Sabtu, 23 Mei 2020

TIMBANGAN YANG TEPAT


بسم الله الرحمان الرحيم

Berbagai bendera dikibarkan oleh pihak / kelompok / para da'i yang menyeru umat kepada individu, kelompok, dan kekuasaan marak terjadi di zaman fitnah ini.
Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk menimbangnya dengan timbangan Syar'i yang benar (tepat).  Yakni, timbangan Ahlussunah wal Jama'ah.
Orang-orang yang menimbang dengan timbangan itu (Al-Qur'anul Karim, dan As-Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), maka hasil timbangannya akan tepat, tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurang-kurangi.


Makna firman Allah 'Azza wa Jalla,
"Kami akan memasang timbangan (Mizan) yang tepat pada Hari Kiamat.  Maka, tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun."  
(QS. Al-Anbiya;  47)
Warisan yang ditinggalkan oleh generasi terbaik Islam terdahulu, yang dengannya mereka menimbang berbagai perkara, ucapan, pemikiran, tulisan, dan berbagai situasi (fitnah) yang bisa muncul setiap saat.
Dengan timbangan itu, mereka juga mampu menimbang bobot suatu perkara, ucapan, tulisan, maupun pemikiran seseorang.
Sebagaimana dijelaskan oleh para Imam Dakwah dan para Imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah, bahwa timbangan yang dimaksud memiliki beberapa kriteria;
1. Timbangan yang dengannya dapat dibedakan antara ajakan Islam yang lurus (benar), dan ajakan di luar Islam.
Bila suatu ajakan itu disandarkan kepada Islam, maka akan berlaku padanya hukum-hukum syar'i yang harus diterapkan, berdasarkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Timbangan yang dengannya dapat dibedakan antara ajakan Islam yang sempurna yang tidak mengandung penyimpangan sedikitpun, dengan ajakan yang mengandung penyimpangan yang tampak nyata atau yang terselubung (Syubhat; kebathilan yang berkedok / menyerupai kebenaran).

Timbangan yang pertama akan menghasilkan penilaian berupa Keimanan atau Kekufuran (yang besar maupun yang kecil).  Yaitu, apakah ajakan itu bersumber dari Islam, atau selainnya.
Adapun, timbangan yang kedua menghasilkan penilaian apakah ajakan itu berada di atas petunjuk, yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, ataukah tidak.

Timbangan Pertama, yang dengannya dapat dibedakan antara keimanan dan kekufuran, meliputi 3 (tiga) kategori;
a. Harus dilihat, apakah di sana terkandung unsur pelaksanaan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata yang tiada sekutu bagi-Nya (Tauhidullah), atau tidak (bercampur dengan kesyirikan)?  Karena, pokok agama para Nabi dan Rasul adalah, bahwa mereka diutus tidak lain untuk menegakkan Tauhidullah.
Tauhid merupakan pondasi (dasar) penilaian atas setiap perkara, sekaligus merupakan akhir (muara) dari perkara agama ini (Islam).
(Baca artikel, TUJUAN PARA RASUL DIUTUS)
Maka, barangsiapa yang mengibarkan bendera Tauhid, dan mengikrarkan peribadatan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata tanpa sekutu bagi-Nya, maka dia adalah seorang mukmin Muwahid.
Dengan timbangan pertama ini kita dapat melihat, apakah orang yang mengibarkan bendera Islam tersebut merealisasikan Tauhid atau tidak.  Atau, di sana terkandung peribadatan kepada selain Allah.
Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla,
ولقد بعثنا فى كل أمة رسولا  انعبدوا الله  واجتنبوا الطغوت
"Walaqad' ba'atsnaa fiy kulli ummatin rasuwlan ani'budullaha waj'tanibuw at-taghuwta"

"Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (agar menyerukan), 'Sembahlah Allah (saja)', dan jauhilah thaghut itu.'"  
(QS. An-Nahl; 36), dan makna firman-Nya,
"(Yaitu) orang-orang yang apabila Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar;  Dan, kepada Allah-lah kembali segala perkara (urusan)."  
(QS. Al-Hajj;  41)
Sebagian ahli tafsir berkata,  وامروا بالمعروف  /  "Wa amaruw bil ma'ruwfi"  (Menyuruh berbuat yang ma'ruf) maksudnya adalah, menyuruh mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan  ونهوا عن المنكر  / "Wanahaw 'anil munkari"  (Dan mencegah dari perbuatan mungkar), maksudnya adalah mencegah berbagai bentuk kesyirikan.  Karena amal kebaikan yang paling tinggi (Ikhlas) adalah Tauhidullah, dan kemungkaran yang paling buruk adalah syirik.
Itulah timbangan yang pertama.

b. Hendaklah anda melihat realisasi Syahadat "Muhammad adalah Rasul Allah".  Karena, di antara konsekwensi syahadat ini adalah berhukum dengan apa yang dibawa Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wa sallam Sebagaimana makna firman-Nya,
"Maka, demi Rabb-mu - mereka (pada hakikatnya) tidak beriman - sampai mereka menjadikan kamu sebagai Hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."  
(QS. An-Nisa;  65), dan
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki.  Dan, (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"  
(QS. Al-Maidah;  50), dan
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang Kafir."  
(QS. Al-Maidah;  44)
Bila anda melihat suatu bendera, dimana orang-orang yang mengibarkannya berhukum dengan syari'at Allah, dan menghukumi setiap perkara manusia dengannya.  Dan, bila manusia berselisih dalam perkara mereka siapa yang menghukumi?  Yang menghukumi adalah Qadhi (Hakim) yang syar'i - maka, seketika itu juga anda akan mengetahui bahwa bendera itu adalah bendera Islam.  Karena, para pembawa bendera itu berhukum dengan syari'at Allah 'Azza wa Jalla, dan menegakkan pengadilan yang syar'i - berhukum kepada apa yang telah Allah turunkan.
Dan, tidak seorangpun yang (berhak) mengharuskan berhukum kepada selain yang Allah turunkan, atau mengharuskan untuk Ridha kepada selain hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.

c. Hendaklah anda melihat, apakah di sana terdapat penghalalan terhadap hal-hal yang haram?  Atau, apakah anda melihat bila ada yang mengerjakan hal-hal yang haram mereka membencinya serta mengingkarinya?
Bila didapati sesuatu yang telah disepakati keharamannya, boleh jadi akan ada 2 (dua) kejadian;
* Bisa jadi keharaman tersebut dianggap halal - maka ini adalah kekufuran, "Wal 'Iyaadzubillah"
* Bisa jadi pula keharaman itu tidak dianggap halal, tetapi hal tersebut ada - sementara para pembawa bendera tetap menganggap hal itu sebagai sesuatu yang munkar dan haram, dan anda mengetahui bahwa bendera tersebut tetap merupakan bendera yang syar'i dan Islam.  Inilah 3 (tiga) kriteria yang dijelaskan oleh para Imam kita, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati mereka.
Semua di atas baru bagian pertama dari timbangan-timbangan tersebut.

Adapun Timbangan Kedua, adalah Timbangan yang dengannya diketahui Islam yang sempurna dan yang tidak sempurna.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berpegang kepada Islam secara keseluruhan (Kaffah), sebagaimana yang datang dari Allah Jalla wa 'Ala, sehingga Beliau adalah orang yang paling diteladani.
Para Khulafa Ar-Rasyidin ridhwanullahu 'alaihim juga telah berpegang dengan Islam tersebut.  Dan, terus-menerus mengamalkan Islam yang sempurna.  Kemudian, berkurang sedikit demi sedikit hingga pada zaman kita sekarang.  Sebagaimana yang telah dikatakan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Tidaklah datang pada manusia suatu zaman, melainkan zaman yang setelah nya lebih buruk dari sebelumnya - hingga kalian bertemu dengan Rabb kalian (Kiamat)."
Hendaklah anda memperhatikan Timbangan ini, bagaimana penerapannya dalam perkara-perkara syari'at, bagaimana penerapannya dalam perkara shalat, bagaimana penerapannya dalam "amar ma'ruf dan nahi munkar", yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib?  Dan, melarang hal-hal yang haram?  Bila hal tersebut telah terlaksana dengan sempurna - maka, menunjukkan kesempurnaan ajakan itu.  Sebaliknya, bila kurang - maka sejauh itu pulalah kekurang sempurnaan ajakan tersebut.
Inilah unsur-unsur yang penting yang harus ada dalam hati dan akal (pikiran) anda, jangan sampai anda terluput darinya.
Dengan demikian, ketika terjadi sesuatu, anda tidak tersesat jalan dan tidak merasa samar dengan perkara yang terjadi.
---

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,

“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia berupa ushuluddin (pokok-pokok Agama) dan furu’ (cabang-cabang)nya –  kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.  Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terkandung jalan keluar bagi seluruh perkara yang diperselisihkan.  Bisa jadi secara jelas (terperinci) di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang serupa dengannya, dapat dikiaskan padanya.  Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya adalah fondasi bangunan agama.  Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya.  Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” 

(Taisir Karimir Rahman).

Bila telah jelas bagi anda, dan tampak perbedaan antara yang Islam dengan yang tidak Islam, maka kewajiban anda setelahnya adalah ber-wala' (memberikan loyalitas) dalam kebenaran dan petunjuk kepada bendera yang Islam, karena itulah perintah Allah 'Azza wa Jalla - agar berwala kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa, dan agar berpegang teguh dengan tali Allah, dan menghindari perpecahan.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Ber-wala';
1. Hendaklah anda memberikan loyalitas kepada bendera ini dengan benar, tanpa disertai penyimpangan, kesamar-samaran, dan keragu-raguan, karena pilihan yang ada hanya antara Islam dan Kekufuran, sehingga bila telah jelas keislamannya, maka terdapat konsekuensi-konsekuensi hukum-hukum syariat padanya.  Dan, tidak halal bagi seorang muslim untuk menjadikan kemaksiatan (yang ada di sana) sebagai alasan untuk membolehkan tidak berpegang teguh dengan perintah Allah dan Rasul-Nya - berupa wala' kepada kaum mukminin, dan kepada orang-orang yang berperang di jalan Allah.
2. Hendaklah anda menasihati para pengikut bendera tersebut dengan nasihat yang Allah ketahui berasal dari hati anda (ikhlas).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki jalan yang berbeda dengan para Ahlul Bid'ah yang menyukai perpecahan.  Dimana, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menasihati orang yang dijadikan Pemimpin oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan banyak berdoa untuknya, meskipun mereka melihat apa-apa yang tidak mereka sukai, mereka tetap banyak berdoa untuk Pemimpin itu, dan menasihatinya dengan Ikhlas dari hati-hati mereka.  Dan, tidaklah mereka mengharapkan balasan dan ucapan terimakasih dengan do'a dan nasihat mereka itu - kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, bukan karena tendensi lain.  Bila hal ini telah tertancap kuat di dalam hati, berarti kita benar-benar menjadi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Perhatikanlah berbagai kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, anda pasti menemukan bab-bab khusus yang berkaitan dengan hak-hak Pemimpin terhadap rakyat, dan hak rakyat terhadap Pemimpinnya.  Karena, dengan itulah Al-Jama'ah bisa terwujud, dan terwujud pula pengembalian pandangan kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Sikap ini sesuai dengan anjuran Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, agar menasihati Pemimpin kaum muslimin, serta menasihati kaum muslimin secara luas,
الدين النصيحة  /  "Ad-diynu an-nashiyhatu"  (Agama itu adalah nasihat).
Dan, telah diketahui dengan pasti, bahwa nasihat itu adalah Wajib, dan seorang muslim mau tidak mau harus menasihati.  Maka, bagaimanakah nasihat itu dilakukan?  Bagaimana cara menjelaskannya?  Tentunya Nasihat itu dilakukan sebagaimana yang telah dijelaskan As-Sunnah, bukan menurut kehendak (selera) kita sendiri / sekelompok orang.
(Baca artikel, MASALAH KEIMANAN BUKAN MASALAH SELERA)
Disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Iyadh bin Ghunm berkata kepada Hisyam bin Hakim radhiyallahu 'anhuma, "Tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya),
"Barangsiapa yang ingin menasihati Penguasa, maka janganlah melakukannya terang-terangan, tetapi hendaklah dia pegang tangan Penguasa itu dan menyendiri bersamanya.  Bila Penguasa itu menerima - maka itulah yang diharapkan, bila tidak - maka sungguh ia telah menunaikan kewajibannya."
Dengarlah Sunnah Mustafa shallallahu 'alaihi wa sallam.  Dan, bukankah anda semua bersemangat untuk mengikuti As-Sunnah?  Sebagaimana Ahlus Sunnah wal Jama'ah bersemangat mengikutinya.
Dari semua penjelasan di atas, diketahuilah perkara penting ini, yang tampak ketika keadaan berubah, dan berbagai fitnah muncul ke permukaan.
Hal itu menjadikan kita berada dalam ketenangan, dan menjadikan kita sebagai orang yang mengikuti sabda Al-Musthafa shallallahu 'alaihi wa sallam.  Bila kita mengambilnya, maka kita akan selamat dengan idzin Allah.  Bila kita tidak mengambilnya, maka kita akan ditimpa berbagai kekurangan dan penyimpangan dari jalan As-Sunnah wal Jama'ah - sesuai dengan kadar penyimpangan yang kita lakukan.
Bila timbangan-timbangan tersebut tersamarkan bagi seorang muslim atau penuntut ilmu, bagaimana dia akan menimbang dengannyaOleh sebab itu, yang menjadi rujukan adalah 'ulama, merekalah yang bisa menimbang dengan timbangan yang benar.  Merekalah yang bisa menghukumi dengan hukum syar'i yang benar.
Oleh karena itu, para 'ulama Ahlus Sunnah adalah tempat rujukan dalam menghukumi sesuatu, apakah sesuatu itu berasal dari Islam atau bukan, keimanan, atau kekufuran.  Rujukannya bukan kepada orang-orang yang belajar, yang mereka terkadang mengetahui sebagian perkara, dan tidak mengetahui sebagian lainnya.  Atau, terkadang mereka menganggap umum suatu perkara yang tidak bisa berlaku secara umum.
Dalam keadaan semacam ini, maka para 'ulama menjadi penentu hukum bagi ahli ilmu yang tidak bisa menimbang dengan timbangan yang benar.
Ucapan para 'ulama harus menjadi pegangan, demikian juga dengan alasan mereka melakukan suatu perbuatan.  Wajib bagi kita untuk berpegang kepada ucapan para 'ulama dalam menentukan keimanan dan kekufuran, serta menimbang dengan timbangan-timbangan yang telah disebutkan.
Di antara hal yang terkait dengan timbangan-timbangan di atas, yaitu bahwa Jihad berlangsung bersama Pemimpin (Penguasa), baik bagi mereka yang ta'at maupun bagi mereka yang jahat.  Jihad hanya berlangsung bersama Pemimpin (Penguasa).  Tidak diperkenankan bagi siapapun berpaling dari jihad (Menentang Penguasa), disebabkan Penguasa yang menyelisihi suatu syari'at - kapanpun dan di zaman apapun.
Pedoman ini harus dipegang setiap waktu, karena seringkali hal-hal yang tidak kita ketahui muncul di masa yang akan datang.
Bila anda berpegang dengan pedoman ini, berarti anda telah memiliki pegangan yang kuat dalam urusan anda.  Anda mampu menimbang berbagai keadaan dan pemikiran anda dengan timbangan yang anda miliki.
Di antara hak-hak syar'i yang berlaku bagi Penguasa Muslim, adalah mendo'akan kebaikan bagi mereka.
Al-Barbahari rahimahullah adalah penolong As-Sunnah, seorang imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah pernah berkata, "Bila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi Penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah Shahibu Sunnah (Ahlus Sunnah).  Dan, bila engkau melihat seseorang mendoakan keburukan terhadap Penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah Shahibu Bid'ah (Ahli Bid'ah)."
Al-Fudhail bin Iyadh banyak mendoakan kebaikan bagi Penguasa di zamannya.  Padahal kita mengetahui banyak perkara yang menyelisihi syari'at ketika itu di kalangan Bani 'Abbas.  Namun beliau tetap mendoakan berbagai kebaikan bagi mereka.
Ketika ditanya, "Engkau mendo'akan kebaikan bagi mereka lebih banyak daripada bagi dirimu sendiri?"  Beliau menjawab, "Ya, bila aku yang baik, maka kebaikan itu hanya untukku sendiri dan orang-orang di sekitarku.  Adapun kebaikan Penguasa akan meliputi seluruh kaum muslimin."
Dengan demikian, barangsiapa yang menginginkan kebaikan yang menyeluruh tersebar di kalangan kaum muslimin, hendaklah ia berdoa dengan Ikhlas, agar Allah Subhanahu wa Ta'ala memperbaiki para Pemimpin kaum muslimin, yang Allah limpahkan urusan kaum muslimin kepada mereka.
Juga, berdo'a dengan Ikhlas agar Allah memberikan Hidayah Taufiq kepada mereka untuk beramal dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.  Kita berharap dan berupaya, dan tidak berangan-angan lebih jauh selain dari agar petunjuk dan amalan itu berdasarkan Kitabullah dan As-Sunnah.  Adapun hati-hati manusia ada di antara Jari-Jemari Ar-Rahman, Dia-lah yang membolak-balikkan sesuai kehendak-Nya.
"Wabillahittaufiq"


oOo

(Disadur bebas dari kitab, "TATKALA FITNAH MELANDA", Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar