Selasa, 05 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441 H / 2020 M (Hari ke-12)


بسم الله الرحمان الرحيم

Adab-Adab Shiyam, baik yang wajib maupun yang Mustahabbah (yang sangat dianjurkan) inilah yang membedakan tingkatan-tingkatan orang yang berpuasa.
Semakin lengkap (sempurna) seseorang melaksanakan adab-adab yang ada dengan bimbingan Al-Qur'an dan As-Sunnah - semakin tinggi pula Tabaqah (Tingkatan)nya dan keutamaan-keutamaan yang dicapai.
Sebaliknya, semakin berkurang adab-adab puasa Ramadhan yang mampu dipenuhi - semakin menurun pula Tabaqah (Tingkatan)nya.

Secara umum, orang-orang yang berpuasa dapat digolongkan kepada beberapa Tabaqah (Tingkatan).
Dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah, yang dinukil oleh Asy-Syaikh, Al-'Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah,
"Orang-orang yang berpuasa itu memiliki 2 (dua) Tingkatan (Tabaqah);
Tingkatan Pertama;
Seseorang yang meninggalkan makan-minum, syahwatnya Lillahi Ta'ala semata, dan dia mengharapkan dari sisi Allah Ta'ala gantinya berupa Surga (Al-Jannah).  Orang-orang yang seperti ini sungguh telah bermu'amalah (berniaga) dengan Allah.  Dan, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menyia-nyiakan pahala dari amalan orang yang bersungguh-sungguh berbuat baik, bahkan dia mendapatkan keuntungan yang paling besar.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Sesungguhnya, tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Takwa kepada Allah, Melainkan Allah pasti akan mendatangkan sesuatu yang lebih baik darinya."  (HSR. Ahmad, Baihaqi dan yang lainnya)
Maka, orang-orang yang berpuasa pada tingkatan ini - di Surga nanti akan diberi anugerah apa-apa yang dikehendaki Allah, berupa makanan - minuman yang ledzat-ledzat, Bidadari Surga, dan lain-lain.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya),
"Makan dan minumlah dengan sedap, disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (di dunia)."  (Al-Haaqqah;  24)

Tingkatan Kedua;
Yaitu seseorang yang berpuasa (menahan diri) dari segala sesuatu selain Allah 'Azza wa Jalla.
Ia menjaga panca inderanya, menjaga perutnya, syahwatnya.  Dan, selalu mengingat kematian dan kehancuran.  Yang dia harapkan hanyalah Negeri Akhirat. Meninggalkan hiasan-hiasan dunia.
Maka, Idul Fitri orang yang seperti ini ialah, ketika ia berjumpa dengan Rabb-nya (melihat Allah 'Azza wa Jalla).
Ini adalah puasa orang-orang yang Khawash (Khusus) / Spesial dalam melaksanakan ibadah Puasa.
Amalan-amalan yang dia lakukan tidak hanya berkaitan dengan bulan Ramadhan, melainkan sepanjang hidupnya.  Dia betul-betul berpuasa terhadap semua larangan-larangan syari'at, dia kerjakan semua perintah-perintah agama.  Situasi dan kondisinya pada hari-hari biasa tidak berbeda dengan bulan Ramadhan.  Semua aktivitas dan tindak-tanduknya bernilai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.  Inilah orang yang disebut berpuasa dengan sebenar-benarnya.
Kedua tingkatan di atas adalah tingkatan orang-orang yang beruntung.
Di bawah kedua tingkatan ini banyak lagi tingkatan-tingkatan yang lain.  Tergantung dari sejauh mana seseorang  melakukan ibadah puasa dengan Iman dan Takwanya, dengan melaksanakan adab-adab puasa.
Tingkatan yang lebih parah, adalah tingkatan orang-orang yang tidak berhasil mendapatkan apa-apa.  Seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),
"Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak ada bagian dari puasa mereka itu selain lapar dan dahaga.  Dan, banyak pula orang yang qiyamullail, tetapi tidak ada bagian dari qiyamullailnya selain dari begadang saja."
Karena, tidak ada Iman dan Ihtishab, tidak ada dorongan Lillahi Ta'ala, tidak menjaga adab-adab puasa.  Sehingga, puasa Ramadhan tidak membawa berkah baginya.
Yang paling parah lagi adalah, orang-orang yang bulan Ramadhan menjadi bala (musibah) baginya.  Ketika orang lain berlomba-lomba mengerjakan amal kebajikan - dia tidak.  Ketika orang lain bersemangat melaksanakan ibadah puasa - dia tidak.  Ketika orang-orang yang berpuasa berbahagia memperoleh ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala - dia justru mendapatkan kesengsaraan karena dosa-dosanya bertambah.
Disebutkan dalam makna hadits, ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengaminkan do'a dari Malaikat Jibril 'Alaihissalam, di antaranya;
"Sungguh sengsara (binasa) seseorang yang Ramadhan masuk padanya, tetapi dia keluar dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni..."
Celakalah dia, karena dia tidak mampu memanfaatkan (meraih) kesempatan ganjaran pahala yang berlipat-lipat (10 sampai 700 kali lipat), bahkan lebih dari itu - hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang mengetahui batasannya.
Dia tidak berhasil meraih bulan dimana tercurahnya Rahmat, Maghfirah (ampunan), dan pembebasan dari api Neraka.  Dia keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan dosa-dosanya belum terampuni.
Jadi, kesimpulannya adalah, ada orang-orang yang berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, ada pula orang-orang yang sengsara dengan datangnya Ramadhan - karena tidak didasari Iman dan Ihtishaban, sehingga ia tetap melakukan berbagai maksiat kepada Allah 'Azza wa Jalla.


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar