بسم الله الرحمان الرحيم
HUKUM-HUKUM PUASA TERKAIT KEADAAN ORANG (Lanjutan)
4. Al-Harim
Adalah orang yang sudah tua renta dan pikun akalnya. Tidak ada kewajiban berpuasa bagi orang ini, dan tidak pula kewajiban membayar fidyah, karena kewajiban syari'at telah gugur padanya, sama seperti anak kecil dan orang gila permanen.
Tetapi, bila pikunnya belum total (kadang pikun, kadang tidak). Maka ia wajib berpuasa ketika akalnya sehat. Tetapi, bila pikunnya datang - tidak ada kewajiban berpuasa. Begitu pula dengan kewajiban shalat.
Bagi orang yang pikunnya telah total, tidak ada kewajiban berpuasa, shalat - dan kewajiban membayar fidyah (Ith'am).
5. Seseorang yang Tidak Mampu Berpuasa secara Terus-Menerus, dan tidak Diharapkan Kesembuhannya.
Misalnya, orang yang sudah tua renta, fisiknya tidak memungkinkannya berpuasa - tetapi akalnya masih sehat (tidak pikun). Atau, orang yang sakit menahun - yang tidak diharapkan kesembuhannya secara medis. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kewajiban berpuasa, karena dia tidak mampu. Tetapi, tetap ada kewajiban membayar fidyah, dengan cara memberi makan satu orang fakir- miskin setiap puasa yang ditinggalkannya. Fidiyah (It'am) tersebut boleh dalam bentuk makanan yang sudah matang, atau makan pokok yang masih mentah (menurut Asy-Syaikh Utsaimin, jumlahnya sekira 6 (enam) ons, tepatnya 5 ons - sepuluh gram). Dan pemberian fidiyah ini boleh dikeluarkan setiap hari, atau dikumpulkan hingga akhir Ramadhan. Pemberian fidiyah boleh ditujukan kepada satu orang fakir-miskin saja, atau dibagi-bagi kepada beberapa orang.
Sebagaimana makna firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
"Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuanmu," dan
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sebatas kemampuannya."
Disebutkan dalam makna hadits,
"Laki-laki atau wanita yang sudah tua renta, maka dia memberi makan setiap harinya satu orang fakir-miskin." (HR. Al-Bukhari, dari Abdullah Ibnu Abbas)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwa Anas bin Malik ketika sudah tua memberikan fidiyah pada setiap hari puasanya, dan beliau berbuka.
6. Musafir
Orang yang sedang safar (bepergian) sesuai dengan jarak tempuh safar. Dia mendapatkan rukshah (keringanan) untuk tidak berpuasa.
Tetapi rukshah tersebut boleh diambil, boleh tidak - tergantung kekuatan fisik seseorang.
Disebutkan dalam makna hadits,
"Kami pernah safar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa." (HR. Al-Bukhari - Muslim, dari Anas bin Malik)
Orang yang puasa sangat memberatkan dan melelahkannya, bahkan bisa membahayakan kesehatannya, maka dia harus berbuka, sebab bila puasa menyebabkan nyawanya hilang, maka haram hukumnya berpuasa.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah melihat kerumunan orang pada suatu safar. Beliau bertanya, 'Apa ini,' Orang-orang menjawab, 'Karena berpuasa.' Maka Beliau bersabda, 'Tidak ada kewajiban berpuasa bagi orang yang safar." (HR. Al-Bukhari - Muslim, dari Jabir bin Abdillah)
Adapun, orang yang safar untuk suatu maksiat. Maka ada perbedaan pendapat para 'ulama.
Ada yang mengatakan bahwa rukshah itu berlaku umum, baik dalam rangka ta'at atau maksiat. Adapun dosanya diharapkan agar orang tersebut bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bagi orang yang safar boleh berniat untuk tidak berpuasa semenjak awal keberangkatannya. Atau, bila dia tidak punya rencana safar - boleh di pertengahan safarnya.
Bila orang yang safar sampai di tempat tujuannya pada siang hari, maka bila dia melanjutkan puasa - tidak sah puasanya. Tetapi, bila dia berbuka hendaklah tidak didepan orang sedang berpuasa.
oOo
(Disarikan dari kajian Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar