Sabtu, 23 Mei 2020

MAJALIS SINGKAT RAMADHAN 1441H / 2020 M (Hari ke-30)


بسم الله الرحمان الرحيم

MENYAMBUT IDUL FITRI 1441 H / 2020 M DI MASA COVID-19

1. Takbiran 'Ied
Beberapa pandangan para Fuqaha;
Mayoritas 'ulama kita berpendapat, bahwa Takbiran 'Ied di mulai Pagi hari sebelum shalat 'Ied, dan berhenti begitu shalat 'Ied di tegakkan (Waktu yang Afdhal). Sebagian lagi mengatakan bisa dimulai setelah tenggelamnya matahari (masuk 1 Syawal), dan berhenti ketika shalat 'Ied ditegakkan (Waktu yang Dibolehkan).  Yang membolehkan sejak terbenamnya matahari berdalil dengan Surat Al-Baqarah; 185 (artinya),
'Dan, hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."
Dalam ayat ini disebutkan;  Menyempurnakan bilangan dan takbir setelah itu.
* Lafazh Takbir bisa mengucapkan  الله اكبر  ("Allahu Akbar") secara berulang-ulang terus-menerus.
* Boleh juga dengan Lafazh yang disebutkan para Salaf;
الله اكبر  "(Allahu Akbar") sebanyak 2 (dua) kali, atau 3 (tiga) kali dalam atsar lain, kemudian dilanjutkan dengan,  لا اله الا الله والله اكبر   الله اكبر ولله الحمد  ("Laa ilaaha Illa Allahu wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil hamd"), demikian diulang-ulang.
* Boleh juga dengan Lafazh, الله اكبر  ("Allahu Akbar") 3 (tiga) kali, kemudian, الله اكبر كبيرا  (Allahu Akbar Kabiira), demikian diulang-ulang.
Maka, bila ada Atsar dari Salaf dipersilakan.  
Namun, disana ada penjelasan dari Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam bukunya "Fathul Baari", bahwa di zaman beliau telah ada Lafazh Takbir yang diada-adakan, apalagi di zaman kita sekarang.  Hendaklah hal itu dihindari,  "Sungguh, telah diada-adakan Lafazh Takbir yang tidak ada contohnya dari para Salaf (Muhdats / perkara baru)."
Pelaksanaannya dilakukan sendiri-sendiri (tidak dikomando / dipimpin seseorang).
Untuk kaum laki-laki Lafazh Takbir dikumandangkan secara lantang (Zhahar), mulai dari rumah, di masjid-masjid, di pasar-pasar, di jalan-jalan untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasa syukur, dengan penuh khidmat.
Diperbolehkan menggunakan pengeras suara - asal tidak mengganggu orang lain.
Adapun kaum wanita melafazhkannya dengan lirih (sirr), karena mereka diperintahkan untuk menutupi dirinya.
Adapun pada masa Covid-19 ini, Lafazh Takbir cukup dilakukan di rumah, berdasarkan anjuran Pemerintah.
Dan di pagi hari 1 Syawal dianjurkan untuk melaksanakan Shalat 'Ied.  Ada yang mengatakan hukumnya Sunnah Mu'aqadah, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah meninggalkannya.
Dan, sekali lagi di masa Covid-19 ini pelaksanaan shalat 'ied cukup di rumah saja bersama keluarga inti, untuk menghindari resiko yang besar dari wabah penyakit bila diadakan di kerumunan-kerumunan.
Pelaksanaannya dilakukan seperti biasa, dengan 7 (tujuh) kali Takbir di raka'at pertama di luar Takbiratul Ihram, dan 5 (lima) kali Takbir pada raka'at kedua di luar Takbir bangkit dari sujud.
Pada raka'at pertama setelah membaca Al-Fatihah - membaca surat Sabbihis, dan pada raka'at yang kedua setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Ghasyiyah.
Dan dilaksanakan tanpa Khutbah.
Waktunya, setelah berlalu waktu larangan shalat Sunnah setelah shalat Fajar (Subuh).
Meskipun beberapa sunnah terluput untuk dikerjakan di masa Covid-19 ini - seperti melafazkan Takbir sejak keluar dari rumah hingga ke tanah lapang, mengambil jalan yang berbeda setelah pulang dari shalat 'ied, namun beberapa sunnah yang memungkinkan untuk dikerjakan tetap dilakukan seperti berhias, memakai pakaian yang paling bagus (tidak harus baru), mandi, memakai wangi-wangian, berbuka dulu sebelum shalat 'Ied.
Hal lain adalah ucapan saling mendoakan,  تقبل الله منا و منكم  /  "Taqabbalallahu Minna wa Minkum"  (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu).  Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, "Bahwa do'a ini diucapkan pada hari 'ied saja, tidak pada waktu sebelum dan sesudahnya, dan tidak pula  disunnahkan untuk saling meminta maaf."
Hal yang perlu diingatkan adalah, agar tidak merayakan 'ied dengan perkara-perkara sia-sia, hura-hura, dan maksiat, termasuk melanggar larangan Pemerintah.
Terakhir, yang sangat dianjurkan untuk melaksanakan puasa Sunnah dalam bulan Syawal selama 6 (enam) hari, sebagaimana makna sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa yang puasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 (enam) hari Syawal, maka seakan-akan dia telah berpuasa setahun penuh."  (HR. Muslim, dari Abu Ayyub Al-Anshary)
Teknisnya, dianjurkan untuk menyempurnakan dulu Puasa Ramadhan (bagi yang mengqadha) bila tidak ada udzur syar'i, baru kemudian puasa Syawal.  Karena mengqadha hukumnya wajib, sedangkan puasa Syawal hukumnya Sunnah.  Kecuali bila waktunya tidak memungkinkan, maka diperbolehkan dia mendahulukan puasa Syawal (dikarenakan waktunya terbatas pada bulan Syawal), sedangkan puasa Qadha waktunya panjang (Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
Puasa Syawal ini Afdhalnya dikerjakan tanggal 2 (dua) Syawal - berturut-turut selama 6 (enam) hari, tapi boleh juga diselang-seling hingga tercukupi enam hari.  Tetapi bila kurang dari enam hari, maka ganjarannya juga berkurang, tidak seperti orang yang berpuasa selama setahun penuh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala mpertemukan kita kembali dengan bulan Ramadhan di tahun depan dengan kondisi yang normal, Amiin ya Rabbal 'Alamin.


oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar