urusan)."  
(QS. Al-Hajj;  41)
Sebagian ahli tafsir berkata,  وامروا بالمعروف  /  "Wa amaruw bil ma'ruwfi"  (Menyuruh berbuat yang ma'ruf) maksudnya adalah, menyuruh mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan  ونهوا عن المنكر  / "Wanahaw 'anil munkari"  (Dan mencegah dari perbuatan mungkar), maksudnya adalah mencegah berbagai bentuk kesyirikan.  Karena amal kebaikan yang paling tinggi (Ikhlas) adalah Tauhidullah, dan kemungkaran yang paling buruk adalah syirik.
Itulah timbangan yang pertama.

b. Hendaklah anda melihat realisasi Syahadat "Muhammad adalah Rasul Allah".  Karena, di antara konsekwensi syahadat ini adalah berhukum dengan apa yang dibawa Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wa sallam Sebagaimana makna firman-Nya,
"Maka, demi Rabb-mu - mereka (pada hakikatnya) tidak beriman - sampai mereka menjadikan kamu sebagai Hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."  
(QS. An-Nisa;  65), dan
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki.  Dan, (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"  
(QS. Al-Maidah;  50), dan
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang Kafir."  
(QS. Al-Maidah;  44)
Bila anda melihat suatu bendera, dimana orang-orang yang mengibarkannya berhukum dengan syari'at Allah, dan menghukumi setiap perkara manusia dengannya.  Dan, bila manusia berselisih dalam perkara mereka siapa yang menghukumi?  Yang menghukumi adalah Qadhi (Hakim) yang syar'i - maka, seketika itu juga anda akan mengetahui bahwa bendera itu adalah bendera Islam.  Karena, para pembawa bendera itu berhukum dengan syari'at Allah 'Azza wa Jalla, dan menegakkan pengadilan yang syar'i - berhukum kepada apa yang telah Allah turunkan.
Dan, tidak seorangpun yang (berhak) mengharuskan berhukum kepada selain yang Allah turunkan, atau mengharuskan untuk Ridha kepada selain hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.

c. Hendaklah anda melihat, apakah di sana terdapat penghalalan terhadap hal-hal yang haram?  Atau, apakah anda melihat bila ada yang mengerjakan hal-hal yang haram mereka membencinya serta mengingkarinya?
Bila didapati sesuatu yang telah disepakati keharamannya, boleh jadi akan ada 2 (dua) kejadian;
* Bisa jadi keharaman tersebut dianggap halal - maka ini adalah kekufuran, "Wal 'Iyaadzubillah"
* Bisa jadi pula keharaman itu tidak dianggap halal, tetapi hal tersebut ada - sementara para pembawa bendera tetap menganggap hal itu sebagai sesuatu yang munkar dan haram, dan anda mengetahui bahwa bendera tersebut tetap merupakan bendera yang syar'i dan Islam.  Inilah 3 (tiga) kriteria yang dijelaskan oleh para Imam kita, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati mereka.
Semua di atas baru bagian pertama dari timbangan-timbangan tersebut.

Adapun Timbangan Kedua, adalah Timbangan yang dengannya diketahui Islam yang sempurna dan yang tidak sempurna.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berpegang kepada Islam secara keseluruhan (Kaffah), sebagaimana yang datang dari Allah Jalla wa 'Ala, sehingga Beliau adalah orang yang paling diteladani.
Para Khulafa Ar-Rasyidin ridhwanullahu 'alaihim juga telah berpegang dengan Islam tersebut.  Dan, terus-menerus mengamalkan Islam yang sempurna.  Kemudian, berkurang sedikit demi sedikit hingga pada zaman kita sekarang.  Sebagaimana yang telah dikatakan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Tidaklah datang pada manusia suatu zaman, melainkan zaman yang setelah nya lebih buruk dari sebelumnya - hingga kalian bertemu dengan Rabb kalian (Kiamat)."
Hendaklah anda memperhatikan Timbangan ini, bagaimana penerapannya dalam perkara-perkara syari'at, bagaimana penerapannya dalam perkara shalat, bagaimana penerapannya dalam "amar ma'ruf dan nahi munkar", yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib?  Dan, melarang hal-hal yang haram?  Bila hal tersebut telah terlaksana dengan sempurna - maka, menunjukkan kesempurnaan ajakan itu.  Sebaliknya, bila kurang - maka sejauh itu pulalah kekurang sempurnaan ajakan tersebut.
Inilah unsur-unsur yang penting yang harus ada dalam hati dan akal (pikiran) anda, jangan sampai anda terluput darinya.
Dengan demikian, ketika terjadi sesuatu, anda tidak tersesat jalan dan tidak merasa samar dengan perkara yang terjadi.
---

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,

“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia berupa ushuluddin (pokok-pokok Agama) dan furu’ (cabang-cabang)nya –  kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.  Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terkandung jalan keluar bagi seluruh perkara yang diperselisihkan.  Bisa jadi secara jelas (terperinci) di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang serupa dengannya, dapat dikiaskan padanya.  Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah fondasi bangunan agama.  Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya.  Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” 

(Taisir Karimir Rahman).

Bila telah jelas bagi anda, dan tampak perbedaan antara yang Islam dengan yang tidak Islam, maka kewajiban anda setelahnya adalah ber-wala' (memberikan loyalitas) dalam kebenaran dan petunjuk kepada bendera yang Islam, karena itulah perintah Allah 'Azza wa Jalla - agar berwala kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa, dan agar berpegang teguh dengan tali Allah, dan menghindari perpecahan.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Ber-wala';
1. Hendaklah anda memberikan loyalitas kepada bendera ini dengan benar, tanpa disertai penyimpangan, kesamar-samaran, dan keragu-raguan, karena pilihan yang ada hanya antara Islam dan Kekufuran, sehingga bila telah jelas keislamannya, maka terdapat konsekuensi-konsekuensi hukum-hukum syariat padanya.  Dan, tidak halal bagi seorang muslim untuk menjadikan kemaksiatan (yang ada di sana) sebagai alasan untuk membolehkan tidak berpegang teguh dengan perintah Allah dan Rasul-Nya - berupa wala' kepada kaum mukminin, dan kepada orang-orang yang berperang di jalan Allah.
2. Hendaklah anda menasihati para pengikut bendera tersebut dengan nasihat yang Allah ketahui berasal dari hati anda (ikhlas).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki jalan yang berbeda dengan para Ahlul Bid'ah yang menyukai perpecahan.  Dimana, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menasihati orang yang dijadikan Pemimpin oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan banyak berdoa untuknya, meskipun mereka melihat apa-apa yang tidak mereka sukai, mereka tetap banyak berdoa untuk Pemimpin itu, dan menasihatinya dengan Ikhlas dari hati-hati mereka.  Dan, tidaklah mereka mengharapkan balasan dan ucapan terimakasih dengan do'a dan nasihat mereka itu - kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, bukan karena tendensi lain.  Bila hal ini telah tertancap kuat di dalam hati, berarti kita benar-benar menjadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Perhatikanlah berbagai kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, anda pasti menemukan bab-bab khusus yang berkaitan dengan hak-hak Pemimpin terhadap rakyat, dan hak rakyat terhadap Pemimpinnya.  Karena, dengan itulah Al-Jama'ah bisa terwujud, dan terwujud pula pengembalian pandangan kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Sikap ini sesuai dengan anjuran Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, agar menasihati Pemimpin kaum muslimin, serta menasihati kaum muslimin secara luas,
الدين النصيحة  /  "Ad-diynu an-nashiyhatu"  (Agama itu adalah nasihat).
Dan, telah diketahui dengan pasti, bahwa nasihat itu adalah Wajib, dan seorang muslim mau tidak mau harus menasihati.  Maka, bagaimanakah nasihat itu dilakukan?  Bagaimana cara menjelaskannya?  Tentunya Nasihat itu dilakukan sebagaimana yang telah dijelaskan As-Sunnah, bukan menurut kehendak (selera) kita sendiri / sekelompok orang.
(Baca artikel, MASALAH KEIMANAN BUKAN MASALAH SELERA)
Disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Iyadh bin Ghunm berkata kepada Hisyam bin Hakim radhiyallahu 'anhuma, "Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Barangsiapa yang ingin menasihati Penguasa, maka janganlah melakukannya terang-terangan, tetapi hendaklah dia pegang tangan Penguasa itu dan menyendiri bersamanya.  Bila Penguasa itu menerima - maka itulah yang diharapkan, bila tidak - maka sungguh ia telah menunaikan kewajibannya."
Dengarlah Sunnah Mustafa shallallahu 'alaihi wa sallam.  Dan, bukankah anda semua bersemangat untuk mengikuti As-Sunnah?  Sebagaimana Ahlus Sunnah wal Jama'ah bersemangat mengikutinya.
Dari semua penjelasan di atas, diketahuilah perkara penting ini, yang tampak ketika keadaan berubah, dan berbagai fitnah muncul ke permukaan.
Hal itu menjadikan kita berada dalam ketenangan, dan menjadikan kita sebagai orang yang mengikuti sabda Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wa sallam.  Bila kita mengambilnya, maka kita akan selamat dengan idzin Allah.  Bila kita tidak mengambilnya, maka kita akan ditimpa berbagai kekurangan dan penyimpangan dari jalan As-Sunnah wal Jama'ah - sesuai dengan kadar penyimpangan yang kita lakukan.
Bila timbangan-timbangan tersebut tersamarkan bagi seorang muslim atau penuntut ilmu, bagaimana dia akan menimbang dengannyaOleh sebab itu, yang menjadi rujukan adalah 'ulama, merekalah yang bisa menimbang dengan timbangan yang benar.  Merekalah yang bisa menghukumi dengan hukum syar'i yang benar.
Oleh karena itu, para 'ulama Ahlus Sunnah adalah tempat rujukan dalam menghukumi sesuatu, apakah sesuatu itu berasal dari Islam atau bukan, keimanan, atau kekufuran.  Rujukannya bukan kepada orang-orang yang belajar, yang mereka terkadang mengetahui sebagian perkara, dan tidak mengetahui sebagian lainnya.  Atau, terkadang mereka menganggap umum suatu perkara yang tidak bisa berlaku secara umum.
Dalam keadaan semacam ini, maka para 'ulama menjadi penentu hukum bagi ahli ilmu yang tidak bisa menimbang dengan timbangan yang benar.
Ucapan para 'ulama harus menjadi pegangan, demikian juga dengan alasan mereka melakukan suatu perbuatan.  Wajib bagi kita untuk berpegang kepada ucapan para 'ulama dalam menentukan keimanan dan kekufuran, serta menimbang dengan timbangan-timbangan yang telah disebutkan.
Di antara hal yang terkait dengan timbangan-timbangan di atas, yaitu bahwa Jihad berlangsung bersama Pemimpin (Penguasa), baik bagi mereka yang ta'at maupun bagi mereka yang jahat.  Jihad hanya berlangsung bersama Pemimpin (Penguasa).  Tidak diperkenankan bagi siapapun berpaling dari jihad (Menentang Penguasa), disebabkan Penguasa yang menyelisihi suatu syari'at - kapanpun dan di zaman apapun.
Pedoman ini harus dipegang setiap waktu, karena seringkali hal-hal yang tidak kita ketahui muncul di masa yang akan datang.
Bila anda berpegang dengan pedoman ini, berarti anda telah memiliki pegangan yang kuat dalam urusan anda.  Anda mampu menimbang berbagai keadaan dan pemikiran anda dengan timbangan yang anda miliki.
Di antara hak-hak syar'i yang berlaku bagi Penguasa Muslim, adalah mendo'akan kebaikan bagi mereka.
Al-Barbahari rahimahullah adalah penolong As-Sunnah, seorang imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah pernah berkata, "Bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi Penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah Shahibu Sunnah (Ahlus Sunnah).  Dan, bila engkau melihat seseorang mendoakan keburukan terhadap Penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah Shahibu Bid'ah (Ahli Bid'ah)."
Al-Fudhail bin Iyadh banyak mendoakan kebaikan bagi Penguasa di zamannya.  Padahal kita mengetahui banyak perkara yang menyelisihi syari'at ketika itu di kalangan Bani 'Abbas.  Namun beliau tetap mendoakan berbagai kebaikan bagi mereka.
Ketika ditanya, "Engkau mendo'akan kebaikan bagi mereka lebih banyak daripada bagi dirimu sendiri?"  Beliau menjawab, "Ya, bila aku yang baik, maka kebaikan itu hanya untukku sendiri dan orang-orang di sekitarku.  Adapun kebaikan Penguasa akan meliputi seluruh kaum muslimin."
Dengan demikian, barangsiapa yang menginginkan kebaikan yang menyeluruh tersebar di kalangan kaum muslimin, hendaklah ia berdoa dengan Ikhlas, agar Allah Subhanahu wa Ta'ala memperbaiki para Pemimpin kaum muslimin, yang Allah limpahkan urusan kaum muslimin kepada mereka.
Juga, berdo'a dengan Ikhlas agar Allah memberikan Hidayah Taufiq kepada mereka untuk beramal dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.  Kita berharap dan berupaya, dan tidak berangan-angan lebih jauh selain dari agar petunjuk dan amalan itu berdasarkan Kitabullah dan As-Sunnah.  Adapun hati-hati manusia ada di antara Jari-Jemari Ar-Rahman, Dia-lah yang membolak-balikkan sesuai kehendak-Nya.
"Wabillahittaufiq"


oOo

(Disadur bebas dari kitab, "TATKALA FITNAH MELANDA", Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam)



Jumat, 22 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-29)


بسم الله الرحمان الرحيم

Dahulu, para Salafush Shalih sangat memperhatikan khathimah-khathimah (penutup) suatu amalan.
Berkata Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan,
"Tidak diragukan lagi, bahwa khathimah (penutup) suatu amalan itu memiliki pengaruh yang sangat besar.  Dahulu para Salafush Shalih memberikan perhatian khusus pada suatu amalan.  Dalam rangka meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan mengamalkan makna firman Allah Subhanahu wa dalam surat Al-Mu'minun; 60,
"Dan, Orang-orang yang  memberikan apa yang telah mereka berikan (dari amal-amal Shalih) dengan hati yang takut, (karena mereka mengetahui), bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka."
Mereka khawatir kalau-kalau pemberian (sedekah) dan amal shalih mereka itu tidak diterima Rabb-nya."
Juga disebutkan dalam makna hadits dari Al-Bukhari - Muslim,
"Sesungguhnya, amal itu bergantung kepada bagaimana akhirnya."
Sehingga, bila amal itu akhirnya baik - itulah yang sangat diharapkan, tetapi bila akhirnya buruk - itulah yang sangat dikhawatirkan.
Ada sebuah kaidah di antara kaum Salaf yang menyebutkan,
"Bukanlah yang dianggap bagus itu baiknya sebuah permulaan, tetapi yang dianggap bagus itu adalah baiknya penutup suatu amalan seseorang."
Maka, untuk menutup suatu amalan menjadi baik pada bulan yang mulia ini, ada beberapa hal yang harus kita lakukan;
1. Memperbanyak  istighfar.
Seperti yang diisyaratkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan pada Risalah terdahulu, bahwa kaum Salaf memperbanyak istighfar dan taubat di penghujung amal mereka, meskipun mereka bersungguh-sungguh dalam beramal pada bulan Ramadhan maupun diluar Ramadhan, akan tetapi mereka merasa takut amal shalih mereka itu tidak diterima sedikitpun oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka merekapun banyak beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
2. Menghitung-hitung keburukan amal-amal kita, dosa-dosa kita, dan kekurangan kita dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala (menghisab diri sendiri).
Berkata Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, "Wajib atas seorang muslim untuk menghitung-hitung keburukan amalnya, bukan menghitung-hitung kebaikannya, lalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."
3. Memiliki 'Azzam (tekad) yang kuat untuk melanjutkan semua amal kebaikan yang mereka kerjakan pada bulan Ramadhan pada masa-masa setelahnya.  Jadi, tidak hanya sebagai amalan semusim.
Para Salaf menganggap mereka yang berbuat seperti itu adalah sejelek-jelek makhluk, yang hanya mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala pada saat bulan Ramadhan.
Asy-Syaikh menyebutkan ciri-ciri diterimanya amalan seseorang pada saat bulan Ramadhan;
a. Mengiringi amal kebaikan itu dengan kebaikan berikutnya.  Maka, apabila seorang muslim itu bagus keadaannya pasca Ramadhan - lebih banyak beramal kebaikan, itulah bukti diterimanya amal.
Adapun, bila yang terjadi sebaliknya - dia mengiringi amal kebaikan di bulan Ramadhan dengan keburukan-keburukan setelahnya, lalai, dan berpaling dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka itulah pertanda tidak diterimanya amalan ketika Ramadhan.
b. Banyak berdoa dan memohon Hidayah Taufiq kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar diberi kemudahan untuk mengamalkan berbagai kebaikan setelah bulan Ramadhan.
c. Bergembira dengan selesainya Ramadhan.  Namun, kegembiraan di sini perlu diperinci;
* Dia bergembira karena telah mempergunakan kesempatan pada bulan Ramadhan dengan berbagai amal shalih, sehingga berharap pahala dan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
* Sementara, kegembiraan orang-orang munafik adalah karena mereka bisa bebas kembali untuk melakukan berbagai maksiat yang terkekang selama bulan Ramadhan.

Maka, hendaklah kalian bertakwa dan berpamitan dengan bulan Ramadhan dengan banyak beristighfar dan bertaubat kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Semoga, Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima semua amal ibadah kita, Amiin ya Rabbal 'Alamin.


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)


Kamis, 21 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-28)


بسم الله الرحمان الرحيم

TAUBAT DI PENGHUJUNG RAMADHAN
Disadari atau tidak, setiap manusia tidak akan luput dari berbagai kesalahan / dosa / kemungkaran.  Atau, sesuatu yang kurang tepat, kurang adab.  Atau, kurang dalam pelaksanaan amal-amal keta'atan dalam momentum Ramadhan ini, sehingga dengan banyak bertaubat dan melakukan istighfar - mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuni kita.
Karena, orang-orang yang berbahagia adalah orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika Ramadhan usai.  Dan, sungguh sengsara orang-orang yang belum diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dosa-dosanya - sementara Ramadhan telah usai.  Seperti yang disebutkan dalam makna hadits yang masyhur, ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengaminkan do'a Malaikat Jibril 'Alaihissalam terhadap 3 (tiga) orang, di antaranya adalah orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan, sementara dosa-dosanya belum diampuni tatkala Ramadhan telah usai.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang menganjurkan kepada kita untuk bertaubat.  Di antaranya,
"Dan hendaklah kalian bertaubat kepada Allah semuanya wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung."  (An-Nur; 31), dan
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus semua kesalahan-kesalahanmu, dan memasukkan kamu ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai..."  (At-Tahrim; 8)
Dengan Taubat semua dosa-dosa seseorang akan diampuni, dan sekaligus merupakan sebab seseorang dimasukkan ke dalam Surga Allah 'Azza wa Jalla.  Dan makna surat Al-Baqarah; 222,
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri."  Dalam ayat terakhir ini disebutkan 2 (dua) makna Thaharah;  Thaharah Hissiyyah (Bersuci dari hadats besar maupun hadats kecil), dan Thaharah Maknawiyah yaitu bertaubat terhadap semua dosa dan kesalahan-kesalahan.
Disebutkan pula dalam makna hadits yang shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam sehari sebanyak 100 (Seratus) kali, dan dalam riwayat lain 70 (Tujuhpuluh) kali.
Taubat adalah, ruju' (kembali) dari perbuatan dosa kepada keta'atan Terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Taubat itu hukumnya wajib atas setiap manusia dengan segera dan langsung dikerjakan, tidak boleh ditunda-tunda, karena merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Dan, dikhawatirkan orang yang suka menunda-nunda taubat akan mendapati akhir hidup yang buruk, dan menunda-nunda taubat juga menyebabkan kerasnya hati, semakin jauh dari Allah, semakin lemah imannya, sehingga akan semakin sulit mendapatkan Hidayah Taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dampak buruk lainnya dari menunda-nunda taubat akan mengakibatkan dia terbiasa melakukan berbagai maksiat (dosa).
Taubat yang sangat dianjurkan dalam Islam adalah Taubatan Nashuha, bertaubat dari semua dosa dan kesalahan-kesalahan.  Meskipun tetap sah orang yang bertaubat dari satu atau beberapa (sebagian) dosanya (At-Taubah Al-Juz'iyyah).
Disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ("Majalis Syahri Ramadhan"), bahwa Taubatan Nashuha itu meliputi 5 (lima) syarat;
1. Taubatnya ikhlas karena Allah 'Azza wa Jalla.
Yang memotivasinya adalah rasa takut, cinta, dan berharap ampunan dan pahala dari Allah 'Azza wa Jalla.  Bukan karena tendensi duniawi atau makhluk Allah yang lainnya.
2. Dia harus betul-betul menyesali, dan sedih terhadap dosa-dosa masa lalunya.  Tampak dari guratan-guratan (raut) wajahnya، dan dari gestur tubuhnya.
3. Dia bersegera meninggalkan tindakan maksiat tersebut.  Bila maksiatnya berupa pelanggaran - maka langsung dia tinggalkan perbuatan tersebut.  Dan, bila maksiatnya meninggalkan apa yang diperintahkan - maka dia harus langsung mengerjakannya.  Tidak sah taubat seseorang yang terus-menerus berada di atas kemaksiatan. 
Bila kesalahannya tersebut berkaitan dengan hak-hak makhluk, maka dia harus mengembalikannya. Dan melepaskan diri / bebas dari
hak-hak orang lain tersebut.  Bila orang yang diambil haknya tersebut telah meninggal dunia - diserahkan kepada ahli warisnya, bila ahli warisnya tidak ada - maka diserahkan kepada Baitul Maal, atau disedekahkan dengan niat (atas nama) orang tersebut.
Bila kesalahannya tersebut dalam bentuk mengghibahi (menggunjing), atau berkaitan dengan kehormatan seseorang dan diketahui oleh yang bersangkutan, maka dia harus meminta maaf dan memohon keridhaan orang tersebut.  Bila orang yang dighibahi tersebut tidak mengetahuinya, tidak perlu dia sebutkan kesalahannya - karena akan menyakitkan hati orang yang dighibahi tersebut, cukup dia sebutkan kebaikan-kebaikannya sebagai ganti ghibah yang pernah dia lakukan.
Bila Taubat nya Juz'iyyah (sebagian), tetap sah taubatnya bila memenuhi semua ketentuan-ketentuan di atas.  Akan tetapi, dia tetap dituntut untuk bertaubat dari dosa (kesalahan) lainnya.
4. Ber'azzam (bertekad) kuat untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah dia lakukan.
Hal ini merupakan buahnya taubat, dan bukti kejujuran dia dalam bertaubat.
5. Tidak diterima taubat seseorang bila dilakukan pada masa habisnya penerimaan taubat.
Misal, bila nyawa sudah di kerongkongan (Sakaratul maut), berlaku khusus pada individu.  Atau, matahari terbit dari sebelah Barat (berlaku secara umum).

Maka, manakala terpenuhi semua ketentuan (persyaratan) di atas, dan taubatnya sah - Allah akan mengampuni semua dosa-dosa seseorang meskipun sepenuh langit dan bumi, termasuk dosa kufur.  Seperti disebutkan dalam makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Katakanlah kepada hamba-hamba Ku yang melampaui batas, janganlah kalian berputus asa dari Rahmat Allah - Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa."  (Al-Ayah)

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)





Rabu, 20 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-27)


بسم الله الرحمان الرحيم

ZAKATUL FITRI (ZAKAT FITRAH)
Disebut dengan Zakat Fitri oleh para 'ulama karena;
* Zakat ini dikeluarkan sebelum melaksanakan Shalat 'Idul Fitri.
* Kembali kepada Fitrah, yakni mensucikan orang-orang yang berpuasa dari perbuatan main-main, perkara yang sia-sia yang terjadi pada puasa Ramadhan mereka.
Hukumnya wajib atas semua kaum muslimin.  Disebutkan dalam makna hadits,
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memfardhukan Zakat Fitri Ramadhan 1 (satu) Sha' kurma, atau 1 (satu) Sha' sya'ir (biji-bijian) - wajib atas setiap budak, orang yang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil maupun dewasa dari kaum muslimin."
(HR. Al-Bukhari - Muslim, Muttafaqun 'Alaihi, dari Abdullah bin Umar)
Jadi, hitungannya per- kepala.  Maka, termasuk dalam kategori ini adalah orang gila - dikeluarkan oleh orang yang menanggung kehidupannya.
Janin yang masih dalam perut ibunya tidak wajib, kecuali bila diniatkan sebagai amalan Sunnah, karena ada Atsar dari Amirul Mu'minin Utsman bin Affan.
Bila seorang anak lahir sebelum matahari tenggelam di hari 'Ied, maka wajib dikeluarkan zakat fitri-nya.
Hukum asalnya, zakat ini dikeluarkan oleh masing-masing individu (bila memungkinkan), tetapi bila tidak memungkinkan - maka dikeluarkan zakatnya oleh orang yang menanggung mereka.
Zakat Fitri ini tidak wajib - kecuali bagi orang yang memiliki cadangan makanan pokok lebih dari sehari semalam, yakni pada siang hari 'Ied dan pada malam harinya.  Maka, kelebihannya itulah yang dijadikan Zakat Fitri, adapun bila dia tidak memiliki kelebihan makanan pokok dari sehari semalam itu, maka tidak wajib baginya mengeluarkan zakat.  (Demikian diterangkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, dalam buku beliau "Majalis Syahri Ramadhan")
Zakat Fitri ini tidak sah bila dikeluarkan oleh orang Kafir, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebutkan, "Dari kalangan kaum Muslimin."
Kecuali bila orang kafir itu masuk Islam sebelum matahari tenggelam pada Hari 'Ied tersebut, maka dia terkena kewajiban zakat Fitri.

BEBERAPA HIKMAH DARI ZAKAT FITRI
* Berbuat baik (Ihsan) kepada Fakir-miskin, terutama pada hari-hari 'Ied, agar mereka merasakan suka-cita, kebahagiaan bersama kaum muslimin yang lain.
* Orang-orang yang yang melakukan nya adalah orang-orang yang mulia dan mencintai Kemuliaan, mencintai solidaritas - dalam rangka membantu sesama.
* Mengandung unsur pensucian dari perbuatan main-main dan perbuatan-perbuatan sia-sia.
* Syukur nikmat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, setelah diberi kemudahan melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh.
* Dan lain-lain.

BAHAN YANG DIKELUARKAN PADA ZAKAT FITRI
Sepakat para 'ulama, bahwa yang dikeluarkan itu adalah bahan makanan pokok, tidak sah (tidak boleh) menggunakan uang, karena menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.  Kecuali, bila dia tidak memiliki kesempatan untuk membeli makanan pokok, lalu menitipkan uang kepada 'Amil Zakat untuk dibelikan bahan makanan pokok.
Disebutkan dalam makna hadits,
Tidak sah Zakat Fitrah yang dibayarkan berupa hewan ternak, atau berupa pakaian, perabotan, dan lain-lain.

UKURAN ZAKAT FITRI
Disebutkan dalam hadits; Sha'an (satu Sha').  Satu Sha' = 4 (empat) Mud.  Dan 1 (satu) Mud = Dua telapak tangan orang dewasa.
Asy-Syaikh Utsaimin menjelaskan, bahwa 480 Mitsqal dari tepung gandum yang bagus, atau sekitar 2,4  kilogram, atau lebih sedikit dari itu dengan niat Shadaqah (para 'ulama membolehkan).

WAKTU WAJIBNYA ZAKAT FITRI
Syaik Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa waktu wajibnya pembayaran zakat fitrah adalah;
Tenggelamnya matahari pada malam 'Ied.  
Contoh;  Bila seseorang meninggal beberapa saat sebelum tenggelam matahari (tanda masuk nya 'Ied) maka dia tidak terkena kewajiban zakat.  Tetapi bila dia meninggal setelah tenggelamnya matahari (masuk nya waktu 'Ied), maka ia terkena kewajiban zakat.
Bayi yang lahir beberapa saat sebelum tenggelamnya matahari (masuknya waktu 'Ied), maka dia telah terkena zakat fitrah, akan tetapi bila dia lahir setelah tenggelamnya matahari 'Ied, maka dia tidak terkena zakat fitrah, kecuali bila diniatkan Tathawu' (amalan Sunnah).
Orang yang Mu'allaf beberapa saat sebelum tenggelam matahari (masuknya waktu 'Ied), maka dia telah terkena kewajiban zakat fitrah, tetapi bila dia masuk Islam setelah tenggelamnya matahari 'Ied - maka dia tidak terkena kewajiban zakat fitrah.
Bila seseorang tidak memiliki apa-apa sampai saat tenggelamnya matahari, maka dia tidak terkena kewajiban zakat.  Meskipun setelah tenggelamnya matahari dia mendapatkan bantuan kelebihan makanan pokok.
Waktu Afdhal zakat fitrah adalah pada Pagi hari sebelum pelaksanaan Shalat 'Ied.  Tidak diperbolehkan membayarkan setelah shalat 'ied - akan dianggap sebagai Shadaqah biasa, bukan zakat fitrah.  Kecuali bila ada udzur, misalnya kapalnya baru mendarat setelah selesai shalat 'ied.
Adapun waktu yang diperbolehkan, adalah 1 (satu) sampai 2 (dua) hari menjelang masuknya waktu 'Ied.

MUSTAHIQ ZAKAT FITRI
Hanya ada satu, yaitu khusus untuk Fakir miskin.  Meskipun Jumhur (mayoritas) 'ulama berpendapat ada 8 (delapan) Ashnaf, tetapi yang Rajih (kuat) hanya pada Fakir-Miskin.
Dan disarankan untuk menyerahkan secara langsung kepada Fakir-miskin yang bersangkutan dimana dia berada.


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)



Selasa, 19 Mei 2020

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (232)


SEMANGAT MENDAKWAHKAN AGAMA ISLAM
بسم الله الرحمان الرحيم

"Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati siapa yang menolong Agama ini (Islam) - meski dengan setengah kata.  Kebinasaan hanya akan terjadi bila hamba meninggalkan apa yang ia mampu (perbuat) dalam Dakwah ini."
(Asy-Syaikh, Al-'Allamah Abdurrahman bin Nashir Ash-Sha'di rahimahullah)


oOo

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-26)

بسم الله الرحمان الرحيم

8 (Delapan) Ashnaf (Golongan) yang Berhak Menerima Zakat Harta (Lanjutan)

5. Ar-Riqab (Budak)
Kategori Ar-Riqab;
* Adalah budak Al-Mukadab, yang berusaha membebaskan diri dari tuannya dengan membayar sejumlah uang yang telah disepakati.
*  Seseorang yang membeli budak dengan uang zakat - kemudian ia bebaskan.
*  Para tawanan perang dari kaum muslimin.  Dalam hal ini, kaum muslimin, atau pemerintah dapat menggunakan uang zakat untuk memerdekakannya.
Harap dibedakan antara budak dengan Pembantu Rumah tangga - karena Pembantu Rumah tangga tidak termasuk budak.

6. Al-Ghaarim
Adalah, seseorang yang sedang memikul beban hutang.  Kategori nya ada 2 (dua) macam, dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah;
a. Seseorang yang sedang menanggung beban hutang (beban biaya) untuk mendamaikan  dua kelompok yang bertikai, atau untuk mencegah timbulnya fitnah di tengah masyarakat.  Maka, diperbolehkan orang ini untuk menerima harta zakat sesuai tanggungannya - guna melembutkan hati masyarakat, atau untuk meredam fitnah.
Disebutkan dalam makna hadits Riwayat Muslim, dari Qabishah Al-Hilaliy (artinya),
"Aku pernah menanggung sebuah beban hutang untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai.  Maka, akupun datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meminta harta zakat terkait dengan itu.  Maka, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, 'Bangkitlah - sampai datang kepada kami harta shadaqah, lalu kami akan perintahkan untuk membayar tanggunganmu.
Dan Rasulullah bersabda, 'Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta -minta harta itu tidak halal - kecuali atas 3 (tiga) orang; Di antaranya;  Pertama, seseorang yang menanggung beban hutang (beban biaya) karena ingin mendamaikan dua kelompok yang bertikai - lalu dia menahan diri untuk tidak meminta lagi.  Kedua, orang yang mempunyai hutang (tanggungan) untuk keperluan pribadinya, dan tidak punya kemampuan sama sekali untuk melunasi / mencicilnya (bangkrut) - meskipun jumlahnya cukup besar."

7. Fiy Sabilillah
Didefinisikan oleh para 'ulama, adalah orang-orang yang berjihad (Mujahidin) di jalan Allah, agar kalimat Allah-lah yang paling tinggi, bukan untuk kepentingan duniawi, fanatisme kelompok, kesukuan, atau kepentingan lainnya.
Atau, harta zakat bisa juga juga untuk membeli peralatan, perlengkapan (senjata) perang jihad Fiy Sabilillah.  
Namun, sebagian 'ulama memaknai Fiy Sabilillah ini secara umum, termasuk para penuntut ilmu, para du'at (da'i), meskipun makna dasarnya mengacu pada para Mujahidin.

8. Ibnu Sabil (Anak Jalan)
Adalah seseorang musafir yang terputus safarnya karena habis perbekalannya, meskipun di tempat asalnya dia adalah orang kaya.  Atau, meskipunpun ada yang mau meminjamkan uang, dan dia dia juga mampu mengembalikannya di kemudian hari.  Orang seperti ini diberikan kepada nya harta zakat yang cukup untuk menyampaikannya ke tempat asalnya, tidak boleh lebih dari itu.
Contoh konkrit lainnya dalam hal ini, adalah orang yang sedang berangkat haji, tidak memiliki tiket untuk pulang - apakah karena kecurian, perbekalan yang kurang dan lain sebagainya.

Beberapa poin tambahan penting dari Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, tentang orang-orang yang tidak berhak (tidak bisa) diberi harta zakat;
a. Harta zakat itu tidak bisa diberikan kepada orang kafir, kecuali bila orang tersebut termasuk Mu'allaf.
b. Harta zakat itu tidak bisa diberikan kepada orang yang berkecukupan, baik yang mencukupi nya itu perniagaannya, gajinya, atau di bawah tanggungan orang lain.  Kecuali bila ia termasuk 'Amil Pemerintah, Mujahidin Fiy Sabilillah.  Atau, dia termasuk Gharim (orang yang menanggung beban Ishlah), atau dia termasuk musafir yang terputus safarnya (tidak bisa kembali ke negaranya).
c. Harta zakat tidak boleh disalurkan untuk menggugurkan kewajiban selain dari Bab Zakat.  Misalnya, untuk menjamu tamu - harta zakat tidak boleh digunakan untuk menjamu tamu - karena itu adalah kewajiban Tuan Rumah.
d. Harta zakat juga tidak boleh digunakan seseorang untuk menggugurkan kewajiban menafkahi keluarga, anak, dan isterinya.  Karena, nafkah itu adalah kewajiban pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan zakat.
e. Harta zakat juga tidak bisa digunakan untuk pembangunan, tapi harus digunakan untuk orang yang termasuk mustahiq zakat.

Bagaimana bila seseorang membantu kerabatnya yang memiliki hutang yang tidak mampu dia bayar.  Jawabanbannya, adalah boleh.  Dia bisa menggunakan harta zakatnya untuk membayarkan hutang saudaranya yang tidak mampu membayar.  Atau, boleh juga untuk membantu orang tuanya, asal bukan untuk menggugurkan kewajibannya terhadap orang tua.  Tapi, untuk selain nafkah yang wajib diperbolehkan. 

Permasalahan lain adalah, pembayaran zakat yang dilakukan sebelum cukup HaulAsy-Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa beliau memperbolehkan dengan persyaratan, yaitu bila sudah ada kejelasan tentang Nishabnya, dan dipastikan dalam satu Haul itu Nishabnya tidak berubah, bisa dikeluarkan secara keseluruhan, atau dengan cara dicicil.  Hal ini bisa dilakukan pada orang-orang yang telah jelas pemasukan dan pengeluarannya (tetap) setiap bulannya, sehingga dia bisa menentukan jumlah hartanya di akhir tahun.

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)



UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (231)

AKANKAH KITA SELALU DI ATAS HIDAYAH?
بسم الله الرحمان الرحيم

"(Sudah) semestinya bagi seseorang untuk takut dan Khawatir dari penyimpangan hatinya, serta senantiasa memohon keteguhan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Hal itu, karena sesungguhnya - tidaklah setiap hati Bani Adam, melainkan (berada) di antara dua jari-jemari dari jemari Ar-Rahman.
Dia membolak-balikkannya sekehendak-Nya.  Jika Dia menghendaki - akan diluruskan-Nya.  Jika Dia menghendaki - akan disimpangkan-Nya."
(Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)


oOo

Senin, 18 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-25)


بسم الله الرحمان الرحيم

ZAKAT (Lanjutan)
Beberapa perkara yang perlu ditambahkan tentang zakat;
* Orang yang menerima pembayaran piutang setelah sekian lama macet (telah mencapai haul dan Nishabnya), maka begitu dia menerima pembayaran - langsung dikeluarkan 2,5 persen dari keseluruhan yang dia terima pada tahun itu - satu kali saja.
* Seseorang yang menerima harta warisan dari orang tuanya, atau dari ahli waris yang lain - akan tetapi penerimaannya tertahan karena kendala tertentu - sehingga melebihi satu tahun, maka begitu ia menerima harta warisan tersebut, dia harus mengeluarkan 2,5 persen dari keseluruhan harta warisan yang diterima, tidak sebatas nishab.
* Harta - benda  seseorang yang diwaqafkan fii Sabilillah, atau untuk dakwah tidak ada zakatnya (kesepakatan 'ulama).  Meskipun nishab dan jumlahnya terus bertambah setiap tahun, misalnya diinvestasikan (dialokasikan) ke suatu bentuk usaha tertentu (sesuai niatan waqifnya / orang yang mewaqafkan).  Hal ini, karena harta yang telah diwaqafkan tersebut telah menjadi milik kaum muslimin, bukan merupakan milik orang tertentu (Fatwa Lajnah Da'imah).

MUSTAHIQ ZAKAT (ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT)
Telah ditetapkan berdasarkan nash-nash yang ada, sehingga tidak diperbolehkan keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut.
1. Untuk Zakat Maal (Zakat Harta)
Ada 8 (delapan) Ashnaf yang berhak menerimanya (Mu'ayyanun / telah ditetapkan dalam Islam);
Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Sesungguhnya, shadaqah itu hanya untuk Fakir, Miskin, 'Amil, Mu'allaf, Riqab, Gharim, Budak, Fii Sabilillah (Ibnu Sabiil)."  (At-taubah;  60)
Telah difardhukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti makna ayat di atas (Mu'ayyanun), sehingga tidak diperbolehkan membuat mustahiq baru (yang lain).
a. Fakir -Miskin
Ada di antara para 'ulama yang membedakan antara Faqir dengan Miskin, ada pula yang menganggapnya sama.  Ada yang mengatakan Fakir lebih parah daripada Miskin.
Definisi (Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin);
"Adalah mereka-mereka yang tidak mendapati kecukupan dalam hidupnya, tidak pula kecukupan pada keluarga yang ditanggungnya.
Tidak memiliki uang di tangan yang mencukupinya, tidak pula gaji (pendapatan) yang mencukupinya.  Atau, tidak pula produksi barang-barang yang mencukupinya, atau hasil-hasil perkebunan yang mencukupinya.
Dan, tidak ada pula orang lain yang menanggung nafkahnya."
Jadi, intinya adalah, bisa saja mereka punya rumah, uang, punya gaji (income), punya usaha - tetapi tidak mencukupi bagi keluarganya.
Standar cukup ini diambil dari tingkat pertengahan masyarakat di mana mereka berada (misalnya sekitar 2 juta Rupiah / perbulan, untuk sepasang suami istri dan dua orang anak.  Bila pendapatan nya sebulan kurang dari itu, maka dia berhak terhadap harta zakat.
Maka, para 'ulama mengatakan untuk keluarga yang seperti ini diberikan Zakat untuk keperluannya selama 1 (satu) tahun penuh, atau kurang dari itu hingga datang masa haul berikutnya.
Orang yang fakir ini bisa juga dikasih sejumlah uang untuk biaya pernikahannya secara sederhana.
Seorang penuntut ilmu juga berhak mendapatkan bantuan untuk membeli kitab-kitab pelajarannya.
Adapun orang-orang yang telah cukup kebutuhan hidup sehari-harinya (kebutuhan primer) tidak diperbolehkan menerima zakat.
'Amil Zakat, adalah orang yang ditunjuk oleh Waliyul Amr (Pemerintah) untuk mengambil zakat dari Ahlinya, mengumpulkannya, serta membagikan nya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Maka para 'Amil ini diberi zakat seukuran (sebanding) dengan pekerjaan mereka - meskipun dia orang kaya.
Akan tetapi, orang (individu) tertentu yang membantu menyalurkan zakat Maal (Wukala / wakil-wakil) dari orang-orang tertentu bukanlah 'Amil Zakat, sehingga dia tidak berhak menerimanya, akan tetapi karena keikhlasannya dia mendapatkan pahala seperti orang yang berzakat.
Mu'allaf, adalah orang sedang dilembutkan hatinya (Al-Mu'allafatu quluubuhum).  Kategori Mu'allaf;
a. Orang-orang yang lemah sekali hatinya (imannya).  Dia muslim, tapi memiliki iman yang sangat lemah.  Maka, ia diberi zakat untuk menguatkan keimanannya.
b. Seseorang yang dikhawatirkan keburukannya menimpa kaum muslimin, maka dikasih harta zakat untuk meredam keburukan-keburukan mereka.
c. Orang-orang yang baru masuk islam, diberikan harta zakat agar mereka lebih mencintai Islam.
Atau, bisa juga orang Kafir yang diharapkan masuk Islam.
Timbul pertanyaan, bagaimana dengan orang-orang yang tidak diketahui keberadaannya meminta zakat, apakah termasuk Fakir-Miskin atau bukan, maka menurut Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin - diberikan saja, sambil diberikan nasihat-nasihat.
Adapun orang terlihat (tampak) guratan kemiskinan padanya jangan ragu untuk memberikan.

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)





UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (230)


بسم الله الرحمان الرحيم

"Sungguh!  Bulan Ramadhan mulai berkurang.  Maka, hendaklah engkau menambah amalan."
(Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah)


oOo

Minggu, 17 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-24)


بسم الله الرحمان الرحيم

ZAKAT MAAL (Lanjutan)

Zakatut Tijaarah (Zakat Perniagaan)
Adalah, segala sesuatu yang dia persiapkan untuk usaha dan niaga, baik berupa properti, hewan, otomotif, makanan, dan minuman, dan lain-lainnya.
Atau, segala sesuatu yang dia persiapkan dengan jual-beli untuk tujuan mencari keuntungan.  Kata-kata ini menjadi penting, karena menandakan untuk tujuan jual-beli.
Bila ada orang yang membeli sesuatu bukan untuk tujuan (niat) perdagangan (mencari keuntungan), maka bila ia terpaksa menjualnya untuk suatu keperluan (hajat), maka tidak ada zakatnya.  Misalnya, seseorang membeli sebidang tanah.  Tanah tidak ada zakatnya - beberapa waktu kemudian dia perlu uang dan menjual tanahnya, maka tidak ada zakat padanya.
Adapun, orang orang yang membeli tanah, mobil, rumah, makanan - minuman, pakaian, dan lain-lain untuk tujuan meraih keuntungan (dijual kembali) - inilah yang terkena Zakat Tijaarah.  Ketentuannya ada 3 (tiga);
1. Terpenuhinya Nishab.
2. Cukup Haul.
3. Barang yang diperjual- belikan tersebut memang belum terkena zakat.
Untuk Zakat Tijaarah ini ada perbedaan pendapat di antara para 'ulama, namun hampir semuanya, baik ulama terdahulu maupun yang sekarang, menyatakan bahwa Zakat Tijaarah ini ada.  Dan, pendapat Jumhur ini yang diamalkan pada zaman sekarang.

HAL-HAL YANG DIHITUNG DALAM ZAKAT TIJAARAH
1. Modal Usahanya (Ra'shul Maal)
2. Keuntungan-keuntungan yang dia dapatkan (Al-Arbah).
3. Nominal dari barang-barang yang dia simpan - yang siap untuk dijual.
4. Nominal dari barang-barang yang telah dia edarkan.
5. Piutang-piutang yang bisa diharapkan dibayar (piutang berjalan), bukan piutang yang macet.
Adapun, peralatan-peralatan produksi, bangunan, alat transportasi, etalase, rak-rak, meja - kursi, dan lain-lain tidak terkena zakat.
Poin 1 sampai 5 di atas dikumpulkan dan dihitung jumlahnya, bila mencapai nishab dan haul - maka dikeluarkan 2,5 persen dari keseluruhan nominal yang ada.
Patokan yang bisa diambil untuk menentukan harga adalah harga saat itu (pendapat mayoritas Fuqaha), bukan harga "kula'an" (harga ketika beli).  Jadi, nominal pada saat zakat dikeluarkan, bukan harga ketika barang tersebut dibeli.
Nishab yang Mashur digunakan oleh para 'ulama adalah nishab emas murni 24 karat, sekitar 85 - 87 gram (sekitar 50-an juta Rupiah).
Jumhur ulama mengatakan, bahwa yang dikeluarkan adalah nominal uangnya, bukan dalam bentuk barang.  Alasannya, bahwa nishab itu Mu'tabar dalam bentuk nominal.
Adapun pendapat Abu Hanifah dan Asy-Syafi'i dikeluarkan dalam bentuk barang.  Sedangkan Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, tergantung pada kemaslahatannya, bila lebih mashlahat dalam bentuk uang - maka dikeluarkan dalam bentuk uang.  Bila mashlahatnya lebih besar dalam bentuk barang, maka dikeluarkan dalam bentuk barang.
Hal lain yang dipertimbangkan oleh para 'ulama adalah, apakah hutang-hutangnya dikeluarkan dulu baru dihitung Nishabnya, atau tidak.
Sebagian berpendapat bahwa semua hutang-hutangnya dikeluarkan dulu.  Adapun pendapat Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan, bahwa hutang-hutangnya tidak dipotong (dikeluarkan), karena itu merupakan masalah tersendiri - mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala melancarkan usahanya.
Ada pula yang memperinci jenis hutangnya, bila berkaitan dengan perputaran uang dalam perdagangan nya, maka dikeluarkan dulu hutang-hutang tersebut.  Tetapi, bila hutang tersebut tidak berkaitan dengan perputaran uang dalam perdagangannya - maka ini tidak dipotong.

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)



Sabtu, 16 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-23)


بسم الله الرحمان الرحيم

ZAKAT MAAL (ZAKAT HARTA)
Kebiasaan kaum Salaf, di antaranya adalah menyengaja Haul mereka hingga tiba bulan Ramadhan, sehingga mendapatkan pahala Infak - Shadaqah selama Ramadhan.
Zakat itu ada 2 (dua) macam;
1. Zakat Maal
2. Zakat Fitrah

Ad 1.  Zakat Maal
Merupakan Rukun Islam ke-3 setelah Shalat, sehingga para 'ulama sepakat tentang kewajibannya - sesuai dengan aturan-aturan dalam buku-buku fiqih mereka.  Barangsiapa yang mengingkari kewajiban ini, maka hukumnya adalah Kafir, pengingkaran setelah mengetahui ilmunya.
Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin,
"Para kaum muslimin telah sepakat, tentang wajibnya zakat dengan Ijma' yang Qathy.  Maka, barangsiapa yang mengingkari kewajiban zakat - padahal dia mengetahui ilmunya, maka dia Kafir - keluar dari Islam.  Dan barangsiapa yang Bakhil dan meremehkan, maka dia adalah orang yang zhalim - dan berhak mendapatkan hukuman"
Zakat Maal ini tidak meliputi semua zakat, hanya ada beberapa poin harta yang terkena hukum zakat;
1. An-Naqdain
Adalah alat bayar, meliputi emas, perak, dan mata uang.
Pada zakat An-Naqdain ini harus ada 2 (dua) ketentuan;
a. Nishab (batasan / jumlah minimal)
b. Haul (telah mencapai setahun)
Ketentuan yang ketiga;  Adalah miliknya sendiri.

EMAS;
Nishab nya adalah 20 (duapuluh) Dinar - sekira 85 - 87 gram.  Disebutkan dalam hadits riwayat Abu Daud, dalam hadits yang cukup panjang, di dalamnya disebutkan,
"Tidak ada kewajiban apapun atas kamu dengan emas ini, sehingga kamu memiliki 20 (duapuluh) Dinar."
Hal ini berlaku pada emas murni 24 karat.  Dikeluarkan 2,5 persen dari total emas yang dimiliki, tidak hanya yang mencapai nishab.

PERAK;
Disebutkan dalam makna hadits riwayat Abu Daud,
"Tidak ada kewajiban Shadaqah pada perak dibawah 5 (lima) awaq (uqiyah)."  
Satu uqiyah adalah 40 Dirham, berarti bila 5 (uqiyah) adalah 5 x 40 = 200 (duaratus) Dirham.
Sekira 140 Mitsqal, atau 595 gram (menurut Asy-Syaikh Utsaimin).
Dikeluarkan 2,5 persen dari total perak yang dia miliki, tidak terfokus pada yang memenuhi nishab saja.

MATA UANG;
Para 'ulama memasukkan dalam kategori ini mata uang.
Wajib zakat pada mata uang kertas, karena dia bisa menggantikan perak, maka dia menempati posisi perak.
Ada khilaf di antara para 'ulama sehubungan dengan nishab mata uang ini, ada yang mengatakan nishabnya adalah emas, ada yang mengatakan Nishabnya adalah perak, atau ada juga yang mengatakan tergantung pada nishab yang paling murah di antara Emas dan Perak pada waktu itu.
Pendapat pribadi ustadz lebih cenderung kepada emas, karena harganya lebih stabil.
Maka, bila seseorang telah memiliki uang sekira 85 - 87 gram emas 24 karat, dan setelah cukup Haul satu tahun ke depan uangnya masih sejumlah itu atau lebih (pada saat ini sekira Rp 50 juta) - dikeluarkan 2,5 persen dari total uang yang dia miliki, tidak terbatas pada jumlah Nishabnya saja.
Termasuk juga orang yang memiliki Piutang Emas atau Perak, piutang berjalan - bukan piutang yang macet - bila piutang macet maka tidak ada zakatnya.  Ketika piutangnya telah dibayar, maka segera keluarkan zakatnya 2,5 persen.
Ada khilaf di antara para 'ulama pada emas perhiasan.

Termasuk yang terkena zakat Maal adalah binatang ternak (Bahimatul An'am), meliputi Unta, Sapi (Kerbau), dan Kambing (Domba).
Kuda tidak termasuk.
Nishabnya Unta adalah 5 (lima) ekor.
Nishabnya Sapi atau Kerbau adalah 30 (tigapuluh) ekor.
Nishabnya kambing atau Domba adalah 40 (empatpuluh) ekor.
Setelah mencapai nishab, ditunggu haulnya (satu tahun kedepan), bila Nishabnya terpenuhi maka dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan ketentuan (tabel) yang telah ditetapkan pada buku-buku para 'ulama ahli Fiqih.

Hewan Saimah, adalah hewan yang memakan ilalang، Padang rumput yang telah tersedia secara alami (tumbuh bebas), bukan ditanam oleh Bani Adam - sepanjang tahun, atau sebagian besar dari satu tahun.  Maka ternak Saimah ini harus dikeluarkan zakatnya.
Hewan Mu'lafah, dimana rumput nya disediakan / dipersiapkan makanannya, seperti harus mengarit - mencari rumput dari tempat lain, atau menanam - maka tidak ada zakatnya, kecuali bila digembalakan untuk jual-beli (Tijaarah)

KURMA, GANDUM, PADI (BIJI-BIJIAN), KISMIS
Hal ini hanya ada Nishabnya, tidak diperhitungkan haulnya.  Dan, dikeluarkan setiap kali panen.
Adapun kategorinya ada 2 (dua)
* Pengairan Tadah Hujan, atau pengairan alami, tanpa ada usaha manusia.  Zakatnya dikeluarkan 10 (sepuluh) persen.
* Pengairannya diusahakan, seperti Irigasi, atau tenaga manusia - dikeluarkan 5 (lima) persen.
Nishabnya disebutkan  adalah 5 (lima) Wasak.
1 Wasa' adalah 60 Sha'.
1 Sha' = 4 Mud.
1 Mud = 2 telapak tangan orang dewasa (sekira 675 gram, atau 0,75 kilogram).
Bila menggunakan tepung gandum yang bagus, menurut Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin jumlahnya sekira 612 kilogram.
Adapun buah-buahan lain , atau sayur-sayuran tidak ada zakatnya.

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)

UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (229)

NASIHAT 'ULAMA SALAF
بسم الله الرحمان الرحيم


"Hendaklah kalian saling menasihati sesama Ahlus Sunnah dengan cara yang baik.  Karena, sesungguhnya mereka Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang asing (ghuraba) jumlahnya."
(Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah)
Ingatlah pesan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
'Janganlah kalian saling membenci, dan saling membelakangi.  Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.'  (Muttafaqun 'Alaihi)
Semoga Allah merahmati, dan menjaga Ahlus Sunnah Salafiyin dimana saja mereka berada."

oOo 


UNTAIAN MUTIARA PARA 'ULAMA SALAF (256)

NASIHAT 'ULAMA SALAF
بسم الله الرحمان الرحيم

"Wahai Ahlus Sunnah, hendaklah kalian saling berlemah-lembut (satu sama lain).  Semoga Allah merahmati kalian.  Karena, jumlah kalian itu sangat sedikit."
(Hasan Al-Bashri rahimahullah)
"Nasihatilah mereka dengan cara yang baik, dan mengedepankan Huznuzhan (baik sangka).  In syaa Allah - mereka Salafiyin adalah orang-orang yang mudah menerima nasihat (kebenaran), dan ruju' (kembali) kepada kebenaran jika mereka keliru..."
('Ulama)


oOo

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-22)


بسم الله الرحمان الرحيم

Keutamaan dan Kemuliaan Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan (Lanjutan)

MERAIH MALAM QADAR DI MASA WABAH COVID-19

Makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Qadar..."  (Al-Qadr;  1)
Dan makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa yang qiyamullail pada malam Qadar dengan Iman dan Ihtishab, maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu."  (HR. Al-Bukhari - Muslim, dari Abu Hurairah)
Sepakat para 'ulama, bahwa malam Qadar itu terjadi pada bulan Ramadhan, dan hanya sekali dalam setahun.
Juga ada kesepakatan, bahwa adanya di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Berpindah-pindah setiap tahunnya (pendapat yang rajih). Yang paling diharapkan adalah, pada malam-malam ganjil, terutama pada 7 (tujuh) hari terakhir.
Sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Hendaklah kalian betul-betul bersungguh-sungguh mencari malam Qadar pada sepuluh hari terakhir Ramadhan."  (HR. Al-Bukhari - Muslim, dari A'isyah).  Dan,
"Hendaklah kalian bersungguh-sungguh mencari malam Qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir Ramadhan"  (HR. Al-Bukhari, dari A'isyah), dan
"Barangsiapa yang berupaya bersungguh-sungguh mencarinya, hendaklah bersungguh-sungguh pada tujuh hari terakhir". (HR. Al-Bukhari - Muslim, dari Abdullah bin Umar bin Khaththab)
"Bila salah seorang di antara kalian dalam keadaan lemah, maka janganlah sampai terkalahkan pada tujuh hari tersisa." (HR. Muslim)
Dan paling diharapkan lagi adalah, terjadi pada malam ke-27 (Duapuluh tujuh).
Disebutkan dalam hadits riwayat Muslim dari Ubay bin Ka'ab
"Demi Allah, aku mengetahui apa malam Lailatul Qadar itu, yaitu malam dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkannya kepada kita untuk qiyamullail pada malam keduapuluh tujuh."
Sebagian 'ulama berpendapat, seperti Al-Imam Ibnu Taimiyah, bahwa malam Qadar itu bisa saja terjadi pada malam genab.  Akan tetapi, yang menjadi inti permasalahan adalah, hendaklah berupaya mencarinya pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Terlalu banyak keutamaan-keutamaan yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala pada malam Qadar, antara lain;
Pertama, adalah malam dimana diturunkannya Al-Qur'anul Karim.
Kedua, Di dalam surat Al-Qadr Allah Subhanahu wa Ta'ala menggunakan Istifham (kalimat pertanyaan) untuk mengagungkan dan membesarkan perkaranya.
Ketiga, disebutkan sebagai malam yang lebih baik dari 1000 (seribu) bulan.
Keempat, para Malaikat turun dengan jumlah yang sangat banyak, termasuk Ar-Ruh (Malaikat Jibril).  Dan, tidaklah mereka turun melainkan membawa kebaikan, ampunan, keberkahan, dan rahmat.
Kelima, disebut juga sebagai malam keselamatan, malam kesejahteraan karena pada malam itu banyak manusia yang diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari api Neraka.
Keenam, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan satu surat (Al-Qadr) yang sempurna, yang akan dibaca oleh manusia hingga Hari Kiamat.
Dan lain-lain.

Permulaannya terjadi pada awal malam, sejak masuknya waktu Maghrib (tenggelamnya matahari) hingga terbitnya fajar Shadiq (Subuh).
Orang-orang yang mendapatkannya bertingkat-tingkat, tergantung pada tingkat keimanan, ketakwaan seseorang, serta amalan yang dia lakukan - baik secara kuantitas maupun kualitas, namun semua orang Islam In syaa Allah bisa menggapainya.
Tanda-tanda malam Qadar baru bisa diketahui pada keesokan harinya (Tanda-tanda Ba'diyah, seperti matahari bersinar di pagi harinya dengan sinar yang lembut, tidak menyengat dan tidak silau.
Adapun tanda-tanda Qabliyah (sebelumnya), riwayat secara marfu' dan shahih' tidak ada, kecuali beberapa pengalaman dari para 'ulama, seperti terjadi hujan, tenang.  Dan lain-lain.
Inilah Hikmah disembunyikan tanda-tanda Qabliyah tersebut agar manusia berlomba-lomba dan bersemangat untuk mendapatkannya.
Mengenai tanda-tanda orang yang mendapatkannya, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa orang yang mendapatkan nya akan merasakan ketenangan, kebahagiaan, dan kedamaian yang luar biasa (tidak seperti biasanya).
Karena malam itu merupakan Karomah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka hendaklah disembunyikan, tidak untuk dibangga-banggakan atau dipublikasikan.
Doa yang dianjurkan untuk dibaca sebanyak-banyaknya adalah,
اللهم انك عفو تحب العفو فاعف عني
"Allahumma innaka 'afuwun  tuhibbul 'afwa fa'fu 'anniy"

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau menyukai pemaafan.  Karena itu, berikanlah ampunan kepadaku." 

Dan do'a-do'a lainnya yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, maupun ummat manusia secara luas.

oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)